Bulan Juli adalah waktu yang dipilih Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono untuk kembali kepada kesunyian. Beliau wafat pada Minggu, 19 Juli 2020, pukul 09.17 WIB di Eka Hospital BSD, Tanggerang Selatan. Semesta memanggil Sang Maestro Puisi.
Cintanya pada puisi berhasil mengajak orang larut dalam puisi-puisinya. Sapardi telah menginspirasi banyak anak-anak muda untuk berkarya. Hujan di Bulan Juni, Aku Ingin, Pada Suatu Hari Nanti, adalah puisi-puisi Sapardi yang paling populer dan menyentuh batin. Terlebih saat dijadikan musikalisasi puisi oleh Ari Reda.
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Begitulah puisi yang menjadi bacaan wajib para penyair pemula, atau bagi para insan yang kasmaran. Hari ini, beberapa puisinya yang berjudul Pada Suatu Hari Nanti marak di media sosial. Para pegiat seni seakan kompak mengantarkan Beliau dengan puisi ini.
Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati,
pada suatu hari nanti,
impianku pun tak dikenal lagi,
namun di sela-sela huruf sajak ini,
kau tak akan letih-letihnya kucari
Puisi-puisi Beliau juga dirayakan pada tahun 2015 oleh Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Undiksha. Festival Sastra kala itu mengusung tema Sapardi Djoko Damono. Karya-karya beliau mulia dari puisi, cerpen, hingga novel dijadikan materi diskusi mulai dari riwayat kepenyairan, kekhasan karya, dan digubah menjadi pementasan. Tentu jika membicarakan karakteristik puisi, Sapardi sudah mencapai puncaknya. Dalam kumpulan buku puisi Sapardi bertajuk DukaMu Abadi (2012), Jeihan menulis
puncak seni :puisi
puncak puisi; filsafat
puncak filsafat; sufi –
Sapardi telah sampai
di wilayah ini
Sapardi pun sudah sampai di puncak takdirnya. Sungguh bernilai bila kita berpuisi sebagai mantra pengantar kepergian. Pilihlah puisi favoritmu. Saya yakin, masing-masing kita pasti mempunyai puisi favorit dari Sapardi . Hingga kini, Mata Pisau masih menjadi unggulan saya.
Mata Pisau
mata pisau itu tak berkejap menatapmu:
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu.
Perjumpaan saya pertama kali dengan beliau pada tahun 2013. Kala itu, beliau menjadi pembicara di Bali Emerging Writers Festival. “Kalau ada yang ingin menjiplak puisi saya, atau ada yang meniru cara saya menulis, silakan, toh nanti mereka bosan sendiri. Itu sebuah proses,” tuturnya menjawab pertanyaan moderator. Beliau menambahkan “Karena bagi saya, sajak yang terbaik adalah sajak yang belum ditulis,” kata penyair bertopi pet itu. Gaya busana Sapardi kala itu sangat sederhana dengan topi pet hitam, kemeja biru, dan jam tangan hitam. Ia nampak nyaman dengan busana casual hingga membuatnya senang melayani penggemar yang meminta tanda tangan.
Di awal tahun 2020, sempat terjadi pergunjingan, saat Sapardi turut melakukan gerakan populer dengan media Tiktok. Beberapa kelompok menghujatnya, mengatakan bahwa Sapardi sebagai seorang penyair senior tidak perlu turun kasta mengikuti budaya pop. Mungkin para penghujat ini juga lupa, bahwa dulu semasih mahasiswa, Sapardi juga sebagai gitaris pop pada masa kuliahnya. Tak lupa pula, saya mengingat resep awet muda ala Sapardi “Perbanyak bergaul dengan anak-anak muda, itu yang membuat saya tetap semangat berkarya dan tetap muda”.
Berkat keluesan Sapardi, puisi-puisi beliau kerap dijadikan musikalisasi puisi oleh anak-anak muda yang kala itu berkuliah di UI. Pada saat itulah, puisi-puisinya menjadi populer bahkan hingga kini masih melekat di hati penikmatnya. Baginya, puisi harus mengalami alih wahana. Dalam buku Alih Wahana (2012) Sapardi menjelaskan bahwa puisi adalah bunyi. Maka, jika puisi dikembalikan menjadi bunyi, tentu akan lebih bermakna. Namun, bila puisi hanya disimpan di buku, tidak ada yang membacanya. Di beberapa wawancara Sapardi juga kerap mengatakan bahwa “Bahasa cepat berubah, cepat bergerak, dan kita rekam dalam sastra.”
Sapardi membuktikan bahawa di usia berpapun, tak ada alasan untuk tak berkarya. Terbukti di umur 78 tahun, Sapardi dianugerahi Life Time Achievement oleh UWRF pada tahun 2018. Hingga kini, kita dapat menikmati karya teranyar Sapardi yakni Menghardik Gerimis (2019) “Aku mencintai hujan sebab kalau jatuh bilang terus terang dan jelas suaranya, tidak membiarkan aku terpeleset.”
Mungkin kita akan merindukan karya-karya Beliau. Kita rindu pesan-pesan Beliau agar penyair muda lebih bernas berkarya. Sapardi telah membuktikan bahwa sastra adalah jalan hidupnya. Sastra sebagai tujuan hidupnya. Bahkan sampai di ujung waktu, karyanya tetap menyala. Suatu hari nanti, karyanya dirayakan. Selamat jalan, Eyang. [T]