Siang itu, ia melihat penampakan neraka dan surga di sebuah toko kitab yang berhadap-hadapan dengan Kantor Nadhlatul Ulama Pamekasan. Ia seakan ikut dalam salah satu perjalanan paling akbar dalam sejarah keyakinan samawi. “Aku seperti diajak menyaksikan peristiwa Isra Mikraj. Kitab al-Isra wal Mi’raj itu sangat memukau sekaligus mengerikan,” ujar Royyan Julian mengenang pertemuannya dengan kitab karangan seorang Arab tersebut bertahun-tahun yang lalu saat masih berseragam putih-biru.
Yang paling fantastis, menurutnya, kitab itu bicara tentang kosmogoni. Bagaimana alam semesta ini tercipta dari cahaya Muhammad. “Kalau aku terjemahkan dalam alam pikiran rasional kini, aku akan klasifikasikan kisah itu sebagai cerita-cerita berdasar hadis daif yang dibumbui mitologi. Aku akan menolaknya. Namun, saat itu aku tidak tahu-menahu dan kitab itu jadi sangat menarik di mataku. Bisa jadi itu salah satu yang membuatku jadi suka berfantasi.”
Besar dalam tradisi NU yang kuat dan sempat mengenyam pendidikan madrasah diniyah menjadikan kebiasaan membaca kitab dalam aksara pegon berbahasa Madura sebagai laku sehari-hari buat Royyan kanak-kanak. Di rumah, kitab-kitab itu berhamburan dan dapat disambarnya dari koleksi milik ibu dan tantenya yang lulusan pesantren.
Ia mengaku orang tuanya kerap mendongengkan folklor Indonesia. Ketika masih kanak-kanak, ia juga mulai membaca Kisah Seribu Satu Malam. “Tidak ada buku khusus yang kubaca, tapi bacaan-bacaanku terus-menerus berubah. Aku enggak bilang meningkat, tapi berubah ya. Awal baca komik, terus SMP mulai baca buku biografi, kemudian aku baca buku agama. Itu yang benar-benar yang bikin aku excited,” katanya. Ia melanjutkan, yang dibaca itu mulanya buku stensilan yang diterbitkan penerbit kecil dengan judul semacam Bertamasya ke Alam Akhirat atau Misteri Para Malaikat. Tidak jauh-jauh dari dunia dongeng dan fantasi.
“Kemudian, aku melahap buku pemikiran ulama klasik. Ketika SMA, aku membaca majalah Hidayatullah terbitan Hizbut Tahrir Indonesia, juga laman IslamLib dengan tulisan pemikir-pemikir yang kerap disalahpahami. Aku membaca semua pemikiran-pemikiran mereka, yang tidak hanya berbicara tentang sesuatu yang fundamental, tapi sesuatu yang filosofis,” terangnya seraya menatap langit-langit.
Tahun-tahun, pustaka-pustaka, dan pertemuan-pertemuan telah mengayakan dirinya. Kini, ia telah menerbitkan tujuh judul buku, yaitu Sepotong Rindu di Langit Pleiades (2011), Tandak (2015), Metafora Ricoeurian dalam Sastra (2016), Tanjung Kemarau (2017), Biografi Tubuh Nabi (2017), Rumah Jadah (2019), dan Ludah Nabi di Lidah Syekh Raba (2019).
—
Seperti memasuki perpustakaan yang penuh sesak oleh buku. Begitulah yang saya dapati ketika berjumpa dengan sosok Royyan Julian.
Saya menjumpainya pertama kali lewat tulisan. Sekitar tahun 2011, saya membaca sebuah cerita pendek di catatan Facebook. Sebuah cerita yang tak lagi saya ingat judulnya, tetapi kesannya tetap terasa hingga kini. Cerita yang diselubungi magi dengan pendayagunaan bahasa yang canggih dan bertenaga. Seperti menemukan cerita-cerita Triyanto Triwikromo. Kelak saya menyebutnya ke-triyanto-triyanto-an, dan dengan semringah ia kemudian mengakui kekaguman pada sosok sastrawan sekaligus wartawan yang bergiat di Semarang itu. “Aku pembaca semua tulisan Pak Tri.”
