- Judul Buku: Rock Alternatif di Telinga Kirimu
- Penulis: Kim Al Ghozali AM
- Penerbit: Pelangi Sastra
- ISBN: 978-623-7283-55-3
- Jumlah Halaman: 91
Seni adalah individualisme, dan induvidualisme adalah kekuatan yang mengganggu dan memecah belah.
Pada kesempatan musim panas ini. Juga di antara hari yang longgar; terlepas dari kesibukan-kesibukan yang tak pernah selesai dimiliki umat manusia. Saya menarik sebuah buku kumpulan puisi Kim Al Ghozali AM dari dalam rak buku yang berada di pojok kamar kos. Buku itu baru terbit sekitar beberapa bulan yang lalu, tepatnya pada Juni 2020. Di dalam buku itu, terkumpul 50 buah puisi dengan tema yang beragam: perjalanan, cinta, sosial, sejarah, dan lain-lain. Untuk memberi sambutan terhadap kelahiran buku tersebut, saya membuatkan sebuah tulisan atau semacam ulasan khusus ini; sebagai hadiah yang datang dari seorang pembaca. Dan di dalamnya, saya meminjam pernyataan hebat Oscar Wilde [sastrawan yang berasal dari Dublin, Irlandia]. Saya memosisikan pernyataan itu di kepala tulisan ini. Hal itu dilakukan bukan semata-mata untuk memperkuat dan menambah daya dobrak tulisan yang sedang saya siapkan. Tetapi, karena saya rasa pernyataan itu memang cukup relevan jika digunakan atau difungsikan sebagai alat untuk membongkar keliaran dan ketersembunyian arti-makna sejumlah puisi yang terkumpul di dalam buku berjudul “Rock Alternatif di Telinga Kirimu”. Yang dimaksud Wilde sebagai ‘kekuatan yang mengganggu dan memecah belah’ benar-benar hadir di dalam buku itu. Bahkan bisa dikatakan menjadi semacam roh yang hidup pada setiap tubuh puisi yang ada di dalamnya.
Ketika perlahan memulai membaca puisi demi puisi yang terkumpul di situ, maka sejak saat itu juga; harus siap untuk menerima segala macam gangguan yang akan datang. Gangguan yang bangkit secara reflektif dan berpusat di dalam ruang imajinatif. Setiap puisi di dalam buku itu; hanya menampakkan bahasa. Bahasa yang seolah hanya bermain dan mengumpulkan berbagai macam bentuk-bentuk linguistik. Tidak bertujuan menawarkan sesuatu di luar bahasa itu sendiri. Dengan demikian, sesudah membaca keseluruhan puisi yang ada di dalam buku tersebut, saya menganggap diri sedang tersesat di dalam ruang ‘bahasa yang gelap’. Ketersesatan itu adalah wujud ketidakmampuan saya untuk menemukan jalan menuju arti-makna yang berada di tempat paling sembunyi. Sehingga dapat menyebabkan kegagalan menghasilkan kesimpulan untuk membongkar sesuatu yang ada di dalamnya. Hal itu terjadi karena banyaknya jalan yang justru tersedia: jalan yang tak punya identitas dan terbangun oleh kata. Yang menjadi penyebab kesulitan untuk membedakan mana jalan untuk masuk dan mana yang jalan untuk ke luar. Seandainya jalan tersebut memiliki identitas yang jelas, mungkin akan sangat mudah untuk bisa mengenalinya: “Ini adalah jalan untuk masuk. Sedangkan Itu adalah jalan untuk ke luar”. Dengan begitu, seseorang [pembaca] akan memiliki kemudahan untuk bisa memahami dan mengerti arti-makna yang tersembunyi atau yang disembunyikan.
Namun saya rasa Kim sengaja tidak melakukan itu. Dia hanya berfokus untuk memperketat pemilihan bahasa dan menempatkan pada posisi yang paling strategis. Dan tentu juga, yang tetap mempertahankan adanya suatu nilai artistik. Meskipun akhirnya demikian; puisi yang terbangun dan tercipta dari tangannya, menjadi dasar tumbuhnya berbagai pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang menghantui pikiran orang-orang yang pernah bersentuhan. Dia tampaknya sengaja menanamkan dasar-benih pertanyaan itu ke dalam setiap puisinya. Sekalipun dia tidak pernah punya keinginan untuk menyediakan suatu jawaban. Hal ini semacam menujukkan kelihaiannya di dalam membuat perangkap permainan yang sedang dia kendalikan. Bahkan seseorang yang telah terperangkap ke dalam pengendaliannya melalui medium-permainan puisi, akan dibuatnya gelisah. Semacam dihantui oleh bahasa pertanyaan. Tentu ketika seseorang telah berada pada posisi atau kondisi tersebut; satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah dengan cara mencari jawaban atas semua pertanyaan itu, secara mandiri. Pengambilan konsep ini menurut saya sangat menarik. Karena dengan demikian, pikiran seseorang [yang membaca] akan dibuat selalu aktif bekerja. Memikirkan jawaban atas pertanyaan yang bermunculan, sesudah membaca satu demi satu puisinya. Saya rasa dan meyakini, bahwa selain soal kontroversi yang sangat radikal di dalam tulisan, hal ini juga menjadi salah satu maksud dari pernyataan Wilde di atas. Yang menyatakan sebagai kekuatan yang mengganggu dan memecah belah.
