Orang Bali punya lagu Bintang Kecil versinya sendiri. Tak ada yang tahu, ini ulah siapa dan dimulai kapan. Jelasnya, orang Bali, dari anak-anak sampai orang tua, umumnya mengenal versi ini.
Bintang kecil di langit yang biru
Amat banyak menghias angkasa
Aku ingin terbang dan menari
Jauh tinggi ke tempat kau berada
Liriknya asyik, pesannya kuat. Sungguh hebat Pak Dal karena mampu mencipta lagu dengan sempurna. Pantas lagu ini populer. Begitulah kata orang-orang yang mengulas lagu penyerta tumbuh anak Indonesia ini.
Ada pula yang mengkritik kesesatan pada liriknya. Tak ada bintang di langit yang biru, adanya di langit yang gelap, katanya. Berdasarkan pertimbangan rima, sahut seorang lainnya dengan niat membenarkan, kata yang benar bukan biru, tetapi tinggi. Jadi Bintang kecil di langit yang tinggi.
Tulisan ini bukan bermaksud mengulas bagian-bagian di atas. Tulisan ini hanya bercerita tentang lagu Bintang Kecil-nya orang Bali. Dikatakan milik orang Bali karena mengandung tambahan lirik berbahasa Bali. Dari hasil tanya-tanya, orang dari berbagai daerah di Bali rupanya mengenal versi ini. Jadi, dapat dikatakan populer.
Begini! Usai menyanyikan lirik di atas, lagu bernada sederhana ini diberi tambahan lirik berikut.
Meli tipat sing ada dagang (Beli lontong tak ada dagang)
Meli kacang sing ngidang makpak (Beli kacang tak bisa ngunyah)
Liriknya absurd, apalagi pesannya. Sungguh lancang si pencetus tambahan lirik ini. Kok bisa-bisanya versi ini populer. Begitulah kata seorang teman, panggil saja si Bingungis (karena sering bingung), yang tetiba mengingat lagu masa kecilnya itu.
“Kok bisa meli tipat? Kok sing ada dagang?”, gerutunya, tentu dengan ekspresi bingung karena baru menyadari keunikan tambahan lirik itu.
Si Fundamentalis bertanya, “Mengapa harus ditambahkan ya? Apa dirasa kurang?”
Si Konspi-rasis menyela “Ini benar-benar aneh! Kok bisa tambahan lirik itu sepopuler ini? Bagaimana proses penyebarannya? Ini pasti ulah elite lokal! Skenario apa yang ada di balik bintang kecil dan dagang tipat?
Yang lagi ngin-tips memberi pengakuan bahwa tambahan lirik Bintang Kecil yang didapatinya bukan hanya meli tipat dan meli kacang semata, tapi juga meli bubuh dan aes (maksudnya es krim). Begini lengkapnya!
Meli tipat sing ada dagang (Beli ketupat tak ada dagang)
Meli kacang sing ngidang makpak (Beli kacang tak bisa ngunyah)
Meli bubuh sing ngidang nguluh (Beli bubur tak bisa menelan)
Meli aes pesu tenges (Beli es keluar ingus)
Bak virus, lirik lagu “Bintang Kecil”-nya orang Bali ini ternyata telah bermutasi. Mulai dari dagang tipat sampai aes pun terpapar.
“Nah itu!”, si Analitis memulai menyampaikan hasil analisisnya, “Sudah ketemu polanya. Kata seorang ahli, laku budaya tercermin dalam laku bahasa seseorang. Bila ini (suka nambahin) terkategori sebagai laku bahasa, mungkinkah ini cermin budaya orang Bali?”, tanya si Analitis (pertanyaannya biasanya akan dijawab olehnya sendiri).
“Orang Bali suka penuh. Citra penuh (meriah, berhias, bersolek) dapat ditemui di segala lini mulai dari pekarangan rumah hingga produk-produk keseniannya (lukisan, gamelan, ukiran, arsitektur), bahkan masakan Bali.”, kata si Analitis mengutip pernyataan Aryantha Soethama tentang orang Bali.
“Lalu?”
