Tahu patung blue marlin di pantai Desa Les, Kecamatan Tejakula, Buleleng, yang sempat diberitakan ramai-ramai di media cetak dan online?
Patung itu didesain tanggal 20 Februari 2021 dan mulai digarap tanggal 3 Maret, dibuat oleh para pemuda Desa Les, berjumlah 7 orang, salah satunya Komang Trisna Ananda.
Bahan patung itu adalah sampah plastik. Itu yang membuat patung itu jadi istimewa. Patung itu menghabiskan kurang lebih sekitar 600-an botol plastik dan hampir ribuan label kemasan botol dan juga beberapa plastik tas kresek.
Patung itu kini seakan menjadi ikon Desa Les. Bukan saja ikon seni, melainkan juga ikon sebagai desa yang punya perhatian penuh terhadap kreativitas pengelolaan sampah plastik di desa itu.
Pengelolaan sampah yang baik di Desa Les tak bisa dilepaskan dari persentuhan dan pergaulan warga asing dan warga lokal di desa itu. Desa Les, meski sebagai desa yang cukup jauh dari ibukota kabupaten dan ibukota provinsi, namun desa itu seakan memiliki daya tarik sehingga banyak warga asing datang ke situ, bahkan menetap.
Warga asing itu bukan melulu wisatawan yang ingin menikmati keindahan pantai Desa Les dan keasrian bukit-bukitnya. Mereka kebanyakan mahasiswa dan aktivis lingkungan, yang tertarik menerapkan ilmu tentang penyelamatan lingkungan, baik di laut maupun di daratan.
Mari bicarakan soal Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) di Desa Les. Sejak tahun 2017 TPST yang memiliki sebelas staff dan berkolaborasi dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) Sea Communities. Dari kolaborasi ini lahirlah berbagai program baik, sekaligus mendapat perhatian dari sejumlah lembaga pendidikan di Australia, AS dan negara lain. Persentuhan-persentuhan
“Sea Communities banyak berkolaborasi dengan pemdes di unit TPST dalam hal edukasi dan berbagai program community service untuk dalam hal pengelolaan sampah,” kata Perbekel Desa Les Gede Adi Wistara.
Kegiatan TPST dan kolaborasi itu akan didukung dengan Peraturan Desa (Perdes) tentang pengelolaan sampah berbasis sumber antara desa adat dan dinas yang draftnya sudah rampung dan kini tinggal pengesahan sehabis PPKM.
Salah satu staff TPST, Gede Arsana, menuturkan kolaborasi dengan Sea Communities sangat membantu dalam edukasi sampah, dalam memilah sampah, dan memahami permasalahan dari banyaknya jenis-jenis sampah. “Terlebih lagi memahami nilai ekonomis dari sampah yang sangat jarang orang awam pahami, bagaimana sampah bisa menjadi sumber penghasilan dan kreatifitas dan juga aktifitas wisata,” kata Arsana.
Bagaimana bentuk kolaborasi Sea Communities dengan TPST?
Adalah Edgar Bernal atau yang lebih dikenal dengan nama Bali, Nyoman Girri, warga negara Filipina yang sudah hampir menetap 5 tahun di Desa Les. Girri adalah Program Manager Sea Communities.
Awalnya, aktivitas utama komunitas adalah membersihkan terumbu karang di laut Desa Les. Pasalnya, terumbu karang itu hampir seriap saat dimasuki sampah yang berasal dari aliran sungai maupun selokan yang mengarah ke pantai.
Setelah melalui beberapa kesempatan survei, komunitas itu sepakat untung menanggulangi persoalan ini dari hulu, yaitu tempat pembuangan sampah sekaligus mengedukasi masyarakat yang melibatkan insan pendidikan di desa, seperti siswa dan guru SD serta SMP.
Upaya dan program-program penanggulangan sampah itu kemudian mendapat perhatian sehingga sejumlah lembaga turut membantu dan bekerjasama. Dua alat pencacah sampah sekaligus pencair sampah plastik untuk membuat melamin didapatkan dari CSR organisasi Earth Watch Institute dari Australia (Earth Watch Australia)
Southern Cross University Australia yang juga membuat “The Shruder Workshop” atau pelatihan daur ulang sampah plastik di Desa Les. Tak ketinggalan, Carol University, Filipina, juga menjadi kampus yang mendukung kegiatan community service ini.
Sebelum pandemi, mahasiswa dari kampus-kampus itu datang ke Les, untuk melakukan semacam KKN (Kuliah Kerja Nyata), dan di situlah terjadi project-project kolaboratif hasil dari persentuhan warga asing dan lokal, termasuk persentuhan-persentuhan budaya dan teknologinya.
Nah, patung blue marlin di tepi Pantai Desa Les itu adalah project dari Carol University. Selama pandemi project pemanfaatan limbah plastik menjadi seni rupa patung ikan marlin adalah project virtual yang digagas untuk kampus tersebut khususnya dalam bidang Marine Science Biology. Selama pandemi koordinasi dan kolaborasi banyak dilakukan secara daring.
Bahkan bukan hanya dari kalangan mahasiswa saja yang datang dari seluruh dunia (Australia, Singapura, Amerika serikat, Belanda, dll) kalangan profesional pun banyak yang datang ke desa les untuk berwisata “sampah” ini. Keindahan alamnya adalah bonus tersendiri, pastinya.
Yang membanggakan dari kolaborasi ini, di samping masalah sampah bisa diatasi, dampak ekonomis dirasakan, dan program ini menjadi best seller wisata edukasi yang ditawarkan Desa Les.
Apa saja yang dilakukan warga asing yang berkunjung ke TPST Desa Les?
Pertama, mereka turut memilah sampah plastik, sesuai dengan jenis dan klasifikasi kelas plastiknya. Kedua, mencacah plastik atau mencairkannya menjadi melamin di mesin shruder, sehingga menghasilkan tangan menyerupai lidi dari bahan plastik
Ketiga, membuat anyaman dari bahan melamin yang dihasilkan menjadi kerajinan tangan seperti ingka dan lain-lain
“Kegiatan ini adalah best seller dari program Earth Watch bekerjasama dengan Sea Communities dan TPST Desa Les,” kata Nyoman Girri, warga Filifina yang jadi pentolan di Sea Communities itu.
Kalau sudah begini, kolaborasi dan sinergi dari banyak pihak adalah kunci maju bersama jntuk mengubah stigma sampah menjadi berkah. [T]