Kim, benar-benar memperhitungkan terkait penempatan bahasa atau kata-kata yang menjadi bahan pokok pembangun puisinya. Menempatkan pada posisi terkhusus dan tertepat. Meskipun setiap kata yang telah ditempatkannya, seolah tidak memiliki nilai lebih selain berprofesi sebagai kata. Kata yang tidak terbeban dengan arti-makna. Yang harus tersampaikan secara utuh kepada pembaca [maupun pendengar]. Maksud-maksud tertentu yang mendasari penciptaan setiap puisinya, disimpan di tempat yang begitu rahasia, yaitu dirinya sendiri. Sedangkan yang tampak secara visual pada setiap puisinya; hanyalah kumpulan dari berbagai macam kode atau kata kunci untuk bisa membuka dan memasuki tempat rahasia yang sedang disembunyikannya. Hal ini yang sulit untuk dipecahkan. Sebab, meski telah dibaca berulang-ulang; puisi di dalam buku karangannya; tetap mendatangkan pertanyaan, bukan justru mendatangkan jawaban.
Kepelikan membaca dan memaknai puisi-puisi Kim di dalam buku “Rock Alternatif di Telinga Kirimu”, sebenarnya juga dirasakan oleh Kiki Sulistyo [sastrawan yang berasal dari Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat]. Dia menyampaikan melalui kata pengantar yang dibuatnya: “Sejak awal, aku tahu tidak akan mudah membacanya, lebih tidak mudah lagi untuk mencari pintu masuk ke dalamnya. Pintu yang bukan membawa pada makna-makna, melainkan mengantarkan pada situasi tertentu, di mana secara ajaib akan terbit kegelisahan, kesyahduan, kemarahan, atau ketakjuban. Kesulitan itu bukan karena tidak ada pintu yang terlihat, tetapi justru karena banyaknya pintu yang tersedia.” Kemudian dari keseluruhan pernyataannya di dalam kata pengantar itu, dia tersorot pada beberapa puisi [di dalam buku tersebut], seperti: (“Sebelum Penciptaan” hlm. 1), (“Mimpi” hlm. 4), (“Resonansi Pabrik dalam Tempo Presto” hlm. 11), (“Jakarta dalam Imperium Waktu” hlm. 71), dan (“Setelah Penciptaan” hlm. 87). Mungkin menurut pandangannya ke-4 puisi itu adalah puisi-puisi yang paling menjadi pilar terkuat atau yang paling membuat dirinya takjup dibandingkan ke-46 puisi lain; yang juga terkumpul di dalam buku tersebut. Tentu juga, Kiki sudah memiliki tafsir tersendiri di dalam mendeskripsikan arti-makna ke-4 puisi pilihannya. Meski sebenarnya dia tahu dan menyadari, bahwa tafsir yang dibuatnya belum tentu benar.
Hal semacam ini bukan hanya berlaku kepada Kiki, tetapi juga kepada penafsir-penafsir yang lain. Karena puisi-puisi Kim di dalam buku terbarunya itu memang sangat tertutup; di dalam menggambarkan: wacana, peristiwa, atau yang lainnya. Sehingga selalu memunculkan keraguan bagi si penafsir. Dengan demikian, mungkin suatu saat akan ada suatu anggapan penilaian yang berasumsi seperti ini: “Barangkali di dalam puisi-puisi Kim itu tidaklah terdapat apa-apa kecuali kekosongan yang disampaikan lewat penataan bahasa yang begitu rapi?!” Jika ternyata terbukti hal itu terjadi, maka Kim berhasil menjadikan puisi-puisi di dalam buku terbarunya; sebagai suatu seni tulis yang mengganggu dan merangsang dunia alam pikir seseorang agar tetap terbuka untuk melakukan penyelidikan dan pengetahuan lanjutan; dengan cara tidak memberikan kepastian, tetapi memperbanyak munculnya keraguan.