“Mungkin lirik Bintang Kecil dirasa terlalu pendek. Masih ada sisa nafas usai menyanyikan lirik lagu ini. Karena suka penuh dan agar penuh, sisa nafas tadi baiknya ditambahkan lirik, supaya tidak sia-sia. Asane sing genep pailehe, bila masih ada ruang kosong.”
“Kalau lagu lain kok tidak ditambahkan? Lagu anak lainnya kan liriknya juga pendek?”, kata Bingungis, tentu masih konsisten dengan wajah bingungnya.
“Walau sama-sama pendek, lagu anak lainnya kan sudah terisi penuh oleh senandung lalala atau hehehe di akhir liriknya. Yang lebih kreatif caca marica he hei pada lagu Anak Kambing Saya atau tek dung lalala pada lagu Burung Kakak Tua. Jadi, tidak perlu tambahan lagi! Pailehe sube genep!”, jawab si Analitis bermaksud meyakinkan.
Semua mengangguk, tanda menyetujuinya.
“Kok sing ada dagang? Kan dagang tipat dan kacang ada di mana-mana? Begitu juga dagang bubuh? Apalagi dagang aes? Apa saat lirik ini dibuat belum ada dagang ya? Dari lirik sing ada dagang, para pedagang terinspirasi medagang, agar ada dagang?” ulang salah satu di antara mereka.
“Masalahnya bukan terletak pada ada atau sing dagang. Tapi LI…, maksudku MELI!”, si Analitis kembali meneruskan sambil memelintir kumis tipisnya.
“ME ngaranin pengater, LI ngaranin ….,”
Celetukan si Maknais itu langsung dipotong (baca: disensor) si Analitis. “Bukan begitu! Lagu Bintang Kecil kan membicarakan hasrat (keinginan) anak ane joh gati sing tanggung-tanggung: terbang tinggi menggapai bintang hanya untuk menari. Coba pikir! Sementara itu, hasrat yang muncul pada lirik versi orang Bali ini ialah meli alias belanja.”
“Maksudmu orang Bali suka belanja, gitu? Semua orang juga suka belanja keles”, sela salah satu di antara mereka.
“Mungkin juga. Tapi maksudku,” lanjut si Analitis, “seluruh keinginan itu terasa sia-sia. Ini tercermin dari tambahan lirik sing ada dagang, sing ngidang makpak, sing ngidang nguluh. Which is, ini menggambarkan aktivitas konsumsi yang memprioritaskan keinginan (want), tinimbang kebutuhan (need)! Dengan kata lain, kita telah membeli imaji-imaji (yang ditandai tipat, kacang, bubuh, aes) yang sesungguhnya tak ada gunanya (sing ngidang makpak, sing ngudang nguluh).”
“Orientasi pada gaya hidup membuat orang-orang mengikuti trend. Bila trend-nya belanja, keterlibatan padanya adalah keterlibatan terhadap kehidupan. Belanja menjadi ukuran dari kebahagiaan dan kesenangan. Dulu ada istilah populer dari Descartes: ‘Aku berpikir maka aku ada’. Saat tambahan lirik itu diciptakan jadi: ‘Aku belanja maka aku ada!’.
Artine, konsumerisme telah merasuk dalam pikiran dan tubuh kita sejak anak-anak not ci, serem to! Pang ci nawang, menurut Baudrillard, …”
“Kreeeoook! kreeeokkk! kreeook!”, terdengar perut salah satu dari mereka protes memotong pernyataan menggebu-gebu si Analitis yang sejak tadi melafalkan kutipan-kutipan yang ia hafalkan dari artikel internet.
“Terik-terik gini, tipat cantok plus es daluman Warung NEW WOD kayaknya mantap!” potong si pemilik perut.
“Gas! ORDER!”, sahut semua orang.
“Oke! tipat cantok lima, pedas tiga, biasa dua, aes daluman lima, Oke fix! Bayar!”, ucap si Analitis, lalu menutup aplikasi pesan antar makanan online di gawainya. “Sampai mana tadi?”
Mereka kembali melanjutkan percakapan tentang Bintang Kecil sembari menunggu pesanan. [T]
_________________
BACA JUGA:
Menyanyikan “Bagimu Negeri”: Maaf, Kami Lupa Bagian yang Satu itu…