Bali memiliki banyak artis muda yang punya niat sungguh-sungguh membicarakan fenomena Bali, baik yang ringan maupun yang gawat, dalam berbagai media kreatif semacam buku, musik dan film. Salah satunya bisa disebut Dewi Pradewi.
Awalnya ia dikenal sebagai penyanyi, kemudian wara-wiri bicara berbagai hal di laman youtube, sportify, dan media sosial lainnya. Ia bisa disebut perempuan Bali yang gelisah. Gelisah berkarya, sekaligus gelisah melihat berbagai pandangan dan perubahan di sekitarnya.
Ia bicara soal tato. Bukan karena ia memang perempuan bertato, melainkan lebih pada keinginan untuk membicara fenomena umum dalam pergaulan sosial dan budaya di Bali. Ia seakan memiliki pertanyaan, apa yang boleh dan tidak boleh di Bali? Apakah bertato boleh? Apa salah? Kalau pakai tato, apa konskuensinya dalam keluarga dan dalam pergaulan yang lebih luas?
Tentu karena gelisah ia menerbitkan buku. Judulnya “Tatto Perempuan Bali”. Buku itu mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan, sehingga buku itu kemudian diadaptasi menjadi film. Judul filmnya “Dua Sisi”, dengan sutradara artis youtube yang tak asing lagi, Puja Astawa. Film itu juga mendapatkan respon positif, ada yang memuji, tentu juga ada yang memberi masukan.
Film Dua Sisi tayang perdana di ruang Bioskop Alaya, Gedung Dharma Negara Alaya (DNA) Denpasar, Jumat, 7 Mei 2021. Film yang dimulai pada pukul 15.00 wita itu dikerumuni banyak penonton bahkan hingga dibagi menjadi tiga session.
Film ini berkisah tentang seorang perempuan Bali, Kadek Dewi yang didiskriminasi lingkungan sekitar. Ia selalu ditolak saat melamar pekerjaan. Alasan penolakan, karena tubuhnya penuh tato. Keluarganya pun memarahinya. Tapi, perempuan itu tidak putus asa. Ia membuka usaha sendiri untuk membuktikan ia bisa eksis dengan cara dia sendiri.
“Urgensinya adalah implikasi psikis yang dialami oleh terstigma di mana ia adalah sebagai pelaku budaya yang terpinggirkan dari budaya dominan, ini sering juga saya alami sendiri,” kata Dewi Pradewi di sela-sela pemutaran film di Gedung Dharma Alaya.
Film itu sengaja dibuat sebagai visualisasi dari buku berjudul Tatto Perempuan Bali. Ini adalah strategi ketika disadari bahwa masyarakat masih banyak yang kurang menyukai budaya membaca. “Sehingga visual ini menjadi strategi juga untuk menyampaikan pesan dari buku saya,” tuturnya.
Puja Astawa selaku sutradara proses pembuatan film ini cukup singkat sekitar tiga bulan saja. Menariknya, sejak awal persetujuan untuk membuat kolaborasi ini, Dewi Pradewi sempat meragukannya, bagaimana tidak, Puja tidak memberikan jawab ketika ditanya kelanjutan dari proyek itu.
“Saat itu masih tahap penulisan naskah, Dewi sampai bilang begini, ‘Bli kalau tidak bisa jangan dilanjutkan ya’ dan saya diamkan saja sampai akhirnya saya rasa sudah rampung barulah saya kasi jawaban,” ujar pria yang juga seorang YouTuber ini, yang kala itu ditemani Dewi Pradewi.
Tidak sekedar membuat film, Puja mengakui jika dirinya melakukan berbagai riset termasuk membaca buku Tatto Perempuan Bali. Ia juga mengakui ada beberapa cerita yang tidak tertulis di buku itu namun tidak mengurangi makna dari bukunya itu sendiri.
Film berdurasi 60 menit itu nantinya akan diputar di seluruh wilayah di Bali secara bergantian melalui komunitas sebelum akhirnya alan rilis di YouTube Puja Astawa.
Puja dan Dewi Pradewi juga membocorkan jika mereka telah memiliki project lanjutan dari film itu namun mereka sepakat untuk tidak memberikan detail lebih lanjut dari film itu. “Rahasia dong, cukup cluenya itu dulu,” sahut mereka secara bersamaan.
Film bergenre drama dengan nuansa komedi ini menggunakan dialog bahasa Bali dan Bahasa Indonesia. film ini melibatkan banyak artis serta musisi yakni, Jun Bintang, Ajik Cok “Krisna, Agung Raka Suteja (Gung Mayong), Gede Purnama Jaya, Lanyak, Do Dok dan masih banyak lainnya lagi. [T][*][Ole]