26 February 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai

Kami, Elegi Riau yang Ditinggal Pergi: Antara Kegelisahan dan Optimisme

I Made Kridalaksana by I Made Kridalaksana
February 14, 2021
in Esai
  • Judul Buku      : Kami, Elegi Riau yang Ditinggal Pergi (Kumpulan Karya Forum Literasi Remaja Riau)
  • Penulis             : Putri Ayu Aulia, dan kawan-kawan. 
  • Penerbit           : Soega Publishing
  • Tebal               : 118 halaman
  • Cetakan ke-     : 1 Tahun 2018
  • ISBN               : 978-602-6817-74-7

Putri Ayu Aulia, Qonitah Rifda Zahirah, Sausan Najda Andriani, Dang Mawar, Ratu Carissa, Hananni, Riza Dermawan, Putri Marsya, Muhammad de Putra, Ahna Shofy, dan Muhammad Abyan Syah, adalah potret generasi milenial yang kreatif. Buah kreatifitas mereka terangkum pada sebuah buku yang berjudul Kami, Elegi Riau yang Ditinggal Pergi. Meski masih berstatus pelajar (SMP, dan SMA atau sederajat), para penulis yang tergabung dalam Forum Literasi Remaja (FLR) Provinsi Riau ini adalah anak-anak muda sarat prestasi pada dunia sastra, khususnya puisi, cerpen, teater, maupun beberapa bentuk karya sastra lainnya. Kiprah kesusasteraan mereka tidak hanya teruji pada tingkat lokal Riau semata. Sebagaimana diungkapkan pada halaman biografi buku ini, beberapa penulisnya bahkan sudah menancapkan kukunya pada level nasional, ASEAN, bahkan internasional.

Kami, Elegi Riau yang Ditinggal Pergi, memuat kumpulan cerpen, monolog,  puisi dan syair. Sebagaimana judulnya, kumpulan karya ini banyak merekam ekspresi dukacita, ratapan, serta kegelisahan. Menariknya, meski para penulisnya masih sedang duduk di bangku sekolah, mereka tidak hanya mengangkat problematika terkait dengan dunia mereka sebagai pelajar maupun permasalahan di lingkungan keluarga semata. Lebih dari itu, mereka berbicara tentang isu-isu yang lebih luas seperti: kegelisahan akan kelestarian alam, adat serta budaya yang terpotret di tanah kelahiran mereka, Riau, termasuk juga ekspresi kegelisahan mereka terhadap fenomena yang terjadi di negeri ini, Indonesia.

Putri Ayu Aulia,  pada cerpen Tsunami dan Ayah yang Pergi dalam Kematian Keluarga, mengisahkan dukacita mendalam yang dialami tokoh akunya bernama Ahmad. Berlatar tsunami yang merenggut nyawa ibu, ayah, serta ketiga adiknya, si tokoh aku ini meratapi kepergian orangtua serta saudara-saudaranya. “Ayah semakin menjauhkan perjalanannya. Sedangkan ibu, dan tiga adikku mulai bahagia di pangkuan Tuhan yang menerima bila mereka menggelakkan tawa di atas sana ketika aku merasa begitu luka nestapa. Entah mereka lupa kepadaku yang merana di sini entah bagaimana.” (hal. 23). Kutipan cerpen ini adalah ratapan si tokoh aku sekaligus sindiran kepada para para pemimpin untuk ingat dengan rakyat dengan segala problematikanya.

Cerpen Qonitah Rifda Zahirah berjudul Yas juga berkisah tentang ratapan. Del, dan semua warga sekolah tidak dapat menerima ketidakadilan menimpa Yas, rekan mereka.  Yas yang secara fisik kurang menarik serta kurang mapan secara ekonomi di-bully oleh tiga rekan mereka, bahkan, hingga meninggal. “… Pem-bully-an, penindasan, dan segala macam perlakuan seperti itu, bukanlah diajarkan bunda Kartini. Hanya karena fisiknya yang tidak menarik, hanya karena ia tidak mampu, bukan berarti kesetaraan tidak berlaku untuknya. … ” (hal. 42). Kutipan ini menegaskan kesetaraan bukan hanya urusan gender tetapi juga dalam hal status sosial.

Sausan Nadja  Andriani pada cerpennya Lautan Perasaanmu, Ayah berkisah tentang tokoh Pak Hasan yang meratapi kelakuan Fikri, anak sulungnya yang sedang duduk di bangku SMA. Di hadapan teman-temannya, Fikri merasa malu mengakui pekerjaan ayahnya sebagai badut keliling. “Fikri malu punya Ayah kayak Ayah! Ayah cuma kerja jadi badut keliling, Cuma jadi badut yang biasanya cuma disewa buat acara ulang tahun anak orang saja! Ayah nggak sehebat Ayah teman-teman Fikri yang lain! Ayah nggak bisa kerja kantoran kayak Ayah-Ayah yang lain! … “ (hal. 49). Kutipan ini juga merupakan sindiran keras bagi kita untuk tidak gengsi menerima kenyataan. Jika diambil hikmahnya bukan tidak mungkin kondisi tersebut membuat kita bangkit dari ratapan.