Kembali membahas mengenai Kiki Sulityo. Dia terseret pandangannya sekaligus pemikirannya terhadap ke-4 puisi yang telah disebut di atas. Sedangkan saya sendiri tersorot pada beberapa puisi; yang berbeda dengan dirinya. Terkecuali pada puisi-epik berjudul (“Resonansi Pabrik dalam Tempo Presto” hlm 11-21). Di dalam pilihan atau sorotan khusus pada puisi itu, saya memiliki kesamaan dengannya. Sebab puisi itu benar-benar membuat saya takjub. Mungkin karena pada baris ke-96 sampai ke-104 sedikit memberi celah [cukup longgar] terkait gambaran peristiwa yang ada di dalamnya: satu ruang dengan kaca tembus bayang/ penanggalan di atas meja/ perempuan seorang/ dengan masker pada wajahnya/ menyisakan kecantikan/ pada hitam mata: mata yang melawan/ lapis panas dan udara dengan sisik/ bara// ia memanggil nama-nama/ hampir tak terdengar/ gaduh dan rusuh huler menelan merdu suaranya//; dan juga pada baris ke-168 sampai ke-173: kami masih mencengkram setiap lapisan/ cakram yang tak henti meluncur dari rahim diesel/ buatan Rudolf dan Charles F. Kattering/ meniup roh ke setiap bayi mungil dan cantik/ memberi nama/ menghangatkannya/ dalam tungku perak//. Dari keutuhan puisi-epik yang berjumlah 256 baris tersebut, saya menafsir, bahwa sesuatu yang menjadi pokok pembahasan di dalamya adalah terkait hidup kaum pekerja; khususnya buruh pabrik. Yang kehidupan mereka sangat berdekatan dengan sejumlah mesin. Selain itu, Kim juga membahas tentang pola hidup mereka yang setiap hari hanya berjalan begitu-begitu saja. Dia menyampaikanya pada baris ke-61 dan ke-62: kemudian waktu berganti/ layar berganti/ adegan masih serupa//.
Selain puisi-epik “Resonansi Pabrik dalam Tempo Presto”, saya juga menyorot puisi yang berjudul (“Hanya Batu” hlm 30). Sebab memiliki kesamaan pembahasan, yaitu tentang kaum pekerja. Dengan hal itu, saya rasa, Kim sangat prihatin dan menaruh simpati yang tinggi terhadap kaum pekerja. Mungkin karena mereka setiap hari hanya disibukkan dengan aktivitas bekerja. Sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk bersantai dan menikmati hidup dengan penuh suka cita. Tentu yang dimaksudkan atau yang disinggung olehnya bukanlah para pekerja yang bekerja atas kuasa dirinya sendiri. Tetapi mereka, para pekerja yang kehilangan kuasa pribadinya demi mengabdi pada orang lain, orang yang mengendalikan, dan menciptakan suatu lapangan kerja. Atau yang biasa disebut sebagai ‘BOS’.
Dia memiliki anggapan bahwa nasib manusia atau kaum pekerja itu tidaklah seperti batu yang sepanjang hari menghabiskan waktu untuk tidur. Sedangkan manusia atau kaum pekerja yang dia dimaksud; seolah telah kehilangan seluruh waktunya, karena mereka telah dipenjara di dalam tahanan yang berwujud pekerjaan. Namun demikian, dia juga menyadari, bahwa hal itu dilakukan oleh mereka; semata-mata demi bertahan hidup. Terkait hal itu, dia menyampaikan melalui baris-baris terakhirnya: hanya batu selalu tidur saat/ semua terjaga/ hanya batu setia/ pada nyenyak tanpa makna/ di kota/ di mana kerja dan gerak/ sebagai upaya melawan kematian/ dan hari-hari adalah/ jeruji penjara yang tak disadari//.
Berikutnya, puisi berjudul (“Apa Yang Kau Tunggu” hlm 31). Pada puisi itu, Kim tampaknya sedang menaruh perhatian lebih pada hal-hal yang terjadi di dalam lingkungan sosial [mengkhusus pada sosial-politik]. Melalui puisinya, dia melempar kritik terhadap kejadian-kejadian sosial yang semakin banyak terjadi. Tergambar pada baris ke-13 sampai ke-21: dan suatu tempat/ di negeri malam/ iklan pucat menawarkan sabda/ pidato politisi jadi nina bobo paling setia/ mengalun dari bawah jendela/ rumah orang-orang miskin dan sengsara// mengapa masih diam/ pacu kencang/ kuda apimu/ berlarilah menuju ke sana// mereka selalu memanggilmu/ dari balik guyur dusta dan hujan peluru//. Dia mencoba menyuarakan terkait nasib orang-orang miskin yang tak berdaya. Yang sedang merasakan kesengsaraan: di dalam melawan situasi yang ada. Orang-orang seperti mereka, menurutnya, lebih baik menjauh dari lingkaran setan para politisi. Sebab jika mereka mendekat juga tidak akan bisa berbuat apa-apa. Justru yang memungkinkan terjadi; mereka diperalat untuk kepentingan-kepentingan yang sebenarnya tidak berpihak kepada kaum mereka. Kalaupun seandainya ingin bertindak, seperti melakukan pemberontakan; dengan dasar untuk melawan kedustaan yang telah dilakukan para politisi. Hal tersebut juga belum tentu menghasilkan suatu solusi yang bisa memperbaiki nasib mereka. Justru malah bisa menjadi petaka. Sebab, jika para politisi itu merasa dirinya atau kedudukannya terancam, mereka tidak segan-segan untuk melakukan tindakan-tindakan represif.
