31 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Apa Arti Kemenangan Ini? | Renungan Usai Perang

Nyoman Sukaya SukawatibyNyoman Sukaya Sukawati
May 5, 2021
inEsai
Apa Arti Kemenangan Ini? | Renungan Usai Perang

Yudistira | Gambar Google

Dan pada hari kedelapan belas, perang di Kurukshetra itu pun usai. Kurawa kalah. Duryodana dan saudara-saudaranya tumpas seperti daun-daun kering dimakan api. Medan perang kini sepenuhnya bisu tanpa gema nafiri atau teriakan para ksatria. Langit berubah senyap, tenggelam dalam bau kematian yang membentang luas. Memang Pandawa yang memenangi perang itu dan menguasai istana, namun toh itu tak urung membuat Yudistira berguncang: “Selain mendatangkan kehancuran dan kebinasaan, lalu apa arti kemenangan ini akhirnya?”

Di istana yang sepi dan berdebu Yudistira menyendiri. Ia memandang keluar lewat celah gerbang yang kosong. Ada rasa muram ketika angin sore menggoyang-goyang ranting-ranting beringin di pojok alun-alun. Sejenak ia diperangkap bayangan masa kecilnya. Terkenang Duryodana serta semua saudara sepupu sewaktu dulu ia menghabiskan banyak waktu bermain di bawah rindang beringin itu. Ia digugah bayangan Guru Durna, Bhisma, dan lainnya yang sangat ia hormati.

Di bagian lain, adik-adik Yudistira yakni Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa, terduduk dan bersandar di selasar yang menggelap di belakang pilar-pilar menjulang. Tak ada percakapan apa pun. Semua membisu, semua lelah. Seluruh istana yang luas itu dibenam perasaan berkabung yang dalam.

Itu memang perang terhebat yang pernah diriwayatkan. Perang singkat namun membinasakan tak kurang lima juta orang. Perang saudara yang melibatkan belasan kerajaan lain di sekitar itu berakhir dengan hanya menyisakan sepuluh kesatria, yakni lima Pandawa, Setyaki dan Yuyutsu, dan tiga di pihak lawan, Aswatama, Krepa dan Kertawarma.

Dua keluarga dari dinasti Kuru ini, yakni lima bersaudara putra Pandu (Pandawa) dan seratus putra Drestarasta (Kurawa), harus melewati tragedi paling tragis dalam rangkaian drama panjang perebutan kekuasaan atas Kerajaan Hastina. Ketika Duryodana, putra Drestarasta, tetap menolak menyerahkan tahta kepada saudara mereka yang lebih tua, Yudistira, putra Pandu,  maka perang Kuru itu tak terhindarkan.  Perang besar yang menggambarkan pergumulan pihak yang baik melawan yang buruk, pihak kanan dengan pihak kiri.

Tapi betulkah perang ini untuk tahta? “Aku sama sekali tak menginginkan cara ini,” kata Yudistira. Ada warna duka di matanya. Bagi Yudistira, kemenangan ini justru mendedah kepedihan baru yang lebih perih dari seluruh penderitaan yang telah ia bersama saudaranya telan sebelumnya.

Alam Mahabharata memang tak bermaksud memaksakan segalanya dalam nilai final. Ia juga menyediakan banyak ruang buat merenung dan menimbang rasa bimbang. Bahkan tokoh seanggun, selurus dan sebijak Yudistira ada kalanya digambarkan punya sisi melankolis, seperti umumnya manusia, yang tak berdaya saat berhadapan dengan perasaan pedih.

“Benar, kerajaan kini jadi milikku, tetapi seluruh sanak saudara, para guru suci, anak-anakku, para sahabat, tak ada lagi. Mereka terbunuh di tangan kita. Kemenangan ini tak lebih sebagai kekalahan besar kita. Sanak saudara kita jadikan musuh dan kita menumpasnya seperti membabat perdu,” kata Yudistira masygul, “Lantas, apa arti kemenangan ini?” tanyanya. Di puncak rasa luka itu, Yudistira sempat menolak dinobatkan jadi Raja Hastina. Ia ingin masuk hutan saja, hidup sebagai sanyasa atau pertapa. Meninggalkan dunia yang khaos.

