Rasa-rasanya dan memang seperti nyata, hampir semua orang di dunia mengenal Bali. Ini pulau dengan hampir 100 % sumber penggerak kehidupan ekonominya berasal dari denyut nadi pariwisata. Pariwisata itu utama, yang lain pelengkap saja (kayaknya}.
Dengan begitu, dulu, pariwisata identik dengan bule. Entah apa arti sebenarnya dari bule, tapi yang jelas setiap turis mancanegara disebut bule, dari mana pun negaranya. Turis lokal tak disebut bule. Di dunia pariwisata, kata “bule” itu keren.
Orang selalu menyebut-nyebut kata bule dalam banyak percakapan. Bahwa orang yang tinggal di hotel adalah bule, yang makan di restaurant itu bule, di Kuta bule, di Ubud bule, di mana-mana yang berwisata di Bali adalah bule.
Nah. Tak ada yang pernah meramal bahkan pernah membayangkan, bahwa pandemi ini bukan hanya membuat pariwisata redup seperti lampu teplok, melainkan juga membuat banyak bule menyulap diri menjadi “tamu lokal”. Akibat lockdown, pintu keluar-masuk bandara terkunci, atau dibuka sedikit-sedikit saja, maka banyak bule (turis mancanegara itu) harus “menetap” di Bali dalam waktu yang cukup lama. Ada yang memang tak bisa pulang akibat lockdown di mana-mana, ada yang dengan sengaja memilih tinggal di Bali dengan berbagai alasan.
Karena “menetap” cukup lama, bule yang seperti “tamu lokal” itu dengan tak sengaja atau sengaja belajar Bahasa Bali. Mereka harus beradaptasi. Lama-lama, pasih juga Bahasa Bali. Lama-lama, mereka juga makan masakan Bali, bahkan masakan Bali yang dijual di warung-warung lokal yang bukan restoran.
Ini saya ketahui ketika pada ujung minggu lalu, di awal Januari, saya semat berkunjung ke sebuah kedai kopi mini milik sahabat di Pecatu, Badung. Teman itu, Wayan Eka Artana Putra, adalah teman kuliah di Politeknik Negeri Bali. 2006 -2009. Pada saat pandemi ini, kedai yang dibukanya dengan setia banyak didatangi bule yang sudah menjadi “tamu lokal”.
Sebagaimana layaknya “tamu lokal”, banyak bule tampak tanpa malu-malu membeli nasi, dibungkus, lalu dibawa ke tempat menginap. Atau banyak juga bule duduk berjam-jam ( bahkan bisa sampai setengah hari) hanya ditemani secangkir kopi, sembari mencari wifi.
Jadi, jangan heran juga, jika belakangan melihat banyak “bule lokal”, yakni bule yang sudah seperti orang lokal akibat hampir 12 bulan terjebak pandemi, terlihat sudah amat terbiasa menyantap makanan bali, jaje bali sampai ngorta (ngobrol) pake Bahasa Bali.
Sebelum pulang balik ke Buleleng, iseng-iseng saya bertanya kepada teman pengelola kedai itu. Apakah ada bule yang ngebon alias ngutang dulu kalau beli kopi?
Dengan agak manis nyengir, ketawa sedikit, teman saya yang memang murah senyum ini bilang, “Banyaklah. Ada yang 100, 350, 600. Ada yang belum bayar, ada yang nyicil. Ada yang gak pernah lagi ngopi di sini!”
Dalam hati saya hanya bisa berdoa semoga BON-nya menjadi BONUS suatu saat nanti. Memang masa pandemi kembali mengingatkan kita di mana-mana, bahwa manusia di seluruh penjuru dunia adalah sama. Setidaknya, sama-sama ngebon jika terdesak. [T]