Saat pameran seni di Kulidan Kitchen berlangsung selama delapan hari mulai dari tanggal 3 April 2021, komunitas seniman Galang Kangin menampilkan karya karya seni mulai dari lukisan, patung, dan media campuran. Di dinding bagian utara ruang galeri, ditunjukkan karya yang merupakan perpaduan dari karung beras yang dia dapat dari membeli kebutuhan sehari hari dan kertas karton. Dengan memanfaatkan barang barang bekas, seniman ini dapat menghasilkan karya yang layak dipamerkan.
- Karya di atas dibuat oleh Eka Putra Della, diberi judul “Pipit” dengan ukuran 88 cm X 75 cm.
Komposisi objek terdisi dari burung pipit yang dibuat dengan menggunakan kertas karton yang diwarnai tinta akrilik lalu ditempelkan di atas karung beras dengan cara kolase seperti gambar di atas. Eka membuat karya ini berdasarkan hal hal yang dia amati dalam kehidupan sehari hari yaitu banyaknya burung pipit yang menimbulkan masalah saat musim panen sehingga menguras tenaga petani dan warga desa untuk mengusirnya dengan kentongan.
Burung Pipit adalah hama pertanian karena memakan biji bijian saat padi memasuki masa panen. Itu yang diajarkan dari sekolah dasar sampai sekarang. Para petani mendirikan orang orangan sawah, memasang jaring, atau membawa kentongan dan bunyi bunyian untuk mengusirnya. Sejak era pertanian industri, pestisida marak digunakan untuk basmi burung hama. Dampaknya, mikro organisme dan biota pada tanah tidak menjalankan fungsinya dengan layak seperti penggemburan tanah secara alami dan penguraian zat organik menjadi unsur hara karena racun yang mengenainya. Biaya pestisida menjadi pengeluaran tetap petani. Burung pipit , meski memakan biji bijian padi, ia memakan benih tanaman gulma(1).
Jadi di sinilah perlunya pengembangan pengetahuan ekologi sawah untuk mengelolanya dengan benar.
Setiap mahluk hidup di alam memiliki potensi manfaat. Ini juga berlaku bagi burung pipit. Bagi sebagian orang, burung pipit dijadikan makanan. Mulai dari direbus, digoreng dan ditumis. Pemanfaatan burung pipit untuk menjadi kuliner ini menambah pendapatan petani dan salah satu bentuk pengembangan industri kreatif makanan. Di Yogyakarta, burung pipit memiliki nama kudapan istimewa yaitu emprit goreng bacem yang telah ada sejak lima puluh tahun lalu. Tekstur daging pipit mirip dengan burung merpati atau puyuh(2).
Di Desa Tumpang, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus provinsi Jawa Tengah , seorang warga desa yang sering berburu hama burung di sawah memanfaatkan hama itu menjadi bernilai tambah. Awalnya dia mencoba coba memasak sendiri burung itu dan dibagikan kepada tetangga. Kemudian, saat tersebar rasa kelezatannya , orang orang membeli burung pipit goreng seharga Rp 1.000 ,00 per ekor. Akhirnya pemburu hama burung ini memutuskan mendirikan warung makan yang menyediakan menu emprit goreng dan menjadi kuliner yang khas di desanya(3).
Selain itu, penggunaan pestisida dan herbisida dapat diperkecil. Penciptaan produk kuliner dari burung pipit menunjukkan bahwa hama burung berpotensi menggerakkan ekonomi desa dan mengurangi pembelian racun supaya menghasilkan daging yang aman dikonsumsi. Berarti setiap hewan di sawah itu memiliki nilai guna secara langsung maupun tidak langsung. Di sinilah keharusan dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang tidak hanya bersifat teknologi saja melainkan dipadukan dengan pengamatan pola pola yang ada di alam untuk memanfaatkan potensi guna ini. [T]
- Ikhwan Hastanto. Wacana Pemerintah Sleman Basmi Burung Pipit Dikritik Aktivis dan Pakar LIPI. 30 Maret 2021 https://www.vice.com/id/article/n7v8wm/ide-pemerintah-sleman-basmi-burung-pipit-pakai-jaring-dikritik-aktivis-dan-pakar-lipi
- Tedy Kartyadi. Icip Tongseng Burung Emprit, Dengan Cita Rasa yang Menggigit. 24 Agustus 2020. https://bernasnews.com/icip-tongseng-burung-emprit-dengan-cita-rasa-yang-menggigit/
- Yayan Izro Roziki. Emprit Halilinter Kuliner Baru di Kudus. 21 Maret 2018. https://jatenglive.com/tampil-berita/Emprit-Halilintar-Kuliner-Baru-di-Kudus