Dan pada hari kedelapan belas, perang di Kurukshetra itu pun usai. Kurawa kalah. Duryodana dan saudara-saudaranya tumpas seperti daun-daun kering dimakan api. Medan perang kini sepenuhnya bisu tanpa gema nafiri atau teriakan para ksatria. Langit berubah senyap, tenggelam dalam bau kematian yang membentang luas. Memang Pandawa yang memenangi perang itu dan menguasai istana, namun toh itu tak urung membuat Yudistira berguncang: “Selain mendatangkan kehancuran dan kebinasaan, lalu apa arti kemenangan ini akhirnya?”
Di istana yang sepi dan berdebu Yudistira menyendiri. Ia memandang keluar lewat celah gerbang yang kosong. Ada rasa muram ketika angin sore menggoyang-goyang ranting-ranting beringin di pojok alun-alun. Sejenak ia diperangkap bayangan masa kecilnya. Terkenang Duryodana serta semua saudara sepupu sewaktu dulu ia menghabiskan banyak waktu bermain di bawah rindang beringin itu. Ia digugah bayangan Guru Durna, Bhisma, dan lainnya yang sangat ia hormati.
Di bagian lain, adik-adik Yudistira yakni Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa, terduduk dan bersandar di selasar yang menggelap di belakang pilar-pilar menjulang. Tak ada percakapan apa pun. Semua membisu, semua lelah. Seluruh istana yang luas itu dibenam perasaan berkabung yang dalam.
Itu memang perang terhebat yang pernah diriwayatkan. Perang singkat namun membinasakan tak kurang lima juta orang. Perang saudara yang melibatkan belasan kerajaan lain di sekitar itu berakhir dengan hanya menyisakan sepuluh kesatria, yakni lima Pandawa, Setyaki dan Yuyutsu, dan tiga di pihak lawan, Aswatama, Krepa dan Kertawarma.
Dua keluarga dari dinasti Kuru ini, yakni lima bersaudara putra Pandu (Pandawa) dan seratus putra Drestarasta (Kurawa), harus melewati tragedi paling tragis dalam rangkaian drama panjang perebutan kekuasaan atas Kerajaan Hastina. Ketika Duryodana, putra Drestarasta, tetap menolak menyerahkan tahta kepada saudara mereka yang lebih tua, Yudistira, putra Pandu, maka perang Kuru itu tak terhindarkan. Perang besar yang menggambarkan pergumulan pihak yang baik melawan yang buruk, pihak kanan dengan pihak kiri.
Tapi betulkah perang ini untuk tahta? “Aku sama sekali tak menginginkan cara ini,” kata Yudistira. Ada warna duka di matanya. Bagi Yudistira, kemenangan ini justru mendedah kepedihan baru yang lebih perih dari seluruh penderitaan yang telah ia bersama saudaranya telan sebelumnya.
Alam Mahabharata memang tak bermaksud memaksakan segalanya dalam nilai final. Ia juga menyediakan banyak ruang buat merenung dan menimbang rasa bimbang. Bahkan tokoh seanggun, selurus dan sebijak Yudistira ada kalanya digambarkan punya sisi melankolis, seperti umumnya manusia, yang tak berdaya saat berhadapan dengan perasaan pedih.
“Benar, kerajaan kini jadi milikku, tetapi seluruh sanak saudara, para guru suci, anak-anakku, para sahabat, tak ada lagi. Mereka terbunuh di tangan kita. Kemenangan ini tak lebih sebagai kekalahan besar kita. Sanak saudara kita jadikan musuh dan kita menumpasnya seperti membabat perdu,” kata Yudistira masygul, “Lantas, apa arti kemenangan ini?” tanyanya. Di puncak rasa luka itu, Yudistira sempat menolak dinobatkan jadi Raja Hastina. Ia ingin masuk hutan saja, hidup sebagai sanyasa atau pertapa. Meninggalkan dunia yang khaos.
Tetapi Mahabharata tak membiarkan Yudistira menarik diri selekas itu. Hidup tak boleh mandeg sebegitu dini. Untuk apa kesatria menceburkan diri ke dalam kancah berbelas tahun “mencari kebenaran” jika harus berakhir dengan cara semacam itu justru ketika hasil mulai dalam jangkauan? “Kewajiban kesatria bukan bertapa di hutan tetapi hidup di tengah dunia,” demikian kata-kata Bima menghentikan kegundahan Yudistira, seperti dikisahkan Nyoman S. Pendit pada kitab Mahabharata yang terbit 2005.
Perang, selamanya oleh banyak pihak diragukan efektivitasnya menghasilkan solusi terbaik. Mungkin itu hanya sebuah pilihan fatal dari sikap putus asa. Atau keniscayaan dari keterbatasan pikiran dalam menemukan alternatif ketika semua jalan menutup diri. Tak cuma Yudistira yang ragu, juga kita, juga Aristoteles: “Tak seorang pun jadi pemenang dalam perang terakhir dan tak seorang pun akan menang pada perang selanjutnya…”
Namun, ketika Kurawa tumpas, sepertinya batas antara menang dan kalah, antara yang baik dan yang buruk, jadi begitu kabur dan nisbi. Tanpa Kurawa apa jadinya Pandawa? Bukankah dengan demikian keberadaan Pandawa akan kehilangan makna dan identitasnya?
