Hampir pukul empat dini hari, Putu belum bisa pulas. Jikalau matanya terpejam, rasa geli menyengat di beberapa bagian kulit kepala. Jemarinya terbiasa mengendalikan perasaan dan mencari-cari penyebab kegelisahan itu. Beberapa kali digaruk persis di bagian belakang telinga kanannya, bergesar ke bagian atas, kemudian menuju pusar rambut. Setelahnya, ibu jari dan telunjuk bekerjasama menarik helai rambut dari pangkal hingga ujung. Alhasil di telunjuknya terdampar telur kutu yang siap dipencet.
Muncul suara ‘kliiik’ tanda telur mengandung calon pengisap darah kulit kepala.
Bagi Putu menemukan telur kutu di setiap helai rambutnya adalah suatu prestasi. Bagaimana tidak? Ia merasa menjadi orang paling bersih, dan paling intuitif karena mengetahui letak persis telur kutu itu berada. Kadang jika tak tahan, sisir serit diambil untuk merontokkan kutu-kutu atau bakal kutu. Usai ritual itu, Putu merasa ringan bagai meluruhkan segala kecemasan. Kutu-kutu itu berjalan di helai rambutnya seperti persimpangan atau jalan tol. Mereka hilir mudik, pulang pergi dari kutub kepala utara hingga kutub pangkal. Mereka seperti sibuk menggiring Putu merasakan kecemasan.
Saat kutu-kutu bergerak dari sudut kulit kepala yang kanan ke rumpun rambut yang lebih gelap, mereka menyedot darah Putu. Sebelum tiga jemari mendarat di kulit kepalanya, Putu merasa geli menyengat. Rasa ini persis saat Ia bingung dan bimbang menanti kabar ayahnya yang merantau ke bukit timur menggali pasir. Saat itu Gunung Agung tengah erupsi. Banyak orang yang menggantungkan hidupnya di kaki gunung harus mengungsi. Ayah Putu tentu sempat mengungsi, namun tidak lama. Seminggu kemudian, ayahnya meninggal gagal jantung akibat syok. Pendapatan keluarga merosot sebab tak diperbolehkan bekerja di galian sampai erupsi mereda.
Selintas kenangan itu diingatnya kembali usai memencet telur kutu ‘kliiik’.
Sudah lewat dini hari, Putu masih menggaruk kulit pelipis dengan kukunya. Ia merasa ada beberapa kutu kecil sedang mengenal belantara kepala. Setiap perpindahan muncul rasa ngilu dan gatal berlebihan. Rasa ini mirip ketika dia gelisah dan merasa seluruh tubuhnya kaku ingin memberontak. Saat ibunya harus bersedia pensiun dini dengan kehendak sendiri. Pensiun dini di umur 50 adalah hal tanggung. Perusahaan tidak ingin memecatnya. Tidak ingin ada pesangon yang diturunkan. Perusahaan yang akan bangkrut itu, menjatuhkan harga diri karyawan di depan umum. Contoh, memasang berbagai peraturan yang tidak manusiawi, dan memaksa karyawan pensiun dini. Hal inilah yang membuat Putu merasa keadilan memang tidak tercipta untuk para buruh.
‘Kliik’ suara pencetan kesekian.
Keramaian-keramaian dan bising terdengar lalu-lalang. Putu berpikir, dirinya sudah tidak bisa lagi tidur nyenyak. Kutu-kutu di kepalanya sudah menyita waktu tidurnya. Beberapa kali Putu coba menjemur kasur, bantal, dan membersihkan ruang tidurnya. Tidak hanya itu, helm juga selalu dibersihkannya, namun tak membaik. Putu berpikir bahwa hal ini karena metode perawatan rambutnya. Pernah Putu mencoba berbagai obat rambut, hingga keramas biji cabai. Tetap tak membawa hasil. Putu pun pernah memangkas rambutnya, tak ada perubahan apa pun setelah tiga bulan memanjang.
