Bali diberikan sebutan beragam oleh dunia. Bali Pulau Dewata. Pulau Seribu Pura. The Last Paradise on Earth. Julukan itu diberikan karena Bali memiliki keindahan dan keunikan aktivitas masyarakat, seni, serta budayanya.
Julukan itu merupakan persepsi yang diberikan oleh dunia kepada Bali. Persepsi yang muncul secara alamiah tanpa kita bentuk dengan sengaja. Persepsi itu muncul sejak turis melihat dan merasakan langsung kehidupan masyarakat Bali secara langsung.
Ketika itu, sebelum mengenal pariwisata, aktivitas manusia, seni, dan budaya Bali hidup dengan alamiah. Beragam kegiatan ritual dilakukan di setiap hari. Mulai dari ritual di keluarga, dadia, desa, hingga ritual agung yang melibatkan banyak orang.
Tak heran jika Bali memiliki beragam ritual yang hadir dari wujud persembahan manusia Bali kepada para leluhur dan dewata. Keragaman ritual yang diwariskan leluhur menghadirkan beragam persepsi yang melekat di benak wisatawan dunia terhadap Bali.
Namun, selama setahun pandemi Covid-19 berlangsung, banyak gerak ritual manusia Bali yang dibatasi. Sangat terasa ketika upakara digelar dengan terbatas (menyesuaikan kehidupan dengan pandemi covid-19). Baik piodalan di pura keluarga, dadia, desa (pura dalem, pura segara, pura puseh), pura sad khayangan, hingga khayangan jagat.
Paling terasa adalah rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi pun dua kali dilaksanakan tanpa iring-iringan pemedek, kemeriahan gamelan, keindahan warna-warni umbul-umbul yang mengiringi perjalanan pratima dewata, betara-betari ribuan pura desa.
Pembatasan dilakukan bersama antara Pemerintah Provinsi Bali dengan Majelis Desa Adat (MDA) dan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali. Pembatasan keikutsertaan krama menyesuaikan dengan himbauan pemerintah untuk mengantisipasi penularan dan penyebaran Covid-19.
“Kami mengimbau masyarakat untuk tidak bergerombol dan berbondong-bondong datang ke acara ritual Tawur Kesanga tersebut, sebagai upaya penerapan pembatasan publik,” kata Kepala Bagian Humas dan Protokol Kota Denpasar, Dewa Gede Rai menjelang Nyepi yang dikutip dari CNN Indonesia saat awal pandemi.
Himbauan dilaksanakan dengan sangat patuh oleh prajuru desa adat di seluruh Bali. Alhasil, seluruh ritual upakara hanya dilaksanakan oleh sulinggih, serati, dan prajuru desa. Krama masing-masing mengikuti dengan cara ngayat (berdoa) dari pura rumah masing-masing.
Paradoks
Pemandangan pembatasan ritual itu seakan menjadi paradoks dengan aktivitas ekonomi, sosial, dan politik. Masih kita ingat, kerumuman yang tak taat protokol kesehatan dilakukan oleh Gubernur Bali bersama jajaran pemerintah kabupaten/kota ketika melakukan persembahyangan di Pura Besakih saat mengawali new normal. Ia dan lainnya tidak menggunakan masker dengan baik dan benar.
Kegiatan partai berupa tiup lilin dan saling suap menggunakan satu sendok. Sikap itu mendapatkan kritik dari masyarakat. Namun, gubernur yang juga ketua partai enggan dipersalahkan. Ia pun merasa tak melakukan pelanggaran protokol kesehatan.
Iringan simpatisan, semarak gamelan mengantarkan calon kepala daerah ke KPU. Kegiatan pemungutan suara di TPS pada 9 Desember 2020.
Paradoks terbaru adalah kemeriahan penyambutan dengan iringan gamelan menyambut kehadiran Presiden Jokowi di Ubud, Gianyar.