Dang Mawar pada puisinya Membaca Riau 1 secara eksplisit mengungkapkan ratapan sekaligus kerinduan akan kembalinya kejayaan masa lalu tanah kelahirannya. Alam yang dulunya asri dan subur kini berubah gersang dan hancur oleh tangan-tangan modernisasi. Riau yang menurutnya identik dengan budaya Melayu, kini sudah turut tergerus seiring pesatnya perkembangan era globalisasi ini. //Membaca Riau Membaca Melayu/ Yang kini kian tergerus zaman/Alam punah Ranah, masa silam jadi kenangan/Bagai langit ditikam kelam, badai menghantam, ia meranggas/ … // (hal. 68). Larik-larik ini selain ratapan sekaligus juga menjadi peneguh semangat untuk tidak kehilangan Riau dengan budaya penduduk Melayu-nya yang ramah ditingkahi sopan-santun serta adat-istiadat yang adiluhung.

Putri Marsya melalui puisinya, Dendang Sumpang Lancang Kuning menyiratkan hal senada dengan Dang Mawar. Ia meratapi ‘mutiara’ tanah Riau yang kini banyak dinikmati orang luar. Meminjam istilah Sapardi Djoko Damono ‘bilang begini maksudnya begitu’, tentu yang dimaksudkan bukan mutiara dalam pengertian harfiahnya. Secara metaforik, setidaknya kehilangan mutiara yang dimaksudkan adalah hilangnya sesuatu yang sangat berharga seperti hilangnya harapan serta kesempatan untuk menikmati kekayaan serta keindahan alam, adat, dan budaya yang dulu pernah mereka miliki. //Kini anak negeri menangis pilu dendang sendu berlalu/menyentak batin ibu pertiwi/Berteriak dalam bisu/… tak pernah menggapai asa/Di mana nak kucari mutiaraku/Untuk membalut lukaku/ … // (hal. 95). Ratapan ini bisa juga menjadi optimisme untuk bersama-sama berupaya menata kembali puing-puing kehancuran menjadi sesuatu yang memberi harapan di masa mendatang.

Jika karya-karya cerpenis maupun pemuisi lainnya menyuarakan kegelisahan tentang tanah Riau, Muhammad de Putra mengamplifikasi kegelisahannya secara lebih luas. Pada puisinya, Elegi Anak-anak Indonesia, melalui pengisahnya, ia menggambarkan kerusakan tanah negeri kita, Indonesia. //Tubuh pertiwi sudah mengelupas, membiru laut dan merah darah./ sedang orang-orang menangisinya dengan isak/ yang menyesak dan menyeka air mata kami./ Apakah ada upacara untuk mengobati mata dan hatinya yang dilukai, Mak?// (hal. 99). Larik-larik puisi ini mengajak kita melakukan introspeksi untuk turut serta dalam upaya melakukan penyelamatan terhadap kerusakan yang dialami pertiwi tercinta, Indonesia.

Puisi-puisi bertema kegelisahan lainnya juga diekspresikan beberapa penulisnya. Ratu Carissa dengan puisi-puisinya Rumah yang Ditinggal Pergi, Perubahan, Tak Ada, dan Aku Menunggu. Selanjutnya, Hananni hadir dengan puisinya Pohon yang Gugur Daunnya, Metafora dari Rahim Batu, dan Kisah Anak-anak di Simpang Jalan. Selain itu, ada Riza Dermawan yang menampilkan Dahsyatnya Badai.

Pelibatan ratapan sekaligus optimisme yang terejawantah melalui karya-karya pada buku ini memberikan nilai lebih tersendiri.  Sebagai pembaca kita tidak hanya “diajak” meneteskan air mata, namun juga sebaliknya, menumbuhkan ketegaran serta optimisme untuk melakukan upaya mengatasi ratapan. Optimisme tersebut terekam dalam syair maupun monolog. Kehadiran syair Muhammad Abyan Syah yang berjudul Getir, misalnya. Melalui si aku liriknya, ia menyalakan semangat demi kehormatan bangsa. //Dengarkan nandung syair/dari generasi yang tak pernah getir///Wahai anak negeri/Semua tersergam di depan mata adalah/puncak karya, menyala/Raihlah, genggamlah/maka marilah kita goreskan impian/agar kelak menjadi keharuman bangsa//. (hal. 105). Kutipan lirik ini mengajak kita untuk bersemangat menyongsong kejayaan masa depan bangsa.