Lalu, untuk yang terakhir, yaitu puisi berjudul (“Dengung Bingung” hlm 34-35). Puisi itu, tampaknya memiliki kesamaan pembahasan seperti yang ada pada puisi “Apa Yang Kau Tunggu” yang disebut di atas. Sama-sama bertujuan melempar kritik terhadap masalah yang berhubungan dengan hal sosial [mengkhusus pada sosial-ekologi]. Terlihat dari gambaran yang disampaikan melalui baris ke-17 sampai ke-21: kita manusia terusir dari/ tanah moyang terberkati/ dada sesak hutan terbakar/ hidung panas aroma batubara/ dan duka telah bangkit. Hal itu adalah representasi Kim terhadap insiden-insiden yang menyangkut tentang perampasan-perampasan tanah. Juga terhadap alih fungsi hutan yang semakin banyak terjadi. Untuk dijadikan tambang-perusahaan demi kepentingan-kepentingan para pemodal. Sehingga masyarakat yang sebelumnya telah menempati wilayah tersebut, kemudian menjadi terusir. Hanya karena di area tanah itu terdapat benda yang bisa dijadikan sebagai bisnis, yaitu batu bara. Yang besar kemungkinan, masyarakat setempat tidak mendapat limpahan keuntungan dari bisnis tersebut. Mereka hanya bisa menyaksikan ketika sejumlah alat berat merusak tanah di sekitar tempat tinggal mereka. Padahal wilayah itu adalah milik mereka. Warisan dari para leluhurnya.
Atas semua yang terjadi, Kim menaruh keyakinan dan harapan kepada para ahli seni, supaya bisa menyelamatkan nasib mereka, atau setidaknya menyuarakan kesedihan mereka ke dalam karya seni: suara menempel di dinding/ kota/ bersama grafiti tua/ kata-kata tak bertuan// mereka berbiak di sana// mereka berbiak di sana/ kelak akan memangsa segala//. Dia meyakini bahwa suatu saat ketika para ahli seni sudah merangkul semua kesedihan mereka, orang-orang tersakiti, yang disebutnya sebagai, manusia terusir dari/ tanah terberkati. Maka sangat memungkinkan suatu saat; akan ada masa kejayaan yang berpihak pada mereka. Ketika semua orang pencinta dan penikmat seni berhasil terevokasi. Sehingga satu per satu menjadi sadar; bahwa masih ada masyarakat yang mengalami penderitaan; di tengah hidup mewah para pebisnis. Saya rasa, yang muncul dibenaknya saat menulis puisi itu adalah harapan: ketika orang-orang berkumpul dengan satu tujuan, memangsa segala; yang menjadi penyebab ketidakterselesaian penderitaan di masyarakat. Dan, saya sendiri ketika membaca puisi itu, seakan terangsang untuk mengepal tangan dan berkata: AYO LAWAN!
Itulah ke-4 puisi yang paling menjadi fokus perhatian saya; dari segi pembahasannya. Yang memiliki kaitan cukup erat dan dekat dengan realitas hidup manusia. Puisi berjudul “Resonansi Pabrik dalam Tempo Presto” dan “Hanya Batu” memuat pembahasan yang terfokus untuk membicarakan kaum pekerja. Sedangkan puisi berjudul “Apa Yang Kau Tunggu” dan “Dengun Bingung” memuat pembahasan yang terfokus untuk membicarakan nasib masyarakat. Namun demikian, semua tafsir di dalam tulisan ini hanyalah bersifat subjektif pribadi. Bukan hal yang absolut! Penafsiran ini juga berangkat dari kode atau kata kunci yang dirasa cukup longgar di dalam menyimpan sesuatu yang ada di dalam puisi Kim, dibandingan kode atau kata kunci yang terdapat pada ke-46 puisi yang lain. Yang juga terkumpul di dalam buku puisi “Rock Alternatif di Telinga Kirimu”. Sehingga membuat saya tidak bisa untuk menghakimi dan menjebloskan ke dalam suatu narasi tafsir.
Bali, 2020