Pertama Kali ke Lombok
Brrrr… dingin Pelabuhan Padang Bai semakin membuat hatiku sedih. Di kejauhan bapak dan ibu melambaikan tangan membuatku sedikit lebih tegar. “Ini semua untuk mereka”, kataku di dalam hati. Kapal keberangkatan terakhir jalur Padang Bai-Lembar Lombok bergerak perlahan. Orang lain cerita indahnya bersama pergi ke Lombok, tapi saat pertama kali saya ke Lombok, saya seorang diri. Membuatku sedikit takut dan kesepian.
Jam di handphone jadulku menunjukkan pukul 00:28 WITA, handphone second yang kubeli dengan harga murah namun masih bisa digunakan untuk komunikasi. Bentuknya persegi panjang sekitar 10 cm x 5 cm dengan casing warna orange. Saya masih terengah-engah karna berlari dari parkiran ke geladak kapal, hampir saya ketinggalan kapal.
Segera kubalas lambaian tangan bapak dan ibu, berpura-pura tegar di depan mereka agar tidak khawatir. Sejujurnya mereka tak melihat air mataku menetes ke lantai besi kapal penyeberangan, suasana malam kala itu membuatnya tak begitu jelas terlihat.
Saat itu, saya ke Lombok untuk mendaftar kuliah Fakultas Kedokteran (FK) di Unram. Pagi sebelum ke Lombok, saya sebenarnya sudah ikut tes masuk FK di Unud. Jadi, pagi tes di Universitas Udayana, sore hari ada teman mengabarkan ada tes juga di FK Unram, jadi sebagai planing B saya coba juga tes di sana.
Hari itu juga dari Jimbaran langsung ke Singaraja, kemudian ke Pelabuhan Padang Bai sekitar jam 8 malam start dari rumah saya di Desa Tamblang, Kubutambahan, naik sepeda motor.
Beberapa teman memberiku nasehat jangan ke sana, namun toh hatiku tetap ingin mencoba peruntungan dengan kehati-hatian. Sampailah fajar di ufuk timur, saya sampai di Pelabuhan Lembar.
Senang akhirnya sampai sesuai rencana, sepeda motor bututku segera melaju ke arah kota. Dimana ya kotanya? Beruntung ada keluarga temen yang menjemput dan mengantarkan ke rumahnya. Lega sesaat karena setelah ini saya harus ke kampus Universitas Mataram mendaftar.
Di sana saya sadar, sepanjang ada niat maka pasti ada usaha. Niat, iya niat yang kuat dan besar. Setelah mendaftar di kampus itu, saya bertemu seorang dosen yang ternyata berasal dari Singaraja. Beliau memberikan nomor handphone-nya karena takut saya tersesat dan untuk saya hubungi saat emergency. Hari itu juga saya balik ke Bali. Tahun 2012 akan selalu saya ingat.
Makna Uang 20 Ribu hingga Jualan Canang
Di musim pandemi Covid 19 ini saya yakin adek-adek sedang di rumah bareng orang tua, orang-orang bilang belajar dari rumah. Yang indekos mungkin pulang ke kampung halaman. Okay, kehidupan indekos saya juga alami mulai dari SMP hingga kuliah. Percaya atau tidak saat itu saya kos dengan biaya 650 ribu setahun. Yak segitu.
Ukurannya sekitar 2 x 1,5 meter. Dindingnya lembab dan sedikit ada nuansa grafiti alami. Mirip kulit jamuran hehe karna memang disampingnya toilet dan mesin kulkas pembuat es balok. Alas tidur kasur tipis dibarengi semut-semut rajin mencuri lauk dan nasi saya. Berbaris tuk-wak-gak-pat, tuk-wak-gak-pat. Terkadang kalau lupa sembahyang bonus dicari sesuatu hehe jarang sih, semuanya baek-baek kok.
Seminggu sekali Bapak atau Ibu datang bawakan lauk seperti tempe kering, saur (sejenis olahan dari kelapa), ikan pindang kering plus beras. Terkadang kalau musim mangga bonus mangga harumanis nyam nyam nyam. Uang saku 20 ribu harus cukup untuk seminggu. Cukup? Yah dijawab sendiri deh
Tuntutan perut dan kebutuhan untuk sekolah akhirnya saya berpikir saya harus cari uang. Saat saya SMA awalnya kumpulin bunga kamboja untuk dijual, tapi karena lama prosesnya dapat uang saya memutuskan buat jualan canang. Analisisnya sederhana, selama orang-orang masih ingat Tuhan pasti perlu canang (salah satu sarana persembahyangan umat Hindu di Bali).