Pertemuan pertama saya secara fisik terjadi di Taman Baca, Ubud. Sosok mungil ini berbicara mengenai mitos dan cerita di hadapan para pengunjung Ubud Writers and Readers Festival 2016. Dengan nada kritis dan diselingi humor ia berbagi pandangan bagaimana mitos dan keyakinan asal usulnya Madura, si pulau garam yang tandus, yang mengayakan cerita-ceritanya. Sehabis sesi, ia dikerubungi beberapa pembaca asal Australia yang sangat terkesan dengan ceritanya dan ia dengan telaten menanggapi percakapan-percakapan itu.
Ia adalah orang yang senang melakukan percakapan. Isi kepalanya meluap-luap dan berlimpah-limpah untuk dibagikan. Sebab itu, saya kemudian mengajaknya bercakap-cakap, mencoba menelisik bagaimana sosok muda ini bisa melakoni begitu banyak kerja. Ia pembaca yang lahap, penulis yang produktif, dosen yang artikulatif, dan semua itu bisa dilakukannya di mana saja, bahkan di kedai kopi.
—
- Saya selalu penasaran dengan waktu membaca dan menulis para penulis. Kalau Royyan membaca, biasanya ada waktu khusus kah? Apakah saat membaca fokus membaca atau membaca sambil menulis?
Tidak ada. Kalau buku-buku tertentu yang aku suka banget dan aku tertarik terhadap isinya, aku akan intens membacanya. Tapi ketika menulis novel, aku perlu pancingan untuk dapat membuat ungkapan yang bagus sehingga aku membaca buku yang memiliki bahasa yang memikat. Kupikir kalau seorang kepingin jadi penulis, orang itu pasti akan mengamati bagaimana cara penulis membangun imajinasi lewat kalimat.
- Boleh berikan daftar buku yang menurutmu memikat dan sering kamu baca saat menulis?
Yang memikat itu tentu menurut seleraku ya. Misalnya, cerpen-cerpen Chitra Banarjee Divakaruni, Leila Aboulela, dan Oka Rusmini; Pedro Paramo novel Juan Rulfo, bagian awal Larung novel Ayu Utami; juga Perempuan yang Dihapus Namanya buku puisi Avianti Armand. Itu adalah karya-karya yang bisa memancingku untuk membantuku membuat ungkapan dan kalimat yang bagus.
- Tema apa yang menarikmu saat ini? Lalu, apa yang paling penting dan hendak didapatkan ketika kamu membaca?
Belakangan, selain sastra dan filsafat, aku sangat tertarik membaca buku sains. Ketika membaca, pertama yang ingin aku dapatkan tentu itu isinya, kedua adalah cara penulis menyampaikannya. Keduanya kupikir satu kesatuan. Aku suka fiksi dan buku nonfiksi yang ditulis dengan cara yang menarik. Bagiku buku yang baik itu, buku yang memberi gairah pada bahasa.
- Kamu sering menyebut nama perempuan pemikir dalam opinimu dan saat saya menanyakan buku yang memikat kamu menyebut banyak nama perempuan penulis. Ada alasan tertentu?
Aku kagum bagaimana mereka mengungkapkan gagasan. Aku melihat mereka mengungkapkan sesuatu itu tidak sama dengan bagaimana cara laki-laki mengungkapkannya. Aku pikir perempuan itu lebih kreatif dalam berbahasa. Dalam ranah feminis post-mo, perempuan tidak hanya berbahasa dalam tataran simbolik, mereka memiliki bahasa alternatif yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Orang-orang menyebutnya, yang semiotik. Ketika misalnya dia disublimasi, dia akan menjadi berbeda dengan yang dituturkan lidah laki-laki.
