Di tengah ramainya para pejalan turisme ala-ala tivi dan youtuber dengan konten-konten petualangan untuk dapat dapat like dan subscriber, ada tiga petualang menempuh perjalanan tanpa banyak bicara.
Mereka adalah Kidung Saujana, Coki B.K, dan Lana Alfan. Mereka dari Komunitas Nusalayaran Bandung yang konsisten menyuarakan cagar alam serta daerah konservasi. Mereka disebut para Pejalan Garis Langit. Mereka memulai perjalanan dengan naik sepeda mulai dari Bandung sejak 25 Februari 2021, dengan titik balik Khatmandu, Nepal. Mereka membawa misi inventarisasi lokalitas konservasi yang tersebar di Nusantara dan Asia Tenggara, memperjuangkan cagar alam, serta melakukan kampanye #sadarkawasan.
Rutenya yang dilewati,Jawa Barat, Jateng, Jogja, Jatim, Kaltim, Kaltara, Kalsel, Kalteng, Kalbar, Sumatera, Malaysia, Thailand, Laos, Vietnam, Kamboja, Myanmar, India dan Nepal dengan estimasi 1,5 tahun perjalanan.
Bagi mereka, agaknya saya tidak berlebihan jika perjalanan bukan hanya sekedar perjalaanan tapi perjalanan yang membawa pesan serta memberikan tanda. Perjalanan adalah pilihan serta bisa saja menjadi nasib itu sendiri. Jika menolaknya bisa menjadi kutukan. Perjalanan adalah rumah itu sendiri.
Menariknya para pejalan Garis Langit ini, bekal sejati mereka adalah alam (nature) itu sendiri. Semua yang ada di bawah langit ini adalah pendukung langkah Kidung, Lana dan Coki, tak terkecuali kita semua.
Tidak ada jarak yang benar-benar jauh. Yang ada adalah kaki yanģ tidak mau mengayuh. Ekspedisi Garis Langit adalah perjalanan Bandung-Nepal dengan sepeda sebagai medianya.
Pada hari-hari ini, Agustus, Ekspedisi Garis Langit sudah ada di Kalimantan untuk beberapa hari ke depan tentu menyuarakan cagar alam serta gerakan merawat dan menanam. Ekspedisi Garis Langit butuh waktu dua bulan untuk menyelesaikan perjalanan hingga di ujung Kalimantan Timur sampai ujung Kalimantan Selatan dengan jarak 9000 Km.
Jalur Kalimantan Timur bukanlah jalur remeh. “Ķita akan menemukan ratusan jalur serupa, tanjakan dan turunannya berulang-ulang yang tentu saja membuat lelah,bahkan bisa salah-salah sedikit bisa putus asa dan frustasi. Belum lagi faktor cuaca yang sangat panas juga memberi efek tambahan atas beratnya rute yang satu ini,” kata Kidung.
Tadi malam, 9 Agustus, Kidung, Coki dan Lana akhirnya mengucapkan selamat tinggal Kalimantan Timur di perbatasan bagian selatan. Di perbatasan, tepatnya di tanjakan terakhir sebelum sampai di gerbang perbatasan, rupanya Kepala Desa Muara Soepriyadi sudah memantau dan menunggu.
Tepat ketika pertama kali berpasasan dengan Kepala Desa Muara mengatakan, “Saya sudah menunggu kalian lewat sejak pagi tadi sambil mengajak untuk menikmati hidangan di daerah gerbang perbatasan!”
Kepala Desa berpesan pada Kidung, Lana dan Coki, nanti setelah ekspedisi mereka mau kembali ke tempat itu lagi. “Akan Bapak berikan Tanah berapapun luasnya yang kalian mau,” katanya dengan nada serius.
Tentu mereka mengangguk saja dulu, karena pikir mereka itu hanya gùrauan, Ternyata Pak Kades sedang tak berguarau. Pak Kades memberikan tanah di desanya jika mereka bertiga mau kembali ke sana,
Tanah yang diberikan pada mereka hanya boleh ditanami sayur dan pohon yang menghasilkan air, konservasi serta dengan tegas Pak Kades mengatakan jangan ditanami sawit.
Itulah sekilas perjalan Kidung, Coki dan Lana, sampai bertemu di cerita perjalanan di beberapa titik Ekspedisi Garis Langit. Salam Lestari,Rahayu, Hormat lan Santi. [T]