Ibarat sepasang suami istri, yang pekerjaannya sebagai petani, usia mereka sudah lanjut, yang suatu ketika, sejak awal membuat sebuah keputusan dengan didasari keyakinan hidup beserta latar belakang yang mereka pegang teguh, direfleksikan dan disepakati bersama dengan beberapa orang yang memiliki pendidikan tinggi (formal).
Kemudian berselang waktu, beberapa tahun, setelah keputusan itu mereka buat dan sepakati bersama, kemudian berusaha diubah lagi dengan bujuk rayu, dalam situasi yang tidak terduga dengan segala argumen pembenaran oleh beberapa orang yang sejak awal diajak membuat sebuah keputusan tersebut, yakni seorang ahli hukum (mengetahui aturan dasar hidup formal), seorang ahli kesehatan (mengetahui dasar tentang tubuh sehat dan sakit), seorang ahli bahasa (mengetahui dasar untuk bertutur kata secara formal) dan seorang ahli sastra (mengetahui dasar arti kata-kata).
Bagaimana respon pasangan petani itu, yang sebenarnya sudah beristirahat dari pekerjaannya sebagai petani karena sudah berusia lanjut? Bisa kita bayangkan apa yang dipikirkan pasangan suami istri saat itu?
Namun walau dengan segala keterbatasan pengetahuan formal yang dimilikinya, bisa dikatakan hanya sampai tamat pendidikan dasar, sangat jauh tingkat pendidikan formalnya dengan beberapa orang ahli dibidangnya yang diajak berargumen, walau tanpa ada pihak yang menengahi dalam situasi itu dan apalagi sedikit membela mereka, dengan usia keduanya yang sudah lanjut, yang tentunya rentan dengan kondisi kesehatannya, pasangan suami istri yang dulunya bekerja sebagai petani itupun menjawab dan tetap teguh memegang keyakinan dan prinsip hidupnya walaupun berusaha diberikan berbagai penjelasan yang tentunya cenderung subyektif mengarahkan, yang didasari tujuan dan kepentingan, dengan kelihaian masing-masing yang memiliki pengetahuan pendidikan tinggi tingkat formal, hingga dengan berbagai balutan kata dan bahasa.
Sejatinya, saat ahli hukum itu berbicara, dia telah melanggar aturan dasar atas kesepakatan yang sudah lama dibuat bersama sejak dulu, dan ahli bahasa menggunakan bahasa untuk sebagai pembenaran dengan berbalut kebaikan dipermukaan, kemudian ahli kesehatan bahkan tidak melihat dan berusaha mengerti kondisi kesehatan pasangan petani itu yang sudah usia lanjut itu, di saat itu terjadi, ahli sastra pun diam tanpa kata satupun, yang sebenarnya dia adalah ahli tentang arti kata.
Mereka dengan sangat sadar dan sengaja telah mengorbankan pengetahuannya sebagai “selimut tebal” dibalik representasi dunia materi yang sejatinya mendominasi pikiran orang-orang berpendidikan tersebut.
Dari ilustrasi di atas ini, jika sepintas dipikirkan mungkin akan terkesan sederhana, namun kalau direnungkan secara mendalam, maka sejatinya pengetahuan diharapkan untuk membuat kita bisa merasa terenyuh, berempati mengerti dan dapat memahami hakikat penghormatan atas keberadaan pengetahuan dalam pikiran itu sendiri melalui pengalaman hingga pemahaman diri sendiri atas hidup orang lain atau tentang sesuatu hal.
Seringkali, hal itu terjadi dalam dunia sekarang. Bak cerita dalam sinetron hingga mungkin drama korea, memang cara berfikir orang berpendidikan formal tinggi pun, seringkali jika didalami, memang “terbalik”, yang jika direnungkan bahwa pengetahuan terkadang membuat jebakan tersendiri dalam pikiran seseorang hingga pada sebuah pemikiran.
Sudah banyak kita saksikan yang tersaji di media massa hingga elektronik saat ini.
Pun sebaliknya, ada kemurnian yang tersirat dari domain area cara berpikir, dari pasangan petani dalam ilustrasi di atas, yang walau cenderung dianggap tidak berpengetahuan di pendidikan tinggi tingkat formal, bahkan diasumsikan nihil (sejatinya murni) bagi mereka, justru pasangan petani tersebut dalam merefleksikan pikirannya telah didasari keyakinan dan prinsip hidup yang mulia, mereka juga tetap menghargai dan menghormati komitmen sebuah keputusan yang sejak awal disepakati bersama, sejatinya tersirat kemuliaan dalam pikiran pasangan petani tersebut, dimana dengan pengetahuan yang dimiliki sangat penting diselaraskan dengan kesungguhan hati nurani dalam menghadapi segala kenyataan hidup, sebagai sebuah ketulusan dan kemuliaan hati sesungguhnya.
Artinya, pengetahuan yang belum utuh dipahami dalam pendidikan formal secara nyata dalam kenyataannya telah merubah prinsip dasar hidup dan sekaligus menggoyahkan keyakinan dalam pikiran, akibat adanya kompleksitas arsir dominan dunia kepentingan, hingga menyelimuti dan membayangi pilihan kata-kata dan bahasa sebagai penghantar pengetahuan untuk pembenaran menuju pemenuhan kepentingan yang diharapkan.
