Saya melakukan perjalan ke Desa Siakin, Kintamani, Bangli, Jumat, 29 Oktober 2021. Jaraknya kurang lebih tiga kilometer dari Desa Les, Tejakula, Buleleng, tempat tinggal saya.
Berkendara sepeda motor menjadi pilihan di antara tanjakan dan tentu pula tikungan dengan pemandangan bukit khas kawasan hutan Kintamani. Perpaduan jalan bersemen, bertanah, hingga aspal harus dijajal untuk bisa menapakkan kaki tepat di Desa Siakin.
Sepuluh menit berkendara. Awalnya tubuh diliputi hawa panas menyengat. Lalu, seketika berubah menjadi dingin kabut dan pastinya terasa adem. Itu adalah tanda saya sudah memasuki kawasan Kintamani.
Di desa Siakin saya bertemu Wayan Sandi, lelaki berumur 81 tahun. Seorang dengan segunung pengalaman dalam mengulat (menganyam) bambu menjadi bedeg. Bedeg ialah ulatan berbahan bambu yang mempunyai bentuk persegi panjang yang biasanya digunakan sebagai dinding atau alas menjemur hasil panen petani.
“Semua orang di Desa Siakin, dulu, bisa membuat bedeg dan mereka menanam bambu,” ujar Wayan Sandi.
Laki-laki kelahiran 1940, lima tahun sebelum Indonesia merdeka, ini belajar membuat bedeg dari melihat secara otodidak di usia 15 tahun. Awalnya membuat bedeg untuk keperluan rumah sendiri. Ia juga dikenal sebagai tukang pembuat atap rumah dari bambu di Desa Siakin, sebelum genteng dan seng menggantikannya.
Saat usia Wayan Sandi memasuki 30 tahun, ia sudah memasarkan ulatan bedegnya ke desa -desa di bawah. Salah satunya Desa Penuktukan di Tejakula. Bahkan Desa Penuktukan menjadi tujuan utama Wayan Sandi untuk menjual bedeg.
Setiap dua hari sekali, ia akan membawa maksimal 10 buah bedeg, berjalan kaki menuruni jalanan berliku sampai akses jalan Siakin-Penuktukan terwujud sebagaimana layaknya jalan pada 15 tahun silam.
Kini di tengah kerentaan usia, Wayan Sandi masih membuat bedeg sesuai pesanan pelanggan. Bedeg yang dibuatnya secara umum berukuran 60 cmX1,5 meter.
“Untuk bentuk bedeg sekarang sudah sangat bervariasi sekali,” kata Wayan Sandi.
Dan kini untuk menjual bedeg ia tak perlu lagi berjalan kaki. Kini sudah ada pengepul yang mengambilnya.
Setiap hari rata-rata 15 -20 bedeg standar bisa ia hasilkan. Dan setiap 2 – 3 minggu sekali akan dikirim ke pengepul. Harga untuk satu buah bedeg ukuran standar Rp. 15.000.
Jika dilihat, ulatan bambu ini memang sangat sederhana. Namun butuh kecintaan khusus untuk bisa memilih bambu dengan baik, skill khusus untuk mebelah bambu dengan tepat, ngansud (menghaluskan) sampai mengulatnya dengan sempura.
“Jenis bambu yang dipilih biasanya tiing petung lengis,” kata Wayan Sandi. Ia termasuk turut menggerakan ekonomi dalam skala kecil dengan membeli bambu-bambu dari warga sekitar.
Di masa senjanya Wayan Sandi tetap bersemangat mengulat bambu menjadi bedeg. Permintaan yang relatif laku menjadi dilema tersendiri bagi Wayan Sandi. Tak ada lagi anak muda yang mau belajar untuk membuat ulatan multi guna ini.
Jika taka da anak muda yang mau meneruskan usaha Wayan sandi ini, hamper dipastikan Wayan Sandi termasuk generasi terakhir dari pelaku pengulat bambu bedeg ini. Semoga saja itu tidak terjadi. [T]