Setelah jejak terakhir di tahun 2017, di tahun 2020 ini Parade Teater Muda Bali Utara kembali hadir untuk menyapa kawan-kawan yang mungkin sudah bertanya-tanya ke mana perginya acara antar kelompok teater di Bali Utara tersebut. Setelah vacuum selama dua tahun, kini Parade Teater Muda Bali Utara kembali dibangkitkan oleh Teater Kampus Seribu Jendela dan langsung mendobrak pintu virtual untuk pertama kalinya.
Kondisi pandemi saat ini menjadi moment yang sangat tegang sekaligus penuh pembelajaran, tentu. Karena mungkin ada banyak kelompok atau pegiat seni yang pikiran dan tubuhnya sudah linglung di tengah keterbatasan saat ini lalu bermunculanlah pentas-pentas atau pun diskusi virtual sebagai jembatan penyaluran kreativitas pun kegelisahan yang meronta-ronta dalam kebekuan stay at home.
Sama halnya seperti kelompok-kelompok lain, Teater Kampus Seribu Jendela pun mencoba menjajaki ranah virtual untuk dapat merasakan bagaimana hiruk-pikuk kerja virtual yang mungkin segala pekerjaannya dapat terselesaikan hanya dalam genggaman tangan. Namun yang tidak bisa kita hindari dari kegiatan virtual maupun non-virtual adalah proses dan management. Dalam Parade Teater Muda Bali Utara misalnya, terdapat lima kelompok teater yang berpartisipasi dalam kesempatan ini yaitu Teater Ilalang, Teater Lalang, Teater 9 Pohon, Komunitas Omah Laras, dan Teater Kampus Seribu Jendela sendiri yang tentu melalui proses dan management kegiatan sebelum akhirnya dapat disaksikan dalam layar gadget khalayak.
Dalam parade kali ini, hari perdana tanggal 18 September 2020 lalu dibuka dengan penampilan monolog dari Teater Kampus Seribu Jendela yang membawakan naskah berjudul Episode Daun Kering karya Zulfikri Sasma yang diperankan oleh Satrio Gustiwisnumurti. Episode Daun Kering seakan mewakili kekeringan kabar tentang Parade Teater Muda Bali Utara yang sudah lama tak tersiram oleh kreativitas dan karya-karya dari kelompok teater di Bali Utara. Namun jangan terlalu dianggap serius, itu hanya cocokologi saya saja alias cocok-mencocokan sebagai penonton yang berusaha menerka-nerka sesuatu. Bukankah penonton memang seperti itu?
Alih-alih menerka pentas, saya justru lebih hanyut dalam keruh perasaan tokoh Sarjun yang diperankan oleh Satrio. Dalam pementasan virtual yang berdurasi kurang lebih 15 menit itu, baik cerita, musik, maupun peran aktor sama-sama mampu menguras hati penonton. Saya sendiri merasa seperti masuk ke dalam perasaan aktor. Walau tidak menonton secara langsung dan hanya menatap layar handphone, namun perasaan yang diciptakan aktor sebagai tokoh Sarjun mampu menangkap perasaan penonton untuk turut merasakan kekecewaan dan emosi tokoh sehingga bermunculan berbagai reaksi penonton di kolom komentar saat pentas berlangsung di live instagram.
Senjata makan tuan. Mungkin inilah peribahasa yang tepat untuk cerita Episode Daun Kering yang dibawakan oleh Teater Kampus Seribu Jendela. Naskah ini sebenarnya bercerita tentang kekecewaan Sarjun terhadap ayahnya yang ternyata telah mengelabuinya. Suatu malam Sarjun membuntuti ayahnya untuk buru babi di hutan, namun yang ia dapati adalah kenyataan bahwa selama ini ayahnya menghidupi ia dan juga adiknya, Alpin dari hasil menanam ganja. Dan satu hal lagi yang lebih menampar Sarjun adalah kabar bahwa ternyata adiknya, Alpin ditahan polisi karena terpergok menghisap daun yang ditanam oleh ayahnya sendiri.