Keyakinan berbanding lurus dengan prinsip dalam berfikir. Keyakinan intisari pikiran dalam sukma, keyakinan terefleksi dalam sebuah prinsip, yang eksplesit dapat disaksikan. Kekokohan prinsip tentunya didasari keyakinan dalam pikiran itu sendiri.
Ketajaman pikiran cenderung dan seringkali dikhianati oleh pengetahuan yang belum seutuhnya digunakan dalam hati, dalam hal ini pendidikan yang diraih dengan runutan antiklimaks, non alamiah, pun di tingkat tinggi formal, yang kemudian secara sadar seperti digunakan sebagai “alat” menggiring keyakinan dan prinsip orang/pihak lain yang sudah baku, aturan yang disepakati sebelumnya, kemudian berusaha dengan berbagai cara sengaja dan sadar merubah hingga melanggar, yang merupakan bagian dan hakikat dasar atas pengetahuan itu sendiri, hanya demi untuk menggapai kepentingan pribadi sesaat dan sesat dalam pikirannya.
Apakah pengetahuan atau pikiran yang “terbatas” ?
Pastinya tidak, pengetahuan, ibarat kandungan, elemen, zat atau gelombang yang terhampar melimpah dalam semesta, dan pengetahuan yang ada di dalam pikiran , bagian yang melimpah ada dalam organ otak.
Seberapa tajam dan tekun pikiran kita mengurai tanda dan gejala kehidupan di sekitar kita untuk mengasah pikiran itu sendiri yang kian mengalir diselimuti berbagai macam pemikiran ?
Pengetahuan yang coba diurai satu demi satu dari hamparan tidak terbatas dalam semesta, laksana kandungan elemen alam seperti terpancar seperti gelombang energi, berproses dengan sendiri di dalam setiap pikiran dalam otak, jamak bertebaran melengkapi dan tarik menarik diantara berjuta gelombang pengetahuan yang bertebaran, berdialektika antar pikiran melalui pemikiran, hingga berrefleksi multitafsir antar tekstual melalui teks, yang salah satunya pada sebuah pertarungan ego dan konflik hingga sampai pada area dunia materi di permukaan.
Walau ada yang kemudian sampai pada kesadaran pikiran, penyadaran diri melalui pengetahuan itu sendiri yang membawa pikiran ke arah paripurna tentang hakikat alam, dan juga ada yang terus hanyut hingga tenggelam dengan ketidaksadaran dengan pembenaran dan kepentingan sesaat membebaninya, yang terbungkus pengetahuan tanpa pengalaman hidup yang alami, walau dalam kehidupan nyata sudah dianggap berpengetahuan pada tingkat pendidikan yang tinggi, ahli hingga profesor.
Andai kita renungkan kembali, bahwa kearifan budaya leluhur adalah alhasil dari sebuah pemikiran, pikiran yang “tajam, kukuh, kokoh dan mulia”. Walau pengetahuan yang digapai tanpa melalui pendidikan formal sekalipun, namun pengetahuan dari hasil memahami tanda-tanda, gejala hingga dampak dalam alam semesta, terbukti telah banyak menghasilkan mahakarya pemikiran adi luhung pada jamannya, bahkan dijadikan sebagai tonggak pembabakan waktu, yang dikenang dan terkenang serta bermanfaat baik hingga hari ini dan untuk masa depan.
Sejatinya pemikiran mewariskan berbagai hikmah kearifan budaya bagi pendukung dalam setiap kebudayaan suatu wilayah.
Ketajaman pikiran koneksitas kekuatan alam semesta
Kembali pada ilustrasi pasangan suami istri petani di atas, bisa direnungkan kembali sebagai bahan refleksi.
Bagaimana seringkali pengetahuan digunakan sebagai jalan pintas untuk mencapai tujuan yang diharapkan dengan instan tanpa ingin melalui proses secara alami.
Sesungguhnya, secara jelas dalam konsep alam, secara logis, ketika memilih “jalan pintas”, saat itu pula telah dengan sengaja dan secara sadar telah meninggalkan alur area arsir kehidupan yang semestinya kita lalui. Disisi lain, telah mengambil atau memotong alur hidup orang lain.
Hingga akhirnya alur area arsir, yang sengaja ditingggalkan itu, yang merupakan bagian alur hidup sesungguhnya, akan tetap kembali hadir dan menunggu di depan dengan berbagai macam bentuk dan ragam alur area arsir kehidupan, dan cenderung lebih tidak diharapkan sebagai sebuah akumulasi destruktif jalan pintas itu sendiri.
Ketajaman dan kekuatan pikiran, sejatinya pikiran kita sendirilah yang mengasah dan memeliharanya dengan pengetahuan yang alamiah, yang utama.
Ketajaman pikiran dapat terefleksi pada sebuah wujud benda, dunia materi, hingga juga pada sebuah “mimpi” melaui keyakinan.
Semua berawal dari mimpi yang disertai keyakinan, keikhlasan, usaha dan ketekunan. Ketajaman pikiran dasar pencapaian sebuah mimpi dalam hidup. Pembuktian kemurnian dan ketulusan keyakinan hidup kita adalah kehidupan generasi kita di masa depan.
Selamat merayakan Rahina Tumpek Landep. [T]