Seorang lelaki, berjalan dengan langkah jantan. Di udara, seekor burung rajawali terbang, lalu menukik ke arah lelaki gagah itu. Burung itu kemudian hinggap di bahu sang lelaki. Betapa gagah. Seorang lelaki berteman dengan seekor burung rajawali.
Itu adalah gambaran video iklan rokok. Video itu seakan-akan menunjukkan bahwa, untuk mendapatkan citra jantan sekaligus unik, seorang lelaki belumlah cukup hanya bertubuh atletis, tapi juga harus ada seekor hewan. Hewan itu harusnya juga menciptakan kesan gesit, cekatan, dan tak terkalahkan dalam pertarungan alam rimba. Salah satunya, ya, rajawali.
Ada iklan lain, seorang lelaki berteman dengan macan di rumahnya. Ada juga lelaki balap lari dengan jaguar. Yang semua itu memberi citra, betapa cepat, betapa gesit, betapa seram, betapa beraninya lelaki itu.
Selain hewan paling berani, paling kuat, yang kerap dipilih sebagai simbol kegagahan, banyak juga hewan yang menyimbulkn persahabatan dan kedamaian dipilih juga untuk mengiklankan produk tertentu. Misalnya, iklan berisi gambaran sebuah keluarga jalan-jalan bersama anjing di taman kota. Ada juga kucing dan kelinci.
Hewan sebagai bintang iklan akhirnya menjadi hal yang biasa. Dalam film pun, tema persahabatan manusia dengan hewan kerap menjadi daya tarik cerita yang tak habis-habis. Di India banyak cerita film manusia berteman dengan gajah, ular, juga monyet. Ada banyak film menampilkan cerita persahabatan antara manusia dengan lumba-lumba dan anjing laut.
Di dunia nyata, manusia jalan-jalan bersama hewan peliharaan sepertinya juga bukan pemandangan baru. Jika kini jamak orang jalan-jalan membawa anjing, kucing, atau reptil, dulu bahkan ada hobi jalan-jalan sembari membawa burung gelatik. Ya, burung gelatik yang kecil-mungil itu.
Itu terjadi di Kota Singaraja sekira tahun 1950-an. Sebagaimana diceritakan Putu Sutisna dalam bukunya “Singaraja yang Dikenang yang Disayang”, diterbitkan Mahima Institute Indonesia, Juli 2020.
Putu Sutisna, pensiunan guru besar di Fakultas Kedokteran Unud ini, lahir dan menghabiskan masa kecilnya di Banjar Paketan, Singaraja. Ia lahir tahun 1943. Dalam bukunya itu, ia banyak bercerita tentang masa kecilnya di Kota Singaraja, terutama di sekitar rumahnya di Paketan.
Ia bercerita, dalam rentang waktu beberapa tahun lamanya di masa kecilnya, pernah merebak hobi bermain burung gelatik pada banyak orang. Hobi itu bukan saja merambah terbatas pada orang-orang di lingkungan banjarnya di Paketan, tetapi juga ada di banjar lain, mungkin saja di seantero kota Singaraja.
Tentu berbeda dengan hobi jalan-jalan bersama anjing, di mana ketika sang tuan berjalan, anjing ngikut di belakang. Hobi jalan-jalan bersama burung gelatik, sang tuan biasanya membawa sebatang kayu. Satu kaki burung gelatik diikat dengan benang yang sedikit lebih besar dari benang jahit. Si tuan membawa batang kayu lurus yang berukuran tidak terlalu besar. Ujung benang yang satu lagi diikat pada kayu itu. Kayu itu juga sebagai tempat burung gelatik bertengger.
Dengan gerakan tangan, si tuan memegang batang kayu itu, dan si burung gelatik terbang ke udara yang tinggi dan jaraknya sesuai dengan panjang benang pengikatnya, berputar beberapa kali sebelum si burung menclok kembali di atas batang kayu.
“Begitulah saya melihat pemandangan orang-orang (kebanyakan orang dewasa) berjejer pada jarak yang aman dan berbarengan bermain burung gelatik. Kami anak-anak bisa menilai siapa pemain yang “jagoan” mengendalikan burungnya secara menarik,” cerita Putu Sutisna dalam bukunya.
Tentu, amat menyenangkan melihat burung gelatik yang cantik terbang melayang berputar-putar, dan manakala si burung mau hinggap kembali di atas batang kayu tuannya, dengan gerakan tangan tertentu sambil setengah berteriak “hus,hus” si tuan membuat burung kembali melayang berputar beberapa kali. Sungguh menarik.
“Saya perhatikan bahwa di masa itu pedagang burung di pasar mendapat lebih banyak rejeki, dan begitu pula pedagang makanan burung,” cerita Putu Sutisna.
Atraksi permainan burung gelatik itu secara rutin berlangsung di sore hari sebelum anak-anak dan orang dewasa mandi bareng di sungai kecil yang ada di wilayah pesawahan yang luas yang terletak agak jauh di sebelah barat banjar, yang biasa disebut “bedugul”.
Karena begitu tertarik dan tidak ingin tertinggal menyaksikan indahnya manuver burung-burung gelatik di setiap sore hari, Putu Sutisna memindahkan rutinitas mandi di sore hari dari kamar mandi di rumahnya ke sungai kecil di “bedugul”.
Apakah masih ada orang-orang tua di Kota Singaraja yang ingat tentang merebaknya hobi jalan-jalan dengan membawa burung gelatik sebagaimana diceritakan Putu Sutisna?
____
___
Kisah persahabatan manusia dengan hewan begitu sering kita dengar, baik kisah nyata maupun fiksi. Bahkan kadang banyak manusia memiliki persahabatan yang lebih kental dengan hewan ketimbang dengan manusia lainnya.
Ada banyak penjelasan soal persahabatan semacam itu. Misalnya, manusia kadang lebih percy kepd hewan daripada manusia, misalnya sebagai teman dalam bermain. Hewan diangap lebih fair, juga tak pernah marah. Dalam cerita soal permainan burung gelatik di Singaraja sekira tahun 1950-an itu, manusia mungkin menganggap burung sebagai media hiburan, selain karena burung itu memang cantik, juga karena manuver terbangnya yang bisa dijadikan tontonan.
Marta Borgi, penulis di Frontiers in Psychology sebagaimana dilansir The Healthy yang kemudian disiarkan Medcom.id. pernah melakukan penelitian mendalam pada hubungan manusia dan hewan. Ia mengungkapkan bahwa hewan peliharaan dapat membantu mengurangi perasaan isolasi sosial pada manusia.
Selain itu, menurut Borgi, hubungan dengan hewan memiliki karakteristik yang mirip dari hubungan manusia-manusia. Ada keintiman emosional, persahabatan, kepercayaan, kesetiaan, komitmen, kasih sayang, penerimaan, simpati, kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, serta waktu yang dihabiskan bersama dan pemeliharaan ikatan pasangan setelah lama pemisahan.
Interaksi positif dengan hewan dapat memengaruhi fungsi kekebalan tubuh manusia. Ini akan memudahkan orang untuk pulih dari penyakit dan pada akhirnya memperpanjang umur manusia. [T][Ada][Editor:Ole]