Waktunya Ritual Sakral Kembali Normal
Sebelum mengenal pariwisata, Bali memiliki kekayaan budaya sakral (street culture) yang tampak pada beragam aktivitas kehidupan kultural masyarakatnya, seperti melaksanakan upacara keagamaan, arsitektur khas Bali, dan kebanggaan terhadap adat dan budayanya (Darma Putra, 2015).
Banyak contoh semaraknya street culture yang berkembang sejak tahun 1990-an hingga kini, seperti prosesi ogoh-ogoh, prosesi penyucian diri dan benda sakral (melasti)¸ mengarak barong berkeliling desa (ngelawang) sebagai penolak Bala. Prosesi inilah yang dinikmati wisatawan secara gratis saat mereka melakukan tur ke berbagai penjuru Bali.
Namun, selama setahun gerak ritual manusa Bali tersebut terhenti (baca: dibatasi). Bali seolah sepi dari aktivitas ritual. Tak ada lagi street culture yang menghiasi Bali.
Kini, perayaan Galungan dan Kuningan pada April 2021 menjadi momentum untuk menghidupkan kembali ritual sakral sebagai wujud persembahan kepada leluhur dan batara-batari.
Kegiatan ritual sakral yang kembali memenuhi suasana jalan-jalan di pedesaan. Suara gamelan kembali menggema memeriahkan ritual. Iringan pajeng (payung), umbul-umbul, deretan penjor kembali menyemarakkan kehidupan ritual manusia Bali.
Kebijakan ini akan kembali menghidupkan ritual sakral yang telah hidup puluhan tahun. Gubernur Bali bersama MDA dan PHDI sebaiknya tak lagi melakukan pembatasan kegiatan ritual.
Pemerintah mesti berani menaruh kepercayaan dan keyakinan bahwa manusia Bali mampu menjalankan protokol kesehatan selama menjalankan ritual sakralnya. Piodalan di Pura Besakih yang dihadiri ribuan umat juga menjadi bukti bahwa manusia Bali mampu melaksanakan protokol kesehatan dengan baik.
Jika pun ada yang lalai, pemerintah baiknya melakukan terobosan edukasi, dengan memanfaatkan tokoh adat dan agama untuk menyampaikan penerapan protokol kesehatan kepada kramanya masing-masing pada setiap kegiatan ritual. Himbauan dari tokoh agama dan adat lebih dipercaya dan ditaati oleh kramanya masing-masing dibandingkan himbauan yang hanya bersifat formal dari pemerintah.
Aktivitas ritual yang kembali normal ini niscaya akan membantu mempercepat proses terbentuknya herd immunity natural pada tubuh manusia Bali. Kekebalan tubuh yang tumbuh secara alamiah di saat pandemi juga merupakan anugerah dari Tuhan.
Ritual sakral ini juga akan membangun kembali kepercayaan manusia Bali bahwa mereka akan kembali mendapatkan berkah dari rasa bhakti yang tulus di tengah badai pandemi ini. Mereka akan semakin berkeyakinan bahwa dengan melakukan ritual maka kesehatannya akan lebih cepat pulih. Kehidupan ekonomi keluarga akan pulih. Sebab kegiatan ritual ini akan membantu menggerakkan roda ekonomi Bali.
Dan kita akan semakin berkeyakinan bahwa kegiatan ritual tulus yang dipersembahkan (hanya) kepada leluhur dan dewata tanpa modifikasi dan embel-embel kepentingan pariwisata, akan mampu merawat persepsi dunia terhadap Bali. Di tengah bencana pandemi Covid-19, gerak ritual, seni, dan budaya tetap hidup dan bertumbuh dalam jiwa manusia Bali.
Dampak positif lainnya adalah wisatawan mancanegara dan domestik yang telah rindu untuk datang ke Bali akan terobati. Mereka bisa menyaksikan dengan aktivitas ritual sakral yang diabadikan kemudian dibagikan melalui foto dan video di media sosial. Dengan begitu, persepsi wisatawan bahwa Bali sebagai pulau dewata akan tetap terawat dalam benak mereka.
Semoga! [T]