Sore-sore ke Pasar Banyuasri beli bunga, sam-sam (pandan yang dipotong kecil-kecil) dan janur. Rangkai canang malam-malam atau subuh lalu dijual ke kelas-kelas di sekolah. Malu? Ya pastilah sebagai cowok ABG pasti itu, tapi masa bodoh saya yang penting bisa makan dan bantu orang tua.
Karena perlu tenaga ekstra dan saya sering kecapean setelah buat canang, maka akhirnya saya pikir lebih baik saya kerjasama sama orang lain. Singkat cerita setengah 6 pagi saya sudah harus ke Pasar Anyar di Singaraja dan membawanya ke kelas-kelas.
Saya sengaja pagi-pagi agar temen-temen semakin sedikit saya temui. Itu agar tuntutan perut dan rasa malu sedikit bisa dicarikan jalan tengahnya, haha. Sekolah saya adalah sekolah peninggalan jaman Belanda. Ada satu bangunan nan ikonik dengan tiga lantai.
Biasanya di lantai 2 dan 3 saya sudah melafalkan mantram Gayatri (salah satu doa menurut Hindu) karena sekolah masih sangat sepi hehe. Pengalaman diganggu? Syukurnya tidak pernah saat itu, mungkin “beliau-beliau” di sana iba melihat saya.
Cita-Citaku?
Sering saat memberikan materi untuk anak SD maupun SMP saya bertanya kepada mereka tentang cita-citanya kelak menjadi dokter. Biasanya banyak anak mengacungkan jari ingin menjadi dokter. Tapi jujur saja, saya waktu kecil hingga SMA awal tidak pernah bercita-cita menjadi dokter. Saat itu saya bercita-cita menjadi team angkatan bersenjata RI.
Potongan rambut sering seperti para tentara saat SD karena dua alasan: 1) Memang ingin menjadi seperti Jendral Sudirman. Gagah, pemberani, membela nusa dan bangsa 2) Biar bisa hemat uang, haha, karena dengan potongan rambut seperti itu akan agak jarang potong rambutnya
Menjadi dokter adalah kata-kata yang paling saya hindari sewaktu kecil. Sebagai anak orang miskin, saya merasa profesi dokter maupun kesehatan lain terlalu sombong. Trauma di masa kecil membuat saya malas untuk bertemu dokter dan profesi kesehatan lainnya. Bukan karna takut disuntik lo ya haha
Namun takdir menuntun saya untuk menjadi dokter. Berawal dari kakek meninggal tahun 2009 dan peristiwa di tahun 2011 serta alasan pribadi lainnya yang belum bisa saya sebutkan di tulisan ini, yang jelas bukan semata-mata untuk cari prestise. Menjadi dokter adalah target yang mantap saya tancapkan di hati dan otak saya kala itu.
Pengumuman Lolos Seleksi Masuk FK
Setelah lama kunanti. Akhirnya pengumuman kelulusan saya di Fakultas Kedokteran Udayana (FK Unud) pun datang. Kala itu saya sedang bersiap-siap pergi ke Lombok untuk kedua kalinya. Seseorang menelepon dan mengatakan kalau nama saya muncul di koran. Saya tentu masih belum percaya dan akhirnya pergi ke kota mencari koran yang terbit untuk hari itu. Benar saja, saya lulus tes di FK Unud.
Hari itu suasana siang Kota Singaraja serasa sejuk. Saya berteriak di pantai dan melampiaskan semuanya. Akhirnya kami bisa. Untuk pertama kalinya keluarga kami ada yang bisa kuliah dan tembus kedokteran. Keluarga saya tidak ada yang kuliah saat itu. Jangankan kuliah, tamat SMA saja tidak ada. Kami rata-rata buruh maupun petani. Jujur, ini merupakan sejarah bagi kami karena anak pemetik kelapa bisa lulus menjadi calon dokter.
Tentang perasaan saya kala itu benar-benar susah digambarkan. Disini liku menjadi dokter menanti.
SPP 7 juta. What???