- Bagaimana hubunganmu dengan perempuan, misalnya dengan ibu atau orang-orang terdekat?
Aku sebetulnya enggak punya romantisisme terhadap hubungan keluarga. Meskipun begitu, hubunganku dengan orang tua, keluarga, dan kerabat yang memiliki pertalian darah itu tentu baik-baik saja.
Ya, mungkin aku memang lebih akrab dengan orang-orang yang memiliki kesukaan yang sama daripada dengan keluarga sendiri. Meskipun ada beberapa anggota keluarga besar yang sangat dekat denganku, tapi aku tidak memandang, apakah aku punya hubungan darah dengan dia atau tidak. Yang jelas keakraban itu tidak dibangun dari asal usul, tetapi dari bagaimana kami intens berkomunikasi dan berinteraksi.
- Bagaimana cara kamu berjejaring, membangun relasi perkawanan yang akrab itu?
Keakraban itu dibangun mulanya dari kesamaan kesenangan, lalu jadi teman nongkrong. Ketika nongkrong bareng itu, ngobrolin sesuatu yang kami suka, dan enggak harus yang serius. Tapi memang yang serius seringkali lekat denganku. Padahal tidak selalu seperti itu.
Aku memang punya beberapa lingkaran pertemanan. Ada beberapa orang yang kalau ketemu, ngomong perkara serius, tapi lingkaran lain itu ya just for fun. Contohnya cuma ketemu, ngopi, ngomongin sesuatu yang lucu-lucuan gitu dan sebagainya.
Jadi, ada yang mengganggap aku itu serius. Ketika ketemu, mengobrol, barulah kemudian mereka tahu bahwa aku ini malah humoris. Dan kupikir juga, sikap humor ini tidak terlepas dari sikap orang Madura secara umum.
- Karena itu banyak humor tentang orang Madura?
Oh, kalau itu, berbeda. Aku tidak suka terhadap humor tentang orang Madura yang cenderung stereotipe. Humor yang beredar itu kan seolah-olah mengesankan orang Madura itu sebagai orang yang pandir atau seenaknya sendiri. Itu aku tolak karena hal-hal seperti itu tidak hanya ada pada orang Madura, tetapi juga ada pada semua komunitas.
Nah, mungkin juga aku ralat. Ya, kupikir sifat humoris itu bukan cuma dimiliki orang Madura, tapi orang yang menyukai humor itu orang yang punya sikap kritis. Sebab salah satu modus untuk mengkritik itu lewat humor.
- Kamu seorang yang terus-menerus berubah dengan apa yang dipikirkan?
Iya, tentu saja sifat manusia itu tidak konsisten dan aku akan terus mempertahankan sikap inkonsistensi itu.
- Jadi, yang kamu tulis pada masa lalu, akan berubah pada masa mendatang?
Ya, itu seringkali terjadi pada diriku dan aku harus legowo, harus bersikap rendah hati, dan tidak perlu malu dianggap tidak konsisten. Enggak masalah. Itu adalah salah satu tanda bahwa kita mengalami kemajuan dalam berpikir.
- Kamu menyatakan, orang Madura tidak seperti yang sering diceritakan oleh orang-orang. Seperti apa sebetulnya orang Madura?
Maksudku, yang pandir, yang bodoh, yang egois itu tidak hanya orang Madura, tetapi ada di dalam semua komunitas. Gambaran orang Madura selama ini cenderung stereotipikal dan karikatural. Orangnya keras, darahnya panas, dan sebagainya. Padahal sebetulnya orang Madura itu punya sifat kosmopolitan.