Putu masih terbayang-bayang saat di bangku sekolah dasar. Teman-temannya tak ingin di dekatnya karena selalu melihat kutu-kutu yang berseliweran. Terlebih telur kutu yang ranum bagai bulir emas, siap menetas. Rasa dicemooh dan diasingkan itu terasa hingga kini. Ia berkesimpulan bahwa tidak ada yang mencintainya dan menerima keadaannya. Putu telah mengakali dengan banyak cara. Meski pernah mereda, kutu-kutu itu masih saja kembali. Sepertinya rambut Putu adalah magnet bagi para kutu.
‘Kliiik..kliik’ telur kembar dipencet lagi.
Rasa ketidakpercayaan ini dipendam dan diperam hingga berujung dentuman di dada. Gejolak-gejolak itu tidak bisa dibendung. Ia hanya melatih mulutnya agar tidak mengatakan atau memaki orang yang menjelekkannya. Namun di beberapa hal, Putu perlu bersuara. Saat itu, sekelompok pengurus desa mencari-cari kesalahan pada bangunan rumahnya. Putu dan ibunya disidang di hadapan bapak-bapak pengurus desa dan dipaksa membayar sejumlah denda.
Sebuah hal yang merendahkan juga memojokkan. Hanya karena membangun saluran air yang katanya tidak sesuai ketentuan lingkungan. Oh, tidak! Putu memutuskan untuk mengambil kelewang, arit, dan senapan. Ia kehilangan sikap melihat ketidakadilan yang berulang-ulang hadir.
Satu per satu didatangi, satu per satu Putu menjambak rambut dan memotong kepala mereka dengan senapan dan arit. Kumis, jenggot, dan jamban mereka pun terpotong.
Putu mendelik! Alisnya terangkat, bola matanya membelalak. Putu bangkit lekas. Dengan terengah-engah di tempat tidurnya, “Ah, hanya mimpi!” gerutunya sambil menggaruk kepala dan muncul suara ‘kliiik’ memecah keheningan.
Tak sekadar bunga tidur rupanya. Esok hari, berita tersebar bahwa bapak-bapak pengemis pajak desa itu tidak memiliki rambut. Mereka kehilangan kumis, jengot, dan jamban. Hanya sinar lapang di kepala tanpa helai rambut yang tak mampu tumbuh di kemaluan sekalipun. Kini, tak ada lagi kewibawaan yang disombongkan. Pembalasan dendam yang sunyata. Dalam tidurnya, kutu-kutu di kepala Putu ternyata telah melancarkan pembalasan paling menggelikan.
Suatu ketika Putu mengeringkan rambutnya. Ia melihat kutu tersangkut di handuk. Kutu itu seperti ingin berkata bahwa Ia akan melindungi Putu. Namun Putu masih bingung pasca kejadian aneh di mimpinya. Setiap dalam mimpi, Ia bertarung, membunuh, atau dikejar pembenci. Kutu-kutu itu membentuk suatu barisan di sela-sela benang handuk. Barisan itu membentuk suatu aksara bali A yang berarti arah utara. “Apa yang perlu aku lakukan di utara?” gumamnya.
Tepat malam purnama, Putu memutuskan untuk melakukan pembersihan di pantai paling utara. Kelapa hijau dan bunga wangi dibawanya. “Akan aku lebur segala kegatalan kepala. Aku tanggalkan kekutu ini agar lepaslah kenangan yang cemas. Mohon, tunjukkan berkatmu, Hyang Baruna,” katanya sembari menenggelamkan diri di tengah pantai. Putu timbul-tenggelam di antara lekukan ombak. Di bawah bayang purnama, kutu-kutunya luruh bersama memori dendam, pedih, kecewa, dan trauma.
Usai putaran ketiga, Putu menepi ke bibir pantai mengeringkan badan dan meniriskan rambutnya. Ia tersenyum. Kepalanya sudah sepi dari kekutu. Tak berselang lama, seketika Putu membelalak. Rambutnya tak bisa disibak-sibak. Rambut Putu melengket. Dengan sekuat tenaga, Ia mencoba membuka ruas-ruas rambutnya. Nihil. Pisau dan benda tajam lain diambilnya segera. Namun, tak lantas mengurai rambut-rambut yang terlanjut mengusut dan saling menempel.
Putu melemas, tertunduk, bersimpuh “Hyang Baruna, inikah jawaban?” [T]