Sudah menjadi rahasia umum jika kuliah di kedokteran biayanya mahal. Namun karena keinginan dan kenekatan yang kuat membuat saya tetap ingin menjadi dokter. Bapak dan ibu sebenarnya melarang untuk kuliah di kedokteran karena permasalahan biaya. Takut jika tidak bisa mengikuti biaya perkuliahan saya.
Tentu saja saya harus merayu mereka. Dengan kata-kata saja tentu tidak akan setuju. Akhirnya berkat guru saya SMA namanya Bu Sukanadi saya mendapatkan info yang terang tentang beasiswa di perkuliahan. Beliau menelepon profesor yang kebetulan alumni SMA saya. Profesor tersebut menjelaskan bahwa di kedokteran ada banyak sekali beasiswa asalkan lulus tes dan ada prestasi. Dengan berbekal info ini bapak dan ibu menyetujui rencana gila saya sekolah di kedokteran. Kenapa saya bilang gila? Ya karena biaya tadi.
Setelah dapat FK seperti cerita di atas, ternyata mencari beasiswa cukup susah. Tapi berkat jalan-Nya, saya akhirnya mendapatkan 2 beasiswa penuh sekaligus. Pihak kampus menyarankan memilih salah satu dari beasiswa tersebut. Saya akhirnya memilih beasiswa Prof Mantra. Kenapa? Karena saat itu dengan beasiswa ini dijanjikan bebas SPP dan dapat uang saku 400 ribu per bulannya, hehe lumayan.
Setelah mendapatkan beasiswa, ternyata SPP 6 bulan pertama harus dibayarkan sebesar 7 juta rupiah. Seperti judul di atas WHAT??? Dari mana kami dapat uang sebesar itu. SPP pertama memang harus dibayar lunas dulu sehingga bisa kuliah. Walaupun akhirnya uang tersebut dijanjikan akan dikembalikan setelah dana beasiswa cair. Tetap saja waktu itu saya panik. Uang sebanyak itu susah dicari, akhirnya setelah bapak dan ibu meminjam uang, saya langsung bayarkan ke pihak kampus.
Aman??? Liat aja nanti.
Organisasi, hmmm…
Kesibukan belajar di kampus ternyata membuat jenuh juga. Saya harus cari cara agar bisa mencari pelarian yang positif. Saat itu saya ikut seleksi dua organisasi besar sekaligus yang berguna untuk soft skill saya dan relasi ke depannya. Saya memilih BEM dan Tim bantuan medis.
Ternyata seleksi di tim bantuan medis ketat dan melelahkan. Tapi karna sudah memutuskan ingin belajar kegawatdaruratan saya tidak menyerah. Walau akhirnya saya harus kehilangan sesuatu yang sangat berarti kala itu. Untuk pertama kalinya saya minum bir dan merokok. Minum bir bersama teman yang kebetulan sedang galau juga. Kami minum 1 botol bir berdua haha masalah minum saya cupu. Merokok saya hanya satu isapan saja lalu batuk dan kapok. Semenjak itu saya tidak pernah merokok.
Kondisi ini semakin membuat otak saya berpikir untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang positif. Banyak kepanitiaan saya ikuti agar pikiran-pikiran galau tidak menyelimuti. Akhirnya saya rasakan sekarang rencana Tuhan memang adalah yang terbaik. Berkat kejadian itu, saya punya teman dekat dan tahu sedikit pengalaman di berbagai kegiatan.
Organisasi menurut saya penting untuk teman-teman yang saat ini belum maupun sudah kuliah. Di sana perbanyaklah cari relasi. Dengan relasi, jujur saja saya dipermudah mengurus dokumen, mencari pekerjaan dan lain-lain. Namun, harus seimbang dengan tugas pokok kita untuk belajar.
Jangan organisasi dijadikan kambing hitam terhadap performa kuliah. Banyak yang dapat nilai bagus walau sibuk dengan organisasi.
KOAS : Enakkah?
Setelah lulus sarjana kedokteran tahun 2016, maka fase selanjutnya adalah mengikuti profesi dokter. Fase ini belajar di rumah sakit maupun puskesmas. Saya dapat bagian kardiologi/jantung pada fase pertama. Di bagian ini saya belajar bagaimana kita bisa mati kapan saja hanya dalam hitungan menit. Ya MENIT. Di lantai dua kala itu, ada seorang pasien dari daerah NTB, follow up jam 10 malam, masih stabil kondisinya bahkan asik bercerita tentang tanah kelahirannya. Saya cukup dekat dengan beliau. Namun sekitar jam 1 subuh kondisi pasien ini mengalami henti jantung dan akhirnya meninggal sekitar pukul 3 subuh.