Hidup memang bukan sekadar soal menang atau kalah, bukan soal baik atau buruk. Karena perang harus terus dikobarkan. Hidup membutuhkannya. Lalu dari dalam kecamuknya itu sesekali kita keluar sebagai pemenang, sesekali sebagai orang kalah. Menang hanyalah menunda kekalahan dan kekalahan hanya menunda kemenangan. Ini adalah soal hasrat manusia untuk berkuasa sebagai hakikat keberadaannya di dunia. Kita tentu menyitir Nietzsche: “Tujuan hidup adalah pertentangan, bukan kepuasan, apalagi kedamaian. Oleh karena itu pergilah kepada perang. Perangilah sesamamu dan dirimu sendiri.”
Karena itu Kurawa sesungguhnya tak pernah benar-benar habis. Mereka selalu bereinkarnasi sebab hidup ini membutuhkan kehadirannya untuk mengisi ruang-ruang hitam zaman, untuk memprovokasi passion. Pandawa akan kehilangan jati dirinya tanpa Kurawa. Kebaikan akan kehilangan nilai tanpa keburukan. Bukankah dunia ini harus merawat kekuatan positif dan negatif, yin dan yang, dalam dirinya, tanpa boleh saling meniadakan satu di antara keduanya, agar kehidupan terus bergerak, menciptakan tesa dan antitesa yang tak ada habis-habisnya?
Dari pergumulan semacam itulah Mahabharata menginspirasi bahwa menang dan kalah hanyalah bagian dari nilai-nilai dunia yang nisbi. Di antara keduanya tak ada yang saling menguasai secara mutlak. Ia memang melelahkan sekaligus tanpa ujung. Justru karena itu, Bhagavadgita, percakapan Kresna dengan Arjuna menjelang perang ini, kemudian mengajak kita agar jangan melihat dunia melulu dengan pikiran atau logika telanjang tapi harus lewat cara rohani. Daya jangkau logika hanya sampai dunia material yang palsu, hanya menyentuh bagian terluar dari dunia yang lebih sublim, lebih abadi. “Dunia ini hanya taman ilusi, penuh jalan palsu, nilai palsu dan cita-cita palsu,” seperti kata Sai Baba.
Sepeninggal Kurawa, tak berarti segala keburukan jadi ludas dari bumi. Tak juga cuma Pandawa, sumber kebaikan itu, yang akhirnya jadi maharaja tunggal atas dunia. Inilah kontradiksinya, bahwa justru masa setelah perang Bharatayuda itulah merupakan pintu gerbang masuknya era kaliyuga, yakni zaman kegelapan, masa-masa bertahtanya segala keburukan di atas dunia, yang kemudian berlangsung terus hingga hari ini. Dengan kata lain Kurawa sesungguhnya tak pernah mati, dan Pandawa tak pernah berkuasa sepenuhnya.
Pesan moralnya, tentu orang harus memenangkan Pandawa dan mengalahkan Kurawa lewat peperangan abadi dalam dirinya. Mungkin pada akhirnya setiap orang harus mengalahkan hasratnya sendiri daripada dia mengalahkan musuh-musuhnya, “karena kemenangan yang paling sulit adalah atas diri sendiri”. Karena itu, dalam Mahaprastanikaparwa, Yudistira tetap memilih meninggalkan tahta Hastina yang direbutnya dengan pertumpahan darah itu. Ia bersama Pandawa undur diri dari dunia yang ramai, pergi menjauh ke puncak Gunung Himalaya yang sepi sebagai tujuan akhir perjalanan spiritualnya. Jalan yang berujung pada sebuah wilayah yang sangat imajiner di benak, yang bernama surga atau nirwana.
Mahabharata memang syair panjang kehidupan yang menjangkau seluruh kesemestaan tubuh dan jiwa kita. Di dalamnya kita memahami kebenaran sebagai relatif, yang tak bebas dari konteks dan motif. Ini soal memahami diri sendiri yang dihidupi oleh seluruh sifat, kehendak, dan mimpi-mimpi tak bertepi.
Itu adalah panggung para kesatria untuk tidak mudah mengelak dari segala peristiwa meski penuh tragik dan keniscayaan yang tak luput dari hasrat dan tindakan untuk menggapai nilai-nilai yang lebih tinggi.
Mahabharata adalah sebuah kancah yang tak pernah padam membakar. Gambaran sebuah dunia yang menantang, yang memintamu mendaki ke puncak tertingginya. Yang mengingatkan pada kata-kata falsafah yang mendorong untuk total dengan keagungan dan kemanusiaan kita, sebagaimana kata-kata Friedrich Nietzsche dalam Zarathustra, bahwa agar bisa naik engkau harus siap membakar dirimu dalam apimu sendiri: “Bagaimana kau bisa naik lagi jika engkau tidak terlebih dahulu menjadi abu?” [T]