Karena itu, kemudian apa yang dikatakan oleh salah seorang ahli Madura, yaitu Prof. A. Latief Wiyata, itu meleset. Dulu dia bilang, dalam satu tulisan bahwa ketika nanti Jembatan Suramadu itu beroperasi orang Madura akan menimbulkan banyak carok. Ternyata justru Jembatan Suramadu itu semakin menegaskan karakter orang Madura yang kosmopolitan. Salah satu budayanya, orang Madura itu suka merantau. Dari budaya merantau itu mereka bisa meneropong banyak kebudayaan dan menerima bahwa perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan. Kemudian orang Madura menginternalisasi sifat kosmopolit itu ke dalam karakter.
Orang Madura bisa bertetangga dengan orang yang berbeda dengan dia. Berbeda keyakinan, berbeda ideologi, dan sebagainya. Karena itu, ketika ada peristiwa, misalnya konflik Syiah di Sampang, adalah sesuatu yang aneh. Itu bukan sifat orang Madura. Tapi ada sesuatu yang memicu, sesuatu yang urgen, dan itu anomali. Kupikir ada seseorang yang besar yang bisa mempropagandakan dan mengagitasi orang untuk melakukan sesuatu yang di luar sifat orang Madura biasanya.
- Sikap kosmopolitan itu tidak banyak diekspos?
Iya, sikap kosmopolitan itu tidak banyak diekspos. Makanya kemudian pandangan orang luar, orang Madura itu dianggap udik.
Ketika orang-orang membaca cerita-cerita saya, komentar mereka terhadap tulisan saya atau pada saya, ini kurang Madura, itu sangat tidak Madura. Lha, Madura seperti apa yang ingin Anda ketahui? Madura dengan carok, dengan karapan sapi? Madura dalam konstruksi imajinasi Anda itu kan imajinasi kolonial dan itu stereotipikal. Madura itu kan tidak hanya komunitas, tetapi Madura juga adalah kebudayaan. Sifat kebudayaan itu organik. Terus-menerus berubah. Makanya kemudian jangan memandang Madura sebagai museum atau sebagai monumen yang rigid. Akan tetapi, kebudayaan itu sesuatu yang cair sifatnya.
- Saya pikir persoalan di setiap wilayah sama. Ada pertentangan antara kelompok orang yang ingin mempertahankan tradisi dan kelompok yang ingin memberi sentuhan yang baru terhadap tradisi. Sekarang kamu bermukim di Pamekasan, sebelumnya ada fase kamu di Malang dan di Jogja. Kamu sudah hidup bermukim di banyak tempat, dengan masyarakat dan kebudayaan yang berbeda. Bagaimana perpindahan geografis dari Pamekasan, menuju Malang, menuju Jogja, dan kembali ke Pamekasan itu mempengaruhi dan membentuk cara berpikirmu?
Sebagaimana orang Madura yang seringkali merantau dan bermukim di wilayah lain, hal itu tentunya mengubah cara berpikir esensial.
Jadi, yang esensial itu, misalnya orang menulis Madura itu begini dan tetap begini. Itu kan menganggap bahwa kebudayaan itu sebagai entitas yang tidak berubah, yang tetap, yang ajeg. Namun, sebenarnya itu bertentangan dengan sifat atau watak masyarakat yang sudah berbaur dengan berbagai macam kebudayaan, yang selalu berubah.
Anehnya yang ingin mempertahankan keaslian kebudayaan Madura ini justru orang Madura yang terpelajar. Jadi, orang Madura itu adalah orang Madura yang dikonstruksikan dalam imajinasi mereka, sedangkan masyarakat Madura sendiri berubah.
Orang Madura namanya sekarang bukan cuma Brudin. Namanya Frans. Namanya Nadia. Karena orang tua mereka nontonnya sinetron. Mereka mendengarkan lagu-lagu populer Tanah Air, lagu-lagu India, lagu-lagu dalam bahasa Inggris.
