JAGAT media sosial sedang gonjang-ganjing. Pemicunya adalah arak Bali. Sejumlah portal berita mewartakan, Polsek Kawasan Laut Gilimanuk, mengamankan puluhan kardus arak Bali.
Total ada 480 botol yang diamankan. Bila tiap botol berisi 600 mililiter, itu berarti ada 288 liter arak yang diamankan. Semuanya dikemas dalam botol dengan tutup berwarna hijau. Rencananya minuman beralkohol khas Bali itu akan dikirim ke Lampung.
Peristiwa itu langsung memicu gonjang ganjing di media sosial. Sebagian besar netizen menyayangkan tindakan polisi. Karena netizen berpandangan, arak Bali sudah legal diproduksi dan diperjual belikan. Terutama sejak Gubernur Bali Wayan Koster menerbitkan Pergub Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Distilasi Khas Bali.
Netizen menilai wajar saja bila arak Bali dikirim ke Lampung. Sebab di Lampung banyak warga Bali yang menjadi transmigran. Tentu mereka rindu dengan suasana kampung halaman. Termasuk merindukan arak Bali.
Tapi, benarkah arak Bali sudah legal diproduksi dan dipasarkan? Mari kita cermati Pergub yang sudah diterbitkan pemerintah.
Aturan itu sebenarnya bukan hanya mengatur arak Bali. Tapi juga mengatur beberapa minuman beralkohol tradisional lainnya. Seperti tuak, berem, serta produk artifisial lainnya.
Bila dicermati, aturan itu hanya melegalkan aspek produksi saja. Sehingga para petani arak tidak lagi dikejar-kejar polisi tiap kali razia rutin dilaksanakan.
Petani arak memang sudah diizinkan memproduksi arak. Namun untuk menjual arak yang dihasilkan, mereka harus melalui sejumlah proses yang berbelit.
Setelah arak berhasil diproduksi, petani arak harus menyerahkan pada koperasi arak. Koperasi pun tidak boleh menjual arak langsung pada konsumen. Mereka harus menyerahkannya pada pengusaha minuman beralkohol. Dalam pergub, para penguasa kapital itu disebut dengan nama produsen. Produsen bertugas membuat rasa arak menjadi “standar”.
Apakah produsen bisa menjual langsung ke konsumen? Oh tunggu dulu Bambang. Masih ada rantai distribusi lainnya.
Setelah produsen menyeragamkan rasa arak, mereka harus mengemas arak dalam kemasan yang lebih artistik. Kemasan itu juga harus ditempel pita cukai.
Selanjutnya, arak yang sudah dikemas dan ditempel pita cukai, diserahkan pada distributor. Kemudian distributor menyerahkannya pada sub distributor. Sub distributor kemudian mendistribusikannya pada pengecer dan penjual langsung. Dari pengecer dan penjual langsung, baru arak Bali bisa dijual pada konsumen.
Siapa yang untung?
Rantai distribusi yang panjang itu menimbulkan pertanyaan baru. Siapa yang diuntungkan dari aturan tersebut. Bagi saya, petani tidak diuntungkan dari aturan ini.
Mari kita berhitung. Dalam pergub itu, koperasi diwajibkan menyerap hasil produksi petani. Koperasi juga wajib memberikan margin keuntungan sebanyak 20 persen pada petani.
Bila harga dasar arak di tingkat petani sebesar Rp 20.000 per botol ukuran 600 militer, itu berarti petani hanya mendapat keuntungan Rp 4.000 per botol.
Selanjutnya pabrik minuman beralkohol harus menyerap arak yang telah dibeli koperasi. Pabrik harus memberikan keuntungan minimal 10 persen pada koperasi. Apabila harga dasar arak di koperasi menjadi Rp 24.000 per botol, maka pabrik harus membeli arak di koperasi dengan harga minimal Rp 26.400 per botol. Koperasi hanya mendapatkan keuntungan Rp 2.400 per botol.
Setelah diolah pabrik dan ditambah proses pengemasan, saya memperkirakan harga arak Bali berkisar antara Rp 50.000 hingga Rp 60.000 per botol.
Itu belum termasuk tarif cukai yang dikenakan oleh negara. Tarif cukai itu berkisar antara Rp 20.000 hingga Rp 80.000 per liter. Biasanya tarif cukai dibebankan pada konsumen. Sehingga harga arak Bali yang berisi pita cukai, akan berkisar pada harga Rp 80.000 hingga Rp 130.000 di tingkat konsumen.
Dari ilustrasi di atas, saya rasa pembaca sudah bisa menyimpulkan siapa yang mendapat untung lebih besar dalam alur distribusi arak Bali yang begitu panjang.
Jualan Arak Bisa Ditangkap
Bila kita mencermati lebih lanjut Pergub Arak Bali, proses penjualan arak Bali tidak bisa dilakukan sembarangan. Produsen, sub distributor, pengecer, dan penjual langsung harus memenuhi sejumlah izin. Diantaranya Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkhol (SIUP-MB). Mereka juga harus menjual minuman yang telah dilengkapi pita cukai.
Apabila hal itu tidak dipenuhi, maka aparat keamanan dari institusi mana pun bisa melakukan penertiban. Mulai dari kepolisian, polisi pamong praja, hingga bea cukai.
Kantor Bea Cukai Denpasar sebenarnya sudah berencana melakukan penertiban penjualan arak Bali sejak tahun 2020 lalu. Seingat saya, Bea Cukai sempat memasang spanduk soal aturan penjualan arak Bali di sejumlah titik. Tapi tak sampai seminggu, spanduk itu sudah hilang.
Saya menduga pada masa pandemi, pemerintah berusaha membebaskan transaksi jual beli arak Bali. Selama transaksi itu masih dilakukan di dalam Pulau Bali. Sepanjang arak Bali tidak dikirim ke luar Pulau Bali.
Kelak bila pandemi telah usai, aparat penegak hukum pasti akan bertindak. Saya tidak akan terkejut apabila kelak Pol PP menggerebek warung yang menjual mojito. Saya tidak akan kaget, bila bea cukai menyita arak Bali yang tidak dilengkapi pita cukai.
Bagi anda yang sedang berjualan mojito atau arak Bali, manfaatkan momen ini sebaik-baiknya. Selama pandemi, anda tidak akan ditangkap aparat penegak hukum.
Eh, bukan hanya selama pandemi. Saya rasa anda akan aman sampai tahun 2024. Sebab tahun 2024 nanti ada Pemilu dan Pemilihan Gubernur. [T]