Bata dari Desa Tulikup, Gianyar, siapa yang tahu? Di desa itulah bata premium atau bata unggulan diproduksi dengan proses penuh cinta.
Senin pagi yang berawan, 4 Oktober 2021. Saya berkunjung ke Desa Tulikup di Kabupaten Gianyar. Dari Denpasar ke Tulikup saya menyusuri Jalan By Pass Ida Bagus Mantra kurang lebih 30 menit. Tepat di perempatan Pantai Lebih, belok kiri, ikuti petunjuk jalan. Tanpa GPS (General Positioning System). Bertanya sesekali pada ibu di pinggir jalan. Akhirnya tiba saya di Tulikup, sebuah desa yang dikenal sebagai sentra produksi bata.
Di sana saya bertemu Nyoman Jaya. Nama aslinya Nyoman Astrawan, dan entah kenapa ia lebih dikenal dengan nama Nyoman Jaya. Usainya 45 tahun. Ia bukan warga asli dari Tulikup. Ia berasal dari Desa Les, Tejakula, Buleleng. Ia merantau ke Tulikup, dan di desa itu ia menjadi perajin bata bata.
Seperti kebanyakan anak desa di Desa Les, merantau seakan-akan sebuah cita-cita. Sesekali pulang ke desa untuk bersua dengan sanak keluarga di desa. Begitu juga dengan Nyoman Jaya. Bapak dari dua anak ini sudah menghabiskan seperempat abad hidupnya di Desa Tulikup, mengeluti pekerjaan sebagai perajin bata-bata. Dua puluh lima tahun waktu yang tidak singkat untuk mendedikasikan diri menjadi perajin batu-bata.
“Awalnya, ketika memulai pekerjaan dua puluh lima tahun lalu, saya hanya melihat-lihat, lalu belajar dari teman, dan kini sudah menjadi biasa,” kata Nyoman Jaya.
Sekarang pekerjaan membuat batu-bata telah menjadi laku sehari-hari dan sumber penghasilan bersama istri dan dua orang anak. Setiap hari ia bersama istri mencetak kurang lebih 360 biji bata mentah. Harga bata terus naik, dari harga Rp 1000-an sampai sekarang harganya Rp 3.000-an per biji, dan ia tetap bekerja.
Ia bekerja dengan sistem borongan dan bertanggungjawab pada majikan. Seperti juga pekerja hotel, umumnya pembuat batu-bata membagi waktu kerjanya menjadi tiga bagian atau tiga shift:
Shift Pagi
Pagi hari dimulai pada puku 7.00. Nyoman Jaya sudah membuat adonan tanah, untuk dicetak menjadi bata mentah. Adonan tanah ini akan didiamkan satu hari sampai “pasil” untuk mendapatkan kualitas adonan yang super. Pasil adalah istilah untuk adonan tanah yang siap dicetak menjadi bata.
Shift Siang
Tepat setelah istrahat makan siang, pukul 13.00 adonan yang sudah siap akan dicetak menjadi bata dengan cetakan ukuran 26 cm X 12 cm persegi panjang.
Shift Sore.
Setelah bata mentah dicetak, bata itu dipindahkan ke tempat penjemuran setelah dioles dengan alat khusus untuk meratakan sisi-sisi bata. Tanah yang digunakan menjadi batu-bata adalah tanah lokal Desa Tulikup dan dicampur abu dapur.
Nyoman Jaya bercerita, proses pembuatan bata ini bisa dilakukan sambil menahan lapar dan haus karena panjang dan lamanya proses yang harus dilakukan untuk mendapatkan bata yang siap dijual atau siap dipakai.
Bayangkan saja, proses penjemurannya bisa sampai sebulan penuh jika cuaca kurang bersahabat. Paling cepat 20 hari jika cuaca normal. Jelaslah, dalam hal ini bata gososk ini adalah memang hasil kreatif dari tangan perajin seperti Nyoman Jaya tanpa menggunakan bantuan mekanik sedikitpun.
Proses penjemuran mencapai 3 hingga 4 minggu. Setelah itu masuk ke proses pembakaran. Proses terakhir ini adalah proses yang sangat premium. Bagaimana tidak? Bata yang sudah kering disusun rapi ke dalam gerombong (tempat pembakaran). Pembakaran dengan mengunakan kayu spesial yakni kayu belalu dan tidak pernah kayu lain. Selain sebagai pengantar panas yang dipercaya baik, penggunaan kayu ini juga sudah menjadi tradisi untuk mendapatkan hasil pembakaran yang maksimal.
Gerombong yang kurang lebih mampu memuat 20.000 biji bata itu, memerlukan kurang lebih lima truk kayu bakar. Proses pembakaran bata ini biasanya dilakukan setiap 3 atau 4 bulan sekali, agar kuota atau jumlah bata yang biasanya dipesan orang bisa terpenuhi.
Proses pembakaran bata premium ini memakan waktu 3-4 hari non stop tanpa henti. Terbayang satu hari 24 jam, dikalikan 3 -4 hari. Memang butuh ketelatenan dan cinta tersendiri untuk mengerjakan ini sehingga memperoleh kematangan sempurna.
Setelah itu, bata dalam gerombong itu didiamkan selama 3-4 hari lagi untuk proses pendinginan. Dan jadilah batu bata yang sering kita lihat di berbagai tempat, berbagai bangunan. Tetapi batu bata ini spesial dari proses bahan, sampai akhir.
“Saya punya angan dan idealisme untuk tetap membuat pakem pembuatan bata sema seperti dulu,” kata Nyoman Jaya. [T]