Jadi, aku tidak menulis di tempat sunyi. Aku biasa menulis dengan latar belakang musik, mulai dari senandung selawat sampai lagu-lagu maksiat. Bayangkan mereka menyetel itu bukan cuma pakai speaker kecil, tapi salon gede untuk orkes hajatan sehingga akhirnya aku ikut hafal lagu-lagu yang mereka setel.
- Kamu enggak ikut nyetel?
Ikut dong, nyetel lagu-lagu maksiat.
Nah, lanjut yang tadi. Ketika saya di kampus dulu, saya ditanya, orang mana? Saya jawab, orang Madura. Orang-orang kemudian menganggap saya, orang yang memiliki agama yang taat.
Orang Madura itu juga suka sekali mengawinkan sesuatu. Misalnya dalam musik, lagu-lagu India itu musiknya dipinjam kemudian dibuatkan liriknya dalam bahasa Madura.
Ketika kuliah di UGM dan saya mengajukan mau meneliti puisi-puisi Alkitabiah Mario F. Lawi untuk tesis saya, pilihan saya itu dipertanyakan banyak orang, termasuk dosen-dosen saya. Namun, Prof. Faruk membela dan mengamini bahwa begitulah orang Madura, mereka punya watak ingin menjelahi sesuatu yang baru.
Terkait menulis. Dulu, saat di Malang, aku menulis pasti ada pengaruh latar di Malang. Ketika dulu menulis cerita mengenai Madura di Malang, aku sangat tekstual. Yang aku tulis itu berdasarkan teks yang masuk lewat bacaan, buku-buku hasil penelitian. Sekarang, aku melihat Madura itu sebagai yang ada di hadapanku. Karena itu, aku tidak mau lagi meromantisasi Madura atau mentradisionalkan Madura.
- Buku telitian mengenai Madura terkesan meromantisasi Madura?
Dalam penelitian mengenai Madura, banyak peneliti lebih fokus pada Madura yang tradisional, Madura yang kontemporer nyaris luput.
- Tidak ada yang memotret Madura kontemporer?
Ada, tapi tak banyak.
- Dari yang sedikit itu boleh disebut beberapa nama yang kamu ingat?
Dari yang sedikit itu, kupikir tulisan-tulisan Kiai A. Dardiri Zubairi sangat relevan. Tulisannya memuat hal-hal kecil dalam masyarakat Madura yang jarang dibahas, tapi sangat menarik untuk dibaca. Misalnya dalam tulisannya, ia membicarakan sarung dalam banyak dimensi kehidupan orang Madura. Berbeda dengan peneliti lain, yang cenderung memotret Madura hanya sebatas karapan sapi dan carok.
- Dalam cerita-ceritamu, kamu kerap menjadikan Branta Pesisir sebagai latar. Apa arti Branta Pesisir bagimu?
Ketika aku membaca satu tulisan tentang sejarahnya. Konon, raja-raja dan para bangsawan itu, dalam kegiatan perjalanan mereka seringkali singgah di Branta. Kalau di buku, digambarkan Branta itu tempat yang indah. Meskipun kini bertolak belakang dengan namanya. Jadi, aku membayangkan Branta Pesisir itu sebagai sesuatu yang keos, tetapi yang keos itu kan kalau di mata seorang pekerja kreatif justru menjadi ilham.
Aku tidak bisa mengendalikan komunitasku ketika misalnya pertama kali pulang. Aku dulunya berpikir, nanti aku akan jadi aktivis. Mengubah dari masyarakat yang tidak beradab menjadi lebih beradab. Tapi aku tidak bisa mengontrol masyarakatku, dan kusadari aku bukan seorang pahlawan yang perlu mengubah. Karena itu, aku membiarkan semuanya berjalan seperti apa adanya.
Kalau posisiku sendiri dalam konteks seperti itu, aku akan tetap menolak hal-hal yang tidak sesuai dengan keyakinan moralistikku.
- Contohnya?