Tetapi Mahabharata tak membiarkan Yudistira menarik diri selekas itu. Hidup tak boleh mandeg sebegitu dini. Untuk apa kesatria menceburkan diri ke dalam kancah berbelas tahun “mencari kebenaran” jika harus berakhir dengan cara semacam itu justru ketika hasil mulai dalam jangkauan? “Kewajiban kesatria bukan bertapa di hutan tetapi hidup di tengah dunia,” demikian kata-kata Bima menghentikan kegundahan Yudistira, seperti dikisahkan Nyoman S. Pendit pada kitab Mahabharata yang terbit 2005.

Perang, selamanya oleh banyak pihak diragukan efektivitasnya menghasilkan solusi terbaik. Mungkin itu hanya sebuah pilihan fatal dari sikap putus asa. Atau keniscayaan dari keterbatasan pikiran dalam menemukan alternatif ketika semua jalan menutup diri. Tak cuma Yudistira yang ragu, juga kita, juga Aristoteles: “Tak seorang pun jadi pemenang dalam perang terakhir dan tak seorang pun akan menang pada perang selanjutnya…”

Namun, ketika Kurawa tumpas, sepertinya batas antara menang dan kalah, antara yang baik dan yang buruk, jadi begitu kabur dan nisbi. Tanpa Kurawa apa jadinya Pandawa? Bukankah dengan demikian keberadaan Pandawa akan kehilangan makna dan identitasnya?

Hidup memang bukan sekadar soal menang atau kalah, bukan soal baik atau buruk. Karena perang harus terus dikobarkan. Hidup membutuhkannya. Lalu dari dalam kecamuknya itu sesekali kita keluar sebagai pemenang, sesekali sebagai orang kalah. Menang hanyalah menunda kekalahan dan kekalahan hanya menunda kemenangan. Ini adalah soal hasrat manusia untuk berkuasa sebagai hakikat keberadaannya di dunia. Kita tentu menyitir Nietzsche: “Tujuan hidup adalah pertentangan, bukan kepuasan, apalagi kedamaian. Oleh karena itu pergilah kepada perang. Perangilah sesamamu dan dirimu sendiri.”

Karena itu Kurawa sesungguhnya tak pernah benar-benar habis. Mereka selalu bereinkarnasi sebab hidup ini membutuhkan kehadirannya untuk mengisi ruang-ruang hitam zaman, untuk memprovokasi passion. Pandawa akan kehilangan jati dirinya tanpa Kurawa. Kebaikan akan kehilangan nilai tanpa keburukan. Bukankah dunia ini harus merawat kekuatan positif dan negatif, yin dan yang, dalam dirinya, tanpa boleh saling meniadakan satu di antara keduanya, agar kehidupan terus bergerak, menciptakan tesa dan antitesa yang tak ada habis-habisnya?

Dari pergumulan semacam itulah Mahabharata menginspirasi bahwa menang dan kalah hanyalah bagian dari nilai-nilai dunia yang nisbi. Di antara keduanya tak ada yang saling menguasai secara mutlak. Ia memang melelahkan sekaligus tanpa ujung. Justru karena itu, Bhagavadgita, percakapan Kresna dengan Arjuna menjelang perang ini, kemudian mengajak kita agar jangan melihat dunia melulu dengan pikiran atau logika telanjang tapi harus lewat cara rohani. Daya jangkau logika hanya sampai dunia material yang palsu, hanya menyentuh bagian terluar dari dunia yang lebih sublim, lebih abadi. “Dunia ini hanya taman ilusi, penuh jalan palsu, nilai palsu dan cita-cita palsu,” seperti kata Sai Baba.

Sepeninggal Kurawa, tak berarti segala keburukan jadi ludas dari bumi. Tak juga cuma Pandawa, sumber kebaikan itu, yang akhirnya jadi maharaja tunggal atas dunia. Inilah kontradiksinya, bahwa justru masa setelah perang Bharatayuda itulah merupakan pintu gerbang masuknya era kaliyuga, yakni zaman kegelapan, masa-masa bertahtanya segala keburukan di atas dunia, yang kemudian berlangsung terus hingga hari ini. Dengan kata lain Kurawa sesungguhnya tak pernah mati, dan Pandawa tak pernah berkuasa sepenuhnya.

