Nitya Yuli Pratistha, gadis yang lahir dari keluarga Hindu Jawa, yang menjadi bintang dharmawacana di Pura-pura besar di Jawa Timur itu, akhirnya memperdalam ilmu agamanya di Singaraja, Bali, tepatnya di STAH Mpu Kuturan.
“Nggih, saya kemarin daftar di STAH Mpu Kuturan, astungkara keterima,” katanya lewat WA, Selasa, 18/15/2021.
Meski berasal dari keluarga Hindu yang sederhana yang tinggal di desa pedalaman Jawa, niat Nitya untuk melanjutkan kuliah demi memperdalam ilmu agamanya memang tinggi. Awalnya ia ingin melanjutkan kuliah di sebuah perguruan tinggi Agama Hindu di daerah Jawa Timur, namun atas petunjuk Bapak Kusno dari Pura Kerta Bumi Bongso Wetan, Gresik, ia berkenalan dengan kampus STAH Mpu Kuturan di Singaraja.
Singkat cerita, ia mendaftar dan diterima lewat jalur beasiswa Jalur Program Indonesia Pintar Kuliah (PIPK). Ia pilih Program studi (Prodi) Teologi Hindu dan tahun 2021 ini sudah mulai kuliah dan tinggal di Singaraja.
Satu langkah menuju cita-cita besarnya sudah dimulai. Ia punya cita-cita menjadi guru agama Hindu. Agar Hindu semakin berkembang terutama di Kabupaten Jombang, tempatnya lahir dan tinggal selama ini.
Kenapa pilih Teologi? “Karena saya tak tahu apa itu Teologi Hindu,” ujarnya.
Awalnya ia memang tak tahu sama sekali, namun sempat mencari tahu, apa-apa yang dipelajari dalam Teologi Hindu, sehingga ketertarikannya terhadap ilmu itu menjadi tumbuh.
“Akhirnya saya memutuskan untuk memilih prodi tersebut untuk belajar agama, memahami bagaimana Hindu,” katanya.
***
Ngomong-ngomong, kenapa urusan kuliah Nitya Yuli Pratistha menjadi menarik dan ditulis dalam artikel ini?
Sejak sekitar setahun ini, ketika di Bali mulai ribut-ribut urusan sampradaya dan Hindu non dresta dan lain-lain, di media sosial beredar video dharmawacana Hindu berbahasa Jawa. Video itu banyak dibagikan berkali-kali di berbagai media sosial dan mendapatkan banyak komentar dari nitizen.
Yang membawakan dharmawacana itu adalah seorang gadis muda, belum kuliah. Namanya, Nitya Yuli Pratistha. Ia lahir dan tinggal di Tegal Rejo, Desa Jarak, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Itu sebuah desa yang terpencil.
Nitya, begitu kemudian gadis itu dipanggil, dalam dharmawacananya berbicara dalam Bahasa Jawa. Bukan Jawa Kuno, tapi benar-benar Bahasa Jawa, yakni bahasa yang biasa digunakan dalam pergaulan sehari-hari di desa-desa di Jawa. Meski dalam video yang lain gadis itu kerap juga menggunakan Bahasa Indonesia, tapi logat dan dialeknya tetaplah sangat terasa amat Jawa.
Banyak yang berharap, Nitya akan menjadi pedharmawacana Hindu yang mumpuni, bukan hanya di seputaran Jawa Timur, melainkan juga di daerah lain di Nusantara, dan memberi pengaruh terhadap pergaulan Hindu di kalangan anak-anak muda Nusantara.
Nah, jika kemudian Nitya memutuskan kuliah di Bali, tentu akan jadi menarik. Meski sesungguhnya, umat Hindu dari Jawa atau daerah Nusantara lainnya sudah banyak yang kuliah di Bali, termasuk di STAH Mpu Kuturan, namun Nitya Yuli Pratistha bisa saja membawa “hawa baru” dalam pergaulan Hindu Nusantara, terutama dalam pergaulan anak-anak muda di Bali.
BACA jUGA:
Nitya Yuli Pratistha | Bangga Jadi Hindu, Bangga Jadi Jawa
______
Nitya, meski dalam wilayah yang belum luas, bisa disebut sebagai ikon perempuan muda dalam menjalin pergaulan komunikasi Hindu Nusantara di ruang-ruang nyata dan ruang media sosial. Nitya akan memahami Hindu yang secara prinsip sama, namun tetap bergaul dan kerkomunikasi dengan kejawaannya, begitu juga anak muda Hindu di Bali dengan kebaliannya, begitu juga di daerah lain.
Nitya sendiri akan belajar banyak juga tentang perbedaan tanpa harus mengubah kejawaannya.
“Saya pikir (Hindu di Jawad an di Bali) tidak banyak berbeda. Kemungkinan dari bebantenan saja. Kalau di Bali hari-hari suci selalu dirayakan, kalau di Jawa hanya ketika Tahun Baru Sakha. Pada hari suci lainnya hanya sembahyang bersama ke Pura. Tapi kalau di daerah lain banyak juga Galungan dirayakan sepertti Tahun Baru Sakha,” kata Nitya tentang perbedaan-perbedaan itu.
Perbedaan lain, kalau di Jawa umat Hindu tetap memakai blankon, kalau di Bali identik dengan destar. Dan menurut Nitya, perbedaan-perbedaan ini sebaiknya dipertahankan.
“Karena setiap tempat dan daerah memiliki ciri khas dan budaya masing-masing yang harus dipertahankan, namun di balik semua itu harus tetap saling menghargai dan menghormati tanpa memandang perbedaan, beda itu indah,dengan perbedaan kita bisa saling belajar dan melengkapi sehingga terwujudlah negara yang harmonis,” sambungnya lagi.
Ngomong-ngomong Nitya sudah pernah ke Singaraja?
“Belum pernah!”
Sudah mempersiapkan apa saja untuk memulai kuliah di Singaraja?
“Belum sepenuhnya, masih baru kemarin pengumuman jadi belum ada persiapan, Tapi untuk tempat kos sudah meminta bantuan teman dari Jawa yang kebetulan kuliah di sana juga,” katanya.
Okelah, selamat, Nitya, sampai bertemu dengan banyak teman di Singaraja. [T]