Misalnya, bagaimana mereka menghadapi persoalan-persoalan lingkungan. Aku menganggap kebiasaan mereka buang sampah itu tidak beradab. Ya, itu pikiranku dulu. Kemudian, aku merasa bersalah juga karena ternyata memang tidak ada tempat pembuangan sampah di situ. Terus mau gimana lagi?
- Di mana dibuangnya?
Jadi, sampah dibuang di pinggir laut. Akhirnya, sampah menumpuk. Sebagian mungkin dibakar secara sembarangan.
- Lalu persoalan apa lagi?
Persoalan perkawinan anak usia dini. Yang banyak, terutama di masyarakat Madura yang masih tradisional. Ada mahasiswa saya itu, dulu ketika baru lulus SMP dinikahkan, tapi akhirnya bercerai. Makanya kemudian itu menjadi sorotan, kata aktivis feminis Indonesia, ‘Madura merupakan sarangnya pernikahan anak usia dini’. Kenapa pernikahan dini itu terjadi? Menurutku, pernikahan itu bukan untuk membangun mahligai rumah tangga. Masyarakat tradisional memang dituntut untuk menikah cepat, mungkin masih terpengaruh oleh kebudayaan masa lalu. Dahulu, tingkat kematian anak itu sangat tinggi sehingga anak itu harus cepat-cepat menikah agar masyarakatnya bisa terus melanjutkan keturunan.
- Tingkat kematian tinggi itu karena apa?
Persoalan medis. Tapi bagi orang Madura, perempuan itu misalnya kalau dia sudah menstruasi, dia harus segera menikah. Ini terkait erat dengan pola permukiman orang Madura, yaitu tanean lanjheng. Jadi, setelah menikah, suami ikut ke lingkungan rumah istri atau mertua. Ini disebut sistem kekerabatan matrilokal. Kontur tanah dan alam di Madura itu kan keras sehingga untuk menggarap lahan diperlukan anggota keluarga yang banyak.
- Mayoritas mata pencaharian penduduk Branta Pesisir apa?
Ada nelayan, ada pedagang. Yang paling banyak nelayan.
- Pernahkah terpikir untuk jadi nelayan?
Aku gak punya bakat jadi nelayan. Selain itu, aku juga tak sepakat dengan cara mereka yang menggunakan pukat harimau. Mereka tidak merawat laut yang memberi karunia pada mereka. Akibatnya, sekarang nelayan makin lama, makin jauh ketika mencari ikan.
- Kalau dulu, bagaimana nelayan Madura menangkap ikan?
Aku melihatnya nelayan Branta Pesisir. Ketika aku lahir, mereka sudah pakai jala. Tapi sekarang mereka pakai cara-cara yang merusak. Aku selalu protes dengan bapakku soal cara nelayan di desaku menangkap ikan. Menurut bapakku, itu sudah diatur Yang Mahakuasa. Aku tidak sepakat, itu bukan diatur, kan ada ayatnya di kitab suci, dhzaharal fasaadu fil barri wal bahri bimaa kasabat aidin naasi liyudziiqahum ba’dalladzii ‘amilu la’allahum yarji’un ‘telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)’.
- Bagaimana kearifan orang Madura melihat ekologi?
Ada peribahasa Madura bilang begini, kalau kamu mau menangkap ikan, ya jangan bikin keruh airnya. Artinya apa? Artinya, kalau kamu mau ngambil ikan, ya secukupnya. Kupikir itu peribahasa Madura yang merepresentasikan kearifan masyarakat dalam memandang lingkungan hidupnya. Namun, itu bisa rusak karena sifat lain orang Madura, yaitu pragmatis. Ini muncul karena memang lingkungan atau ekosistem di Madura itu keras sekali sehingga mereka perlu bersiasat untuk bertahan hidup. Segala cara dilakukan untuk bertahan hidup, termasuk cara-cara yang mungkin kurang baik, seperti menambang yang akhirnya merusak lingkungan. Jadi, aku tidak memandang Madura hitam-putih ketika mereka menyoroti aspek ekologi. Aku tidak tahu, apakah yang pragmatis ini bisa disebut sebagai kejahatan? Kupikir tidak.
Kita mulai dengan pertanyaan, kenapa ada pertambangan? Populasi manusia semakin bertambah sehingga keperluan terhadap tambang ikut bertambah. Seandainya populasi manusia tidak bertambah, tentu permintaan itu berkurang dan pertambangan bisa diminimalisasi. Jadi, kita tidak melihat sesuatu itu terfragmentasi, tapi melihat sesuatu itu langsung dari akarnya. Apa akarnya? Persoalan populasi. Populasi manusia yang terus-menerus bertambah. Anda berpikir bahwa banyak anak, banyak rezeki. Ternyata banyak anak, banyak bencana juga.
Banyak anak, banyak juga yang mesti diberi makan dan banyak juga kebutuhan yang perlu dipenuhi. Jadi, tidak bisa kemudian Anda marah saja terhadap tambang. Terus saja marah-marah. Di mana-mana ngomongnya, tolak tambang, tolak tambang! Lah, kamu beranak-pinak terus, enggak bisa kamu bilang tambang itu jelek. Selama kamu masih kepingin punya dua belas anak, enggak bisa kamu marah-marah aja menolak kayak gitu.
- Ini menyinggung siapa?
Menyinggung siapa saja. Kita tidak bisa serta merta menolak sesuatu. Kita harus memikirkan apakah kita menjadi salah satu sumber penyebabnya. Yang perlu diingat, kita menghadapi persoalan populasi.
- Solusinya?
Kamu bisa menyimpulkan sendiri.
- Madura saya kenal sebagai lumbung penulis. Kenapa bisa begitu?
Kupikir karena pesantren. Saya tidak lahir dari lingkungan pesantren, tapi pesantren kupikir memiliki kontribusi yang cukup signifikan dalam melahirkan para penyair. Memang banyak mitos, begitu lahir, orang langsung jadi penyair di Madura. Cita-cita orang Madura itu kan ada dua, pertama, naik haji, kedua, jadi penyair. Di kalangan para penulis Madura, banyak yang menjadikan anekdot itu jadi kenyataan. Misalnya, orang Madura itu banyak yang merantau ke Jogja. Mereka ke Jogja bukan hanya untuk belajar, tapi jadi penulis. Bahkan motor mereka pun jadi penyair, saking besarnya aura kepenyairan orang Madura.
- Apa itu anekdot di antara kalangan penyair saja? Bagaimana masyarakat Madura melihat posisi penyair?
Ya, itu di kalangan penyair saja. Mereka tidak tahu penyair itu apa. Begini, kepenyairan di mata orang Madura itu bukan sesuatu yang agung atau adiluhung, tapi itu terjadi karena mereka hidup dalam lingkungan yang bersyair. Syairnya itu tentu tradisi lisan.
- Kalau di Sumatera ada pantun, di Madura ada pantun?
Di Madura ada yang seperti pantun, namanya papareken.
Jadi, syair itu bukan sesuatu yang istimewa. Nah, misalnya, suatu ketika ada dosen UI penelitian di Madura. Saat itu, di sana ada siswa yang menang olimpiade sains. Dia diarak pakai mobil bersama bupati dan sebagainya. Lalu, muncul pertanyaan, kenapa kalau misalnya ada anak Madura yang juara 1 lomba puisi nasional, itu tidak diadakan tradisi seperti itu. Oh, itu sesuatu yang lumrah, bukan hal luar biasa. Kita itu penyair, meskipun mereka itu tidak bilang mereka penyair. Kita hidup dalam tradisi seperti itu.
- Kamu pernah mengatakan bentuk cerpen tak sanggup lagi menampung apa yang ingin disampaikan, kenapa?