Pesan moralnya, tentu orang harus memenangkan Pandawa dan mengalahkan Kurawa lewat peperangan abadi dalam dirinya. Mungkin pada akhirnya setiap orang harus mengalahkan hasratnya sendiri daripada dia mengalahkan musuh-musuhnya, “karena kemenangan yang paling sulit adalah atas diri sendiri”. Karena itu, dalam Mahaprastanikaparwa, Yudistira tetap memilih meninggalkan tahta Hastina yang direbutnya dengan pertumpahan darah itu. Ia bersama Pandawa undur diri dari dunia yang ramai, pergi menjauh ke puncak Gunung Himalaya yang sepi sebagai tujuan akhir perjalanan spiritualnya.  Jalan yang berujung pada sebuah wilayah yang sangat imajiner di benak, yang bernama surga atau nirwana.

Mahabharata memang syair panjang kehidupan yang menjangkau seluruh kesemestaan tubuh dan jiwa kita. Di dalamnya kita memahami kebenaran sebagai relatif, yang tak bebas dari konteks dan motif. Ini soal memahami diri sendiri yang dihidupi oleh seluruh sifat, kehendak, dan mimpi-mimpi tak bertepi.

Itu adalah panggung para kesatria untuk tidak mudah mengelak dari segala peristiwa meski penuh tragik dan keniscayaan yang tak luput dari hasrat dan tindakan untuk menggapai nilai-nilai yang lebih tinggi.

Mahabharata adalah sebuah kancah yang tak pernah padam membakar. Gambaran sebuah dunia yang menantang, yang memintamu mendaki ke puncak tertingginya. Yang mengingatkan pada kata-kata falsafah yang mendorong untuk total dengan keagungan dan kemanusiaan kita, sebagaimana kata-kata Friedrich Nietzsche dalam Zarathustra, bahwa agar bisa naik engkau harus siap membakar dirimu dalam apimu sendiri: “Bagaimana kau bisa naik lagi jika engkau tidak terlebih dahulu menjadi abu?” [T]

Tags: baliperangrenunganwayangYudistira
Previous Post

Arya Sugiartha & Kun Adnyana | Dua Pendekar Seni Tukaran Kursi dan Pedang

Next Post

Juara Ideal Itu City, Tapi Chelsea Bisa Brutal dan Mematikan

Nyoman Sukaya Sukawati

Nyoman Sukaya Sukawati

lahir 9 Februari 1960. Ia mulai aktif menulis puisi sejak 1980-an di rubrik sastra surat kabar Bali Post Minggu asuhan Umbu Landu Paranggi. Dia pernah bergiat di dunia kewartawanan. Pada 2007 bukunya berjudul Mencari Surga di Bom Bali diterbitkan berkat bantuan program Widya Pataka Badan Perpustakaan Daerah Provinsi Bali bekerja sama dengan Arti Foundation, Denpasar.

Next Post
Juara Ideal Itu City, Tapi Chelsea Bisa Brutal dan Mematikan

Juara Ideal Itu City, Tapi Chelsea Bisa Brutal dan Mematikan

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Tembakau, Kian Dilarang Kian Memukau

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 31, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

PARA pembaca yang budiman, tanggal 31 Mei adalah Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Tujuan utama dari peringatan ini adalah untuk meningkatkan...

Read more

Melahirkan Guru, Melahirkan Peradaban: Catatan di Masa Kolonial

by Pandu Adithama Wisnuputra
May 30, 2025
0
Mengemas Masa Silam: Tantangan Pembelajaran Sejarah bagi Generasi Muda

Prolog Melalui pendidikan, seseorang berkesempatan untuk mengembangkan kompetensi dirinya. Pendidikan menjadi sarana untuk mendapatkan pengetahuan sekaligus mengasah keterampilan bahkan sikap...

Read more

Menjawab Stigmatisasi Masa Aksi Kurang Baca

by Mansurni Abadi
May 30, 2025
0
Bersama dalam Fitri dan Nyepi: Romansa Toleransi di Tengah Problematika Bangsa

SEBELUM memulai pembahasan lebih jauh, marilah kita sejenak mencurahkan doa sembari mengenang kembali rangkaian kebiadaban yang terjadi pada masa-masa Reformasi,...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025

MEMASUKI tahun ke-10 penyelenggaraannya, Ubud Food Festival (UFF) 2025 kembali hadir dengan semarak yang lebih kaya dari sebelumnya. Perayaan kuliner...

by Dede Putra Wiguna
May 31, 2025
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co