Rasa optimisme juga diekspresikan Ahna Shofy melalui monolognya Rahasia Sang Bintang. Ia memberikan semangat bagi kita untuk kuat serta tidak lekas menyerah. “Wahai manusia, jangan seperti aku. Kuatkanlah dirimu mesti kau serapuh kayu tua.  …. Simpan kerapuhan itu untuk dirimu sendiri, cukup indahmu saja yang mereka lihat.” (hal. 65). Si aku lirik pada monolog ini menyiratkan untuk menguatkan diri agar mampu memperlihatkan hal-hal terbaik.

Buku ini cocok dibaca oleh para generasi milenial untuk menumbuhkan budaya menulis serta membaca buku, khususnya tentang sastra, di tengah lesunya gairah membaca maupun menulis di kalangan mereka dewasa ini. Untuk itu, buku ini akan bertambah mantap seandainya lebih banyak lagi menghadirkan karya-karya yang bertemakan fenomena-fenomena kekinian yang sedang terjadi di kalangan generasi milenial. Bagi masyarakat luas, menikmati karya-karya yang terangkum pada buku ini dapat menggugah kepedulian terhadap persoalan-persoalan daerah dan bangsa sekaligus membangun optimisme mengatasi persoalan-persoalan dimaksud. Selamat membaca! [T]

Tags: Bukuresensi buku
I Made Kridalaksana

I Made Kridalaksana

Lahir di Bongkasa, Badung, Bali, tahun 1972. Pendidikan terakhir S2 Linguistik di Universitas Udayana Denpasar (2007). Kini, guru di SMA Negeri 2 Mengwi, Badung, Bali. Puisi-puisi penulis terhimpun pada antologi bersama: “Mengunyah Geram, Seratus Puisi Menolak Korupsi” (2017), dan banyak lagi.

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Ilustrasi Florence W. Williams dari buku aslinya  dan diolah oleh Juli Sastrawan
Cerpen

Si Ayam Betina Merah | Cerpen Florence W. Williams

by Juli Sastrawan
February 24, 2021
Ilustrasi diolah dari sejumlah sumber di google
Esai

Ha ha ha, Inilah Kisah Rakyat “Bodoh-bodoh Pintar” di Musim Pilkada

KISAH-KISAH ini saya tulis berdasarkan ingatan ketika bertugas menjadi wartawan di sejumlah kabupaten di Bali. Mungkin kisah aslinya tidak persis ...

February 2, 2018
Rumahku yang alami {Foto Made Swisen]
Khas

Rumahku Dibuat dari Benda Alam yang Menyatu dengan Alam

Oleh: Made Swisen  -- Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng ____ Perkenalkan namaku Made. Usiaku? Ahh, haruskah? Yang jelas aku lahir ...

March 22, 2020
Prof. Dr. Putu Kerti Nitiasih, M.A bersiap pentas monolog
Persona

Menu Hidup Ikhlas Prof. Dr. Putu Kerti Nitiasih, M.A – Catatan 11 Ibu 11 Panggung 11 Kisah

Jika anda mendengar nama Prof. Dr. Putu Kerti Nitiasih, M.A apa yang terlintas di benak anda? Seorang profesor yang tegas, ...

December 21, 2018
Ilustrasi: Kadek Heny Sayukti
Cerpen

Aku Ambil Hatimu dengan Tanganku Sendiri

TAK tahukah kau bahwa aku sangat mencintaimu? Ya, aku mencintamu. Sangat mencintaimu. Dan apa kau tahu yang selama ini aku ...

February 2, 2018
Lukisan Komang Astiari (croping)
Cerpen

Arwah Monster

Adikku Nohan tak pernah berhenti mematuk-matukkan jemarinya ke layar ponsel. Bocah empat belas tahun itu sesekali menggoyang-goyangkan ponsel putihnya, lalu ...

February 9, 2019

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Jaja Sengait dari Desa Pedawa dan benda-benda yang dibuat dari pohon aren [Foto Made Saja]
Khas

“Jaja Sengait” dan Gula Pedawa | Dan Hal Lain yang Bertautan dengan Pohon Aren

by Made Saja
February 25, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Dedek Surya Mahadipa
Esai

Cerita-Cerita Biasa dan Tak Biasa Semasa Pandemi

by Dedek Surya Mahadipa
February 26, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (67) Cerpen (155) Dongeng (11) Esai (1412) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (10) Khas (340) Kiat (19) Kilas (196) Opini (477) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (9) Poetry (5) Puisi (101) Ulasan (336)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In