Itu sebenarnya murni subjektif karena mungkin aku bosan dengan format cerpen koran yang terlalu dibatasi oleh ruang. Sedangkan aku butuh, misalnya menulis detail tentang isi pikiran tokoh-tokohnya untuk memberikan efek estetik tertentu, sehingga sekarang aku berpikir mungkin cuma butuh dua bentuk.
Pertama, adalah puisi, yang di situ memang benar-benar isinya dipadatkan. Kedua, adalah cerita yang lebih panjang daripada cerpen, bisa novela yang kupikir bentuknya sangat ideal bagi para pembaca sekarang, yang tidak mau membaca cerita sepanjang novel karena mereka terlalu sibuk, meskipun sibuknya itu di media sosial. Sementara dari cerpen, mereka tidak mendapatkan kedalaman.
Saya tetap membaca cerpen, tapi tidak semua cerpen. Saya membaca cerpen-cerpen yang agak panjang, seperti cerpen Chitra Banarjee Divakaruni, cerpen Leila Aboulela, dan cerpen Oka Rusmini yang agak panjang, seperti “Sagra”.
- “Sagra” itu bukan cerpen, tapi cerbung.
Hahaha.
- Kalau sekarang, enggak ada lagi penulis cerpen Indonesia yang memuaskan kebutuhan artistikmu?
Kalau sekarang enggak ada lagi, penulis cerpen Indonesia kebanyakan menulis untuk koran yang cuma empat halaman A4.
- Muslihat Musang Emas punya Yusi Avianto Pareanom sudah baca?
Belum. Itu panjang?
- Ya, bervariasi. Ada yang pendek, ada yang sampai lima puluh halaman.
Sepertinya aku akan mencari dan membacanya.
- Jadi, kamu tidak mau menulis cerpen lagi?
Aku akan menjawabnya seperti ketika Nirwan Dewanto ditanya, apakah mau pameran sketsa lagi. Aku mau menulis cerpen lagi kalau itu bisa bikin aku kaya raya. Maksudku, kalau dipaksa dan ditawari bayaran yang oke, kenapa tidak?
- Bagaimana kamu membagi waktu dalam kerja, aktivis, menulis, dan nongkrong?
Kupikir menulis adalah kerja juga, bahkan aku berharap menulis itu menjadi kerja tetapku. Kendati memang di antara itu, ada kerja alternatif, kerja yang lain, misalnya mengajar. Ketika membaca, aku tidak menulis dengan target tertentu. Aku menulis yang ringan-ringan saja biar aku tidak kehilangan kemampuan menulis. Ketika menulis, aku punya rutinitas yang konsisten untuk menyelesaikan target menulis sebuah buku, seperti ketika menulis novel dan novela.Aku bisa menulis di mana saja. Aku bahkan menulis dan menyelesaikan dua novelaku di kedai kopi.
- Saya dengar, ada proyek terbaru dan buku yang akan terbit, boleh kasih bocoran?
Aku akan mulai menuliskan buku puisi hasil residensi di Mollo, Nusa Tenggara Timur. Akhir tahun kemarin, saya diminta menyetor dua puluh puisi untuk diterbitkan dalam antologi bersama lima alumni Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang lainnya. Akhir Januari ini rencananya diterbitkan Penerbit Pelangi Sastra Malang dalam judul Rahim Penyair. Lalu, ada satu novela yang akan diterbitkan Cantrik Pustaka, judulnya Pendosa yang Saleh. Awal tahun ini kuharap buku ini bisa segera menemui pembaca. Pertengahan tahun, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa akan menerbitkan Ziarah ke Hati yang Tahir, buku catatan perjalanan saya saat residensi di Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan, tahun lalu. Semoga buku itu juga dapat dibaca luas. [T]
____
BACA JUGA WAWANCARA WENDY FERMANA DENGAN OKKY MADASARI
Berbincang Tentang Buku dengan Okky Madasari: “Yang Penting Kamu Baca”