Bagian paling menarik dan paling menohok bagi saya adalah ketika Sarjun sengaja menyalakan lintingan ganja atau yang ia sebut daun jahanam itu tepat di depan ayahnya. Ketika memergoki ayahnya di hutan, ia memang sengaja mengambil beberapa helai daun untuk kemudian membuat ayahnya sadar akan apa yang ia perbuat. Kemudian asap lintingan itu sengaja ia hembuskan tepat pada ayahnya.
“Buang! Buang kataku! Aku menanam ganja-ganja itu bukan untuk anak-anakku. Melainkan untuk anak-anak orang lain. Aku hanya butuh uang untuk-anak-anakku!”
“Hmmm, aku bangga jadi anak orang yang tidak memikirkan anak-anak orang lain. Aku bangga! Aku bangga Pa!”
Dialog antara ayah dan Sarjun tersebut menjadi klimaks di mana emosi tokoh pecah, namun kemungkinan lainnya klimaks tersebut tidak akan sampai kepada penonton apabila aktor tidak mampu membawakannya dengan tepat dan porsi puncak kemarahan yang pas. Hal ini rupanya menjadi bagian yang sangat diperhatikan oleh Teater Kampus Seribu Jendela. Sebagai aktor, Satrio mampu menyampaikan perasaan betapa kecewanya tokoh Sarjun. Terlihat dari begitu banyaknya helaan nafas yang dalam, suara gemetar bercampur sedih dan marah, juga ekspresi geram dan mata lembab aktor yang seolah berusaha menahan pedih kenyataan yang menyerbunya bertubi-tubi.
Sebagai mata penonton, hal lain yang menarik adalah permainan lampu yang dilakukan seolah menjadi pembeda suasana di mana saat terjadi dialog antara Sarjun dan ayahnya, lampu akan berubah menjadi warna hijau. Kemudian pada adegan Sarjun bermonolog, lampu berubah menjadi merah dan hampir konsisten seperti itu. Saya katakan hampir karena lampu yang dimainkan juga cukup beraneka warna seperti warna biru yang sesekali muncul bergantian dengan kuning. Setting panggung pun di drop dengan kain hitam yang semakin membendung suasana kemalangan nasib Sarjun dan sebuah bangku panjang di tengah. Panggung yang sangat sederhana dengan dekorasi kejutan-kejutan emosi yang diberikan oleh aktor.
Jika ditelisik dari awal adegan hingga akhir, naskah ini sepertinya memang sangat emosional. Di mana sepanjang pentas terlihat emosi naik turun yang dimainkan oleh aktor. Sejak awal adegan, aktor sudah memasuki panggung dengan bekal perasaan kecewa dan berjalan lesu seolah ingin memberitahu bahwa ia sedang tidak baik-baik saja. Dan benar saja, mulai pertengahan cerita, begitu banyak kejutan-kejutan kejadian dan didihan perasaan yang meletup-letup. Sampai di akhir cerita, tokoh Sarjun memasrahkan nasibnya dan percaya pada skenario tuhan lalu berjalan meninggalkan panggung dengan beban yang jauh lebih berat.
Huh… menyaksikan pentas ini sungguh membuat hati saya larung bersama perasaan tokoh Sarjun, sebab perasaan yang dibentuk aktor dan ekspresi yang dimainkannya memang cukup kuat menarik mata dan perasaan saya sebagai penonton. Mewujudkan perasaan tokoh memanglah hal yang sangat sulit, namun hal ini rupanya menjadi fokus dominan yang ingin ditampilkan oleh aktor. Sebagai persembahan awal dari rangkaian Parade Teater Muda Bali Utara yang dilaksanakan selama 6 hari berturut-turut tersebut, tentu pementasan ini telah berhasil memikat hati penonton sejak pandangan pertama dan menumbuhkan rasa penasaran tentang pementasan hari-hari selanjutnya.