Bak “Buta tumben kedat” (orang buta tumben melihat), peribahasa Bali ini bisa menjadi pembuka dari cerita singkat saya berkenalan dengan dunia perkopian.
Kopi memang menjadi hal yang biasa bagi saya selama ini, terang sahaja karena saya menganggap bahwa kopi itu minuman yang menjadi bagian dari ritual sebangun tidur, warnanya hitam pekat dan rasanya pahit, pengetahuan yang dangkal sekali, suka tidak suka harus saya akui.
Tuang dan terus tuang, kedangkalan itu perlahan mulai terisi manakala saya berkesempatan untuk berkunjung ke kawasan Desa Tigawasa, saya melihat hamparan perkebunan kopi disertai laku kehidupan masyarakat pedesaan Bali yang terkenal dengan keramahannya, senyum sumringah terpancar ketika kami berpapasan dengan masyarakat lainnya, ini kenapa saya teringat kepada sahabat saya dari “Dura Negara”, bahwa senyum keramahan masyarakat pedesaan di Bali adalah daya tarik kenapa dia selalu berkunjung ke Bali.
Komang Wirawan, beliaulah pemandu saya saat itu, beliau sebenarnya tidak suka publikasi, tapi sejarah perlulah ditulis dengan sebenarnya, bukan untuk siapa-siapa, tapi kali sahaja suatu saat nanti anak saya besar dan membaca tulisan ini, maka mereka akan paham bahwa saya memiliki sahabat yang selalu rela membagi waktu kepada ayahnya, ikhlas dalam memberikan pengetahuan kepada saya yang bukan siapa-siapa. “Jani ke ajak melali ke umah timpal Pak Wan, mudah-mudahan ade ye”, kira-kira itu kalimat singkat yang beliau ucapkan, ketika beliau meminta saya meminggirkan kendaraan ke sebelah kanan jalan raya.
Saya yang saat itu ditemani oleh dua orang sahabat, Gede Ganesha (Founder Bank Sampah Galang Panji) dan Gede Praja (Inisiator Sahabat Bumi) berkesempatan berkunjung ke Kejapa Kopi dan Bambu di kawasan Desa Tigawasa, begitu kami memasuki rumah tersebut, sudah tercium aroma pembakaran biji kopi, nikmat sekali.
Kami disapa oleh istri dari Gede Widarma, pemilik destinasi wisata Kejapa Kopi dan Bambu, kami tidak berkesempatan bertemu Pak Gede, karena beliau sedang dalam kondisi tidak enak badan. Pembicaraan singkat, lantas langkah saya seolah-olah terdorong oleh aroma pembakaran kopi yang tercium kuat dan semakin kuat, saya meminta ijin kepada yang empunya untuk bisa melihat proses pembakaran tersebut, kedua teman saya Ganesha dan Praja mengikuti saya, dan kami akhirnya sampai pada sebuah gubuk, tempat dimana Ketut Suardika mengolah biji kopi sampai kopi itu menjadi butiran halus yang kelak akan tersaji di meja para penikmatnya.
Pak Tut sangat gigih, kepulan asap kayu kopi sisa pembakaran mengepul di ruangan kecil itu lantas membumbung tinggi ke udara, tersapu oleh desiran angin yang menerbangkan aroma itu untuk masuk ke ruang-ruang indera penciuman bagi mereka yang melintasi di jalanan pedesaan kala itu.
Saya menghampiri beliau dengan pertanyaan yang tersimpan di kepala, bak pemburu berita yang sedang berusaha mengabadikan peristiwa penting dan bersejarah, saya mangajukan pertanyaan singkat kepada Pak Ketut “Kopi jenis apa ne Pak?”
“Kopi Bali Pak, robusta kone anake nyambatang!” beliau menjawab.
Lantas saya bertanya lagi “ane awai kuda maan ngenyanyah kopi, Pak? (Sehari seberapa bisa sangria)”
“Awai pang lima, Pak, baatne delapan belas kilo ane agilingan (Sehari lima kali, berat delapan belas kilo satu kali giling).”
Itulah petikan percakapan singkat kami, jika dialih bahasakan ke Bahasa Indonesia dapat diartikan, bahwa jenis kopi yang dibakar itu adalah robusta dan beliau mengerjakan setiap hari sekitar sembilan puluh kilogram biji kopi setiap hari. Proses kopi ini semi tradisional, itu karena sudah ada sentuhan teknologi dalam prosesnya, misalkan alat pemutar sangrai yang sudah menggunakan dinamo dan proses penghalusan yang sudah menggunakan tenaga mesin, hanya sahaja pembakarannya masih menggunakan kayu bakar dan proses lainnya yang tetap menggunakan tenaga masyarakat sekitar.
Diperlukan waktu sekitar satu jam dua puluh menit untuk bisa menghasilkan kualitas kopi yang bagus dengan kategori “dark” itu istilah yang saya dapatkan dari Pak Putu Ardana, nanti saya ceritakan lebih spesifik lagi tentang beliau dan sensasi menikmati “Blue Tamblingan Cofee” yang pernah terjual dengan harga fantastis sekitar sebelas juta perkilo.
Sehabis itu Pak Ketut mempersilahkan saya untuk melihat-lihat areal di sekitarnya, disana ada kebun cengkeh yang ditanami vanili dibagian bawahnya, berbagai macam jenis tanaman pangan lainnya, mirip sekali dengan Lumbung Pangan Keluarga yang saya miliki di Rumah. Memang tempat ini ditata dengan sangat baik, menurut bocoran dari Pak Wan panggilan akrab Komang Wirawan bahwa tempat ini rutin dikunjungi puluhan wisatawan dari berbagai penjuru dunia, mereka konon katanya sangat senang berada di kawasan pedesaan yang masih sangat asri dan asli, kehidupan masyarakat Bali yang begitu alami dengan laku kesehariannya. Jika ditelisik lebih dalam lagi, memang beralasan, parwisata itu adalah bonus dari laku keseharian masyarakat, itu sebabnya Bali berbeda dari daerah lainnya.
Waktu berlalu begitu cepat, lantas kami memutuskan untuk undur diri untuk melanjutkan perjalanan menuju Wanagiri, disana kami akan melihat lebih dekat lagi aktifitas masyarakat dalam berkebun kopi. Tidak lupa, sebelum pergi saya memesan kopi beberapa bungkus sebagai bentuk dