Surat Keterangan Bebas Narkoba sering dipakai sebagai salah suatu syarat administratif untuk melamar pekerjaan, melamar sekolah, bahkan melamar menjadi pejabat tertentu. Saya berkesempatan berinteraksi dan berbagai cerita dengan calon lurah, camat, anggota KPUD, anggota DPRD, kepala instansi, mahasiswa, dan lain-lain. Banyak di antara interaksi ini memberikan kesan mendalam dan perenungan untuk saya.
Pada suatu siang yang tidak terlalu menyengat datang seorang remaja lelaki, mengenakan pakaian yang cukup sopan, kemeja, celana panjang dan sepatu kets. Ia membawa sebuah ransel yang segera diletakkan di bawah, duduk dengan agak buru-buru dan memandang ke arah saya dengan siaga, siap untuk menghadapi wawancara yang mungkin baru pertama dijalaninya. Saya memandangnya sekilas dengan perasaan biasa saja, tidak terkesan, tidak juga meremehkan, hanya biasa saja.
Melihat jurusan fakultas apa yang akan ia masuki, pikiran saya terpicu untuk membuat wawancara ini lebih dari sekedar biasa saja. Selama tigabelas tahun saya menjadi dokter dan hampir 4 tahun menjadi pskiater, baru kali ini saya mewawancarai seorang remaja yang memilih untuk kuliah di jurusan ini. Jurusan yang jarang diminati. Padahal ilmu yang mempelajari perkembangan manusia dan budayanya ini menurut saya sangat penting.
“Kenapa memilih jurusan Antropologi?”
“Karena saya menyukai ilmu antropologi”
“Sudah pernah baca buku antropologi apa saja?”
“Belum sih, Pak, eh, Dok. Cuma kalau Dokter tanya saya tentang sejarah leluhur saya, maka saya yakin saya bisa menjawabnya!”
Saya agak mengernyitkan kening, mungkin dia menyadarinya, dia tampak bersemangat, kemudian malah mengambil kendali pembicaraan.
“Saya sangat tertarik membaca kisah-kisah yang terkait dengan silsilah keluarga, seperti pada babad-babad di Bali. Apakah Dokter juga suka membaca hal seperti itu?”
“Iya, saya pernah sangat tertarik membaca sejarah keluarga saya, sejarah desa saya, sejarah Bali secara umum, dan saya rasa antropologi lebih luas daripada itu.”
“Oh ya, tadi Dokter bicara soal buku antropologi, apakah Dokter juga tertarik untuk membacanya?”
“Saya sempat membaca satu buku tentang Bali yang memberikan gambaran tentang kondisi Bali di masa penjajahan dahulu. Buku yang sangat membuka wawasan ini ditulis oleh seorang warga negara asing (WNA) yang jatuh cinta terhadap Bali. Tadinya saya pikir, kamu sudah membaca buku itu.”
“Belum, Pak, eh, Dok. Saya belum membacanya, apa judul buku itu ya, Dok?”
“Buku tersebut berjudul The Island of Bali yang ditulis oleh Miguel Covarrubias dan sudah dipublikasikan pada tahun 1937”
Saat itu saya merasakan sikap skeptis terhadap keputusan yang diambil oleh remaja ini, ada berbagai praduga yang tetiba muncul. Saya tidak yakin apakah dia mendapatkan gambaran yang tepat tentang antropologi. Namun saya tidak mau membiarkan diri saya menghakimi, dan seperti sebuah kompulsi, saya terdorong untuk mendiskusikannya lebih lanjut.
“Beberapa waktu yang lalu, saya mengikuti sebuah kegiatan dengan narasumber seorang antropolog yang membahas bagaimana orang-orang Aceh dapat bangkit pasca tsunami. Bagaimana mereka menggunakan nilai budaya untuk memaknai bencana, mengatasi rasa kehilangan, dan menemukan semangat untuk move on. Satu praktik yang terutama didiskusikan adalah gotong royong.”
Saya tidak tahu, apakah saya terlalu bersemangat, terlalu mendominasi, dan apakah remaja ini memahami ocehan saya. Dia nampak bengong sebentar, seakan menarik napas dan mengambil waktu sejenak untuk mencerna informasi yang baru saja ia dengar. Saya ingin menambahkan sedikit efek dramatis.
“Oh ya, saya lupa, antropolog ini juga seorang WNA yang terjun dan berinteraksi langsung ke masyarakat, melakukan suatu program dan meneliti keberhasilannya. Ia menuliskan lalu menyebarluaskan penelitiannya, hal yang perlu dijadikan budaya oleh orang Indonesia.”
Saya merasa kelewat bersemangat, lalu bertekad untuk memberinya kesempatan menanggapi apa yang saya sampaikan barusan. Namun saya seolah terdorong oleh entah semangat atau rasa narsisistik, tak ingin kehilangan momentum kesan tertegun di wajah polosnya.
“Kenapa bukan antropolog dari Indonesia yang dipilih untuk bicara pada workshop itu? Padahal kegiatan ini diadakan oleh sebuah institusi dalam negeri! Kenapa antropolog ini begitu fasih dan percaya diri bicara tentang Indonesia, kepada kami, para peserta dari Indonesia? Apa karena tidak ada antropolog Indonesia yang cukup kompeten? Masa sih seperti itu?”
“Maaf, Pak, eh, Dok. Saya ingin bertanya, kenapa Dokter tertarik dengan antropologi?”
Ini adalah wawancara, kata nurani saya, perbincangan harus dialihkan karena saya yang seharusnya banyak bertanya, bukan sebaliknya.
“Apakah ada anggota keluargamu yang berprofesi sebagai antropolog?”
“Tidak ada, Dok, bahkan mereka mempertanyakan keputusan saya ini, dan berusaha untuk membatalkannya. Makanya saya ingin tahu, kenapa Dokter tertarik dengan antropologi. Saya ingin lebih percaya diri menjalani keputusan saya ini. Saya ingin menemukan alasan, agar saya bisa lebih semangat.”
Saya menarik napas panjang, memandang ke arah remaja ini dengan sudut pandang berbeda, saya merasa lebih mengenalnya ketika dia lebih jujur, tulus mengakui perasaannya. Di satu sisi ia sudah mengambil keputusan penting dalam hidup. Di sisi lain, keputusan ini tidak mendapatkan dukungan sepenuhnya dari keluarga. Mungkin saja, suatu saat ketika ia kurang sukses dalam menjalani keputusan ini (sesuai standar kesuksesan pada umumnya), akan ada orang yang berkomentar. “Kubilang juga apa, kamu bandel sih!” Saya pikir kesadaran terhadap hal ini menimbulkan riak-riak rasa kurang percaya dirinya.
“Saya seorang psikiater, tentu saya memerlukan pengetahuan antropologi untuk lebih memahami pasien saya. Saya merasa antropolog perlu lebih banyak tampil dan menulis tentang Indonesia, tentang Bali. Belajarlah yang baik, banyaklah membaca, buku-buku, jurnal-jurnal ilmiah, kemudian mintalah bimbingan yang banyak, mentoring dari dosen-dosenmu. Kalau mereka membuat penelitian, ikuti mereka, gabung dalam timnya. Belajarlah menulis, karya ilmiah maupun populer, berikan pencerahan kepada masyarakat. Suatu saat keluargamu pun akan tercerahkan dan tidak lagi mempertanyakan keputusanmu. Saya rasa, memberi manfaat untuk profesi lain, masyarakat dan juga keluargamu, adalah alasan yang cukup bagus.”
Dia tercenung, posisi badannya relatif lebih condong ke depan dibandingkan saat pertama kali duduk tadi. Pandangan matanya pun terasa lebih tegas dan terkesan penuh tekad.
“Terimakasih, Dok, saya mendapatkan banyak pencerahan hari ini.”
Tidak terasa, sudah sekitar setengah jam kami berdialog. Dan setelah itu, pikiran saya masih melayang ke mana-mana, tentang bagaimana kira-kira masa depannya, tentang betapa bangganya saya nanti, ketika dia benar-benar menjadi seorang antropolog yang sukses.
Lalu saya tertegun, apa saya yakin dia akan menjadi seorang yang sukses? Kalau iya, kenapa pikiran saya tidak mencatat namanya? Lalu saya membatin, sambil menghibur diri. Kalau memang hari ini adalah hari yang sangat berarti buatnya, tentu sampai kapanpun dia akan ingat, dan suatu saat mungkin saja kami akan dipertemukan kembali. Dan entah bagaimana, dia akan mengingat saya. [T]