Suatu sore ketika sedang asik menyeruput kopi yang masih hangat, ponsel pintar saya berbunyi nyaring juga singkat. Sepertinya pesan masuk di salah satu grup Whatsapp. Entah grup yang mana, karena sampai detik ini puluhan grup saya ikuti—mulai grup kantor, organisasi, komunitas, sampai grup yang dibuat hanya sekadar iseng saja.
“Bli Ted, kira-kira hari apa lagi kita ngelapak?” kata seorang kawan di salah satu grup.
“Jumat aja seperti biasa Gus.” jawab saya lugas.
Yahh, begitulah rutinitas kami saban minggu. Memilih untuk menjajakan berbagai buku bacaan di Taman Kota Denpasar (tepatnya di area YouthPark). Saya dan beberapa kawan tergabung dalam komunitas literasi bernama Narmada Bali. Awal tahun ini kami memiliki ageda rutin—Ngelapak. Menjajakan buku untuk dibaca gratis di tempat, tapi kalau memang tertarik dengan salah satu buku yang kami jajakan, tentu pembaca bisa membacanya di rumah (meminjam untuk dibawa pulang dengan rentan waktu yang sudah ditentukan).
Selain ngelapak, kami pun mengisi waktu dengan membahas isi buku yang sedang dibaca. Lebih tepatnya salah satu dari kami membahas buku yang sedang atau sudah dibaca untuk didiskusikan bersama. “Wahh, pasti ramai tuh peminatnya” sepertinya banyak dari kalian berpikir demikian. Tapi saya jawab dengan tegas, untuk saat ini belum banyak peminatnya.
Membaca sampai detik ini belum menjadi aktivitas utama bagi masyarakat, yahh setidaknya itu yang saya lihat di Kota Denpasar. Dari sekian kali kami menjajakan “dagangan”, pengunjungnya bisa dihitung dengan jari. Sampai detik ini memang minat membaca dari masyakat Indonesia masih kurang. Berangkat dari keresahan inilah Narmada Bali muncul untuk membumikan aktivitas literasi di Bali, ya setidaknya dimulai dari Kota Denpasar terlebih dahulu.
Lahir di Bawah Sinar Rembulan
Lima pemuda ini terlihat antusias dalam sebuah diskusi—ditemani segelas kopi sambil mengagumi indahnya malam mereka saling bertukar pikiran guna melahirkan satu gebrakan baru di Ibu Kota. Ada yang menyunggingkan senyum saat salah seorang kawannya melontarkan ide. Satunya lagi dengan gaya bak orator ulung coba memengaruhi lawan bicara. Sisanya? Ya mencoba menyimak barangkali menemukan ide baru di tengah-tengah ruang diskusi.
Singkat cerita, lima pemuda yang tadi asik diskusi bersepakat membentuk satu komunitas literasi. Nalar Mahasiswa dan Pemuda Bali (Narmada Bali) namanya. Memiliki makna bahwa komunitas ini nantinya akan menjadi sungai (bangawan) yang besar dan bermuara ke samudera lepas. Spirit ini mengantarkan saya dan kawan-kawan membuat banyak orang untuk jatuh cinta dan tumbuh bersama aktivitas literasi. Hanya satu hal yang diperlukan—jatuh cinta. Maka jika sudah jatuh cinta, apapun akan terasa ringan untuk dijalani—termasuk aktivitas literasi.
Membumikan Literasi
Saat menulis catatan ini saya mencoba mencari arti dari literasi di mesin pencarian dalam ponsel saya. Kurang lebih hasil dari pencarian tadi seperti ini “Literasi adalah istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari”. Juga dua tahun lalu, saya berkesempatan bertemu langsung dengan Duta Baca Nasional—Najwa Shihab. Dalam penjelasannya, ia menyampaikan kalau literasi merupakan kemampuan seseorang mengolah informasi yang diterima untuk dijadikan informasi baru sehingga lebih mudah dimengerti oleh pembaca.
Dari dua penjelasan di atas tadi, saya mencoba menarik benang merahnya. Jadi literasi tidak bisa dilepaskan dari aktivitas seseorang dalam menganalisa suatu permasalahan, kemudian membahasakannya kembali agar mudah dimengerti oleh orang banyak. Dua kata kuncinya adalah “analisa” dan “menyampaikan kembali”. Tentu untuk memiliki dua kemampuan tersebut, seseorang harus bergumul dengan aktivitas yang sudah disebutkan sebelumnya. Seseorang bakal memiliki daya analisa baik apabila ia terbiasa membaca, menghitung, kemudian menuliskan hasil analisisnya. Juga seseorang akan memiliki kemampuan membahasakan informasi secara baik ke khalayak ramai apabila ia rajin berdiskusi (bicara).
Sebagai komunitas yang cukup concern di bidang literasi, Narmada Bali mencoba melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan penjelasan di atas. Kami cukup sering menginisiasi berbagai pelatihan menulis kepada siapapun yang berminat mengikutinya. Bincang Muda sebagai salah satu kegiatan andalan juga sering kami balut dengan Nonton Bareng (Nobar) Film.
Kenapa Nobar? Di sini daya analisa kita dilatih untuk menyimak jalan cerita serta maksud dari film tersebut, karena setelahnya peserta Nobar tentu akan antusias “menguliti” film tersebut. Dalam kegiatan ini, kemampuan analisis kemudian bicara dilatih.
Bukan Sebagai Kewajiban, Tapi Kebiasaan
Tentu Narmada Bali hadir di tengah hiruk pikuk Kota Denpasar bukan untuk memaksa anak muda suka membaca, menulis, dan berdiskusi. Melainkan Narmada Bali hadir sebagai pemantik anak muda untuk lebih mudah jatuh cinta kepada dunia literasi. Berbagai kegiatan yang kami lakukan tidak lebih untuk mengajak kalian berkenalan dan tentu saja jatuh cinta. Saat cinta sudah berlabuh di lubuk hati paling dalam, percayalah bahwa kamu akan menjalankan berbagai aktivitas literasi dengan suka cita—apapun risiko dan pengorbanan yang harus dilakukan.
Mungkin banyak yang menganggap bahwa setiap jatuh cinta selalu dibayangi satu risiko besar—sakit hati. Tapi setelah saya jatuh cinta pada literasi dan terbenam dalam dekapannya, saya baru menyadari ternyata masih ada jatuh cinta yang tidak menimbulkan sakit hati (setidaknya itu yang saya rasakan hingga detik ini). Jadi maukah kalian ikut jatuh cinta bersama saya? Ehh, maksudnya Narmada Bali? [T]