Siapa yang nggak pernah ikut lomba?
Pasti semuanya pernah. Dari berlomba menjadi yang tercepat menggapai sel telur sebagai sel sperma yang bersaing melawan jutaan kompetitor dari pabrikan yang sama; hingga lomba makan kerupuk yang menjengkelkan karena talinya digoyang-goyangin panitia dan akhirnya gregetan terus kerupuknya dipegang dengan tangan.
Dari berlomba-lomba siapa yang menikah duluan, siapa yang isi duluan; hingga lomba akademik dengan tingkatan yang beragam seperti lomba akademik tingkat keluarga, keluarga besar, banjar, desa adat, tingkat galaksi melawan alien yang “wah”, “hebat”, “bergengsi” dan tingkatan yang terakhir “meningkatkan akreditasi” padahal fasilitasnya… ups. hehehe.
Hidup kita tidak pernah lepas dari yang namanya lomba dan gengsi, bahkan manusia yang paling bodoamat pun masih mempunyai harga diri…seperti saya “Masak anak seniman yang dari kecil liat bapaknya gondrong, sekarang malah nggak gondrong mumpung pandemi?” hehehe.
Saking tidak bisa lepasnya dari kedua kata tersebut, hingga pandemi pun masih banyak yang berlomba-lomba apalagi di kalangan mahasiswa dengan embel embel generasi muda yang bertugas merekonstruksi bangsa di kenormalan baru…udah ngantuk ketika kuliah daring, mobilitas terbatas, pusing mikirin skripsi yang standarnya setinggi harapan perempuan bisa menikah sama personil BTS, sekarang ditawari lomba ini itu yang meningkatkan kuantitas uban dan gugurnya rambut di kepala bagian depan hingga tengah…hareudangg hareudangg akhirnya kehidupan sehari-harinya seperti kamera dengan lensa bokeh yang menerima banyak objek dalam satu frame, alias gak fokus! Hihihi.
Padahal kita mahasiswa tidak harus berbuat yang “wah” “hebat” “keren” untuk memperbaiki negara, tidak harus menciptakan vaksin paling mutakhir, alat paling canggih yang bisa dipamerkan di sosial media…hati-hati kepala yang terus dipompa hingga terlalu besar bisa meletus jika dibiarkan! hihihi.
Karena semuanya sudah ada tugasnya dalam merekonstruksi negara, ilmuwan di bidang dan instansinya bertugas mengembangkan vaksin; insinyur, developer, teknisi kondang di bidang dan instansinya bertugas mengembangkan alat paling canggih sejagat raya untuk kenormalan baru, mereka yang dipilih saat pilkades, pileg, pilkada, dan pil pil lainnya (tidak termasuk Pria Idaman Lain ataupaun Perempuan Idaman Lain ya hehehe) sebagai pemangku kebijakan bertugas mengatur strategi menurunkan angka penyebaran virus di kenormalan baru ini, masyarakat juga bertugas mengawasi kinerja pemangku kebijakannya dan mengikuti strategi yang dicanangkan oleh pemangku kebijakan itu.
Lalu mahasiswa tugasnya apa? Buka e-learning pilih mata kuliah yang dituju lalu cek pengumuman tentang tugas kita, bingung mengenai penyelesaian tugasnya? Ya belajar, udah belajar tapi bingung juga? Ya minta penjelasan kepada teman yang lebih mampu, masih bingung juga? Tidur sebentar mungkin kamu lelah, sudah tidur sebentar tapi masih bingung juga? Ya sudah, minta jawaban teman dengan catatan belajar, nggak usah buka e-learning teman untuk mencuri jawaban hihihi.
Selain belajar, mahasiswa juga bertugas mengembangkan berpikir kritis, lalu bersedia terlibat (membantu) ilmuwan, insinyur dan profesi lainnya di masa kenormalan baru, dan menjadi jembatan tambahan antara masyarakat dengan semua yang diatasnya atau dengan kata lain mensosialiasikan dan mengedukasi masyarakat.
Mensosialisasikan dan mengedukasi masyarakat? Pentingkah itu? Bukankah masyarakat sudah bisa buka internet semua? Ya pentinglah, kita ambil saja contoh kasus hoax yang kuantitasnya berbanding lurus dengan pesan singkat “sayang aku kangen” …banyak! hal ini membuktikan bahwa masyarakat yang sudah mendapat akses internet belum tentu dapat mengedukasi dirinya sendiri, oleh karena itu diperlukan gerakan yang gratis, masif, sporadis, dan akurat untuk mengedukasi masyarakat…gerakan itu siapa yang bisa melakukan? Mahasiswa dong.
Mengedukasi masyarakat tidak usah jauh-jauh, minimal di grup whatsapp keluarga masing-masing bebas dari hoax saja udah cukup sebagai langkah awal…selanjutnya bergerak ke keluarga besar, teman-teman 1 circle, pacar / pasangan dan lebih luas lagi. Bayangkan jika hoax dibiarkan begitu saja, ada vaksin A yang benar-benar ampuh malah dituduh membawa penyakit baru lah cetik versi 2021 lah; ada alat B yang benar-benar canggih dituduh bisnis korporat lah…jeg megenep! Lebih baik menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hoax dahulu, nanti ketika saatnya tiba mulailah berinovasi…nyak sing asane to?
Pandemi ini memang memberatkan seluruh lapisan masyarakat. Setiap mahasiswa tidak harus memaksa diri dengan berlomba-lomba membuat alat, atau vaksin atau implementasi teori perkuliahan ini itu yang “wah” untuk membantu akreditasi lembaga dan kesulitan negara. Bagi yang memiliki ide, kemampuan dan kesempatan silahkan berkarya, bagi mahasiswa lain minimal tidak bolos saat perkuliahan daring, sadar untuk menerapkan protokol kesehatan dan memberantas hoax di grup whatsapp keluarga saja sudah cukup membuktikan bahwa kita ini mahasiswa. [T]