Pernah juga saya melakukan sedikit eksperimen sederhana. Saya berdiri di dekat ruang jenazah selama 30 menit dan dalam waktu itu sekitar 3 pasien meninggal diantar oleh keluarganya ke ruang jenazah. Saya menangis seperti anak kecil yang mainannya diambil. Oh ternyata benar, nafas kita hanya titipan yang sewaktu-waktu diambil lagi.
Masa-masa koas terlalu banyak asam manisnya. Di bagian Kejiwaan banyak belajar bagaimana bersyukur terhadap situasi kita ini. Jangan sampai saya depresi karena koas. Di bagian anak semakin semangat, setiap ada anak kecil aku selalu gemas dengan senyum mereka. Walaupun pas bagian ini pula bapak saya meninggal Maret 2017 lalu.
Semenjak itu tekanan dalam hidup saya semakin meningkat. Ibu sedang hamil 4 bulan, apa yang bisa aku perbuat. Akhirnya aku dibantu oleh orang baik untuk jualan buah, nasi kuning, dan lain-lain untuk membantu ibu. Saya berdoa semoga orang ini selalu berkecukupan. Teman-teman seangkatan saya juga baik-baik sekali, saya berhutang budi kepada mereka semua.
Lulus Ujian Dokter dan Wisuda Tanpa Bapak
Setelah koas, kami mahasiswa diwajibkan mengikuti Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD), semacam Ujian nasional saat kita SD-SMA. Astungkara saat 1 hari sebelum perayaan Nyepi tahun 2018, saya dinyatakan lulus. Jujur saja saya menangis bersama ibu, akhirnya perjuangan kami tidak sia-sia. Saya jarang menangis, tapi hari itu entah kenapa air mata mengalir tak terbendung.
Mei 2018, saya bersama kawan-kawan seperjuangan wisuda dokter di kampus. Senang bercampur sedih karena bapak kami tak tampak wujudnya menemani foto kami. Tapi saya yakin, beliau tetap hadir saat itu. Sebagai anak, saya membenci bapak karena sering mabuk dan merokok. Namun, bukan manusia namanya kalau tidak punya sisi positif dan negatif. Bapak saya sangat rajin bekerja, pagi-pagi sudah bangun untuk memetik kelapa. Rencana saya adalah saat sudah menjadi dokter, bapak akan saya pensiunkan. Tapi Tuhan sudah pensiunkan beliau terlebih dahulu.
Menjelang kematian beliau, sebenarnya Bapak sudah bisa menurunkan kebiasaan merokoknya dan minum alkohol. Saya sering memberikan ceramah agar beliau panjang umur dan bisa melihat cucu nanti maka harus stop kebiasaan tersebut agar lebih sehat. Jujur saja, saya membenci kebiasaan itu (merokok dan minum alkohol) karena sudah trauma dari kecil akan efek kebiasaan itu. Maaf kepada semuanya yang suka merokok dan minum alkohol. Bukan bermaksud menyudutkan, namun karena kebiasaan Bapak itu saya hampir tidak bisa sekolah waktu SMA dan keluarga sering terjadi percekcokan.
Terlepas dari itu, Bapak cukup baik kalau tidak dalam pengaruh kebiasaannya itu. Tahun 2006 saat hari ketiga saya indekos di Kota Singaraja kami menangis bersama karena saya homesick. Bayangkan tamat SD sudah harus indekos, biasanya satu rumah bersama sekarang harus ditemani nyamuk dan semut-semut di dinding, haha. Serius, kamar saya ada banyak nyamuk kala itu dan semut-semut mencari makanan masakan saya. Saya masak beras sendiri. Yak, Anda tidak salah baca. Saya masak beras lalu karena kurangnya pengalaman membuat nasi sering gosong, haha.
Well, berkat kerja keras bersama dan ijin Tuhan serta bimbingan guru-guru saya dari tingkat SD, SMP, SMA hingga kuliah di FK kami berhasil mencapai hingga ke tangga ini. Semoga ilmu yang dititipkan bisa berguna untuk keluarga dan masyarakat sekitar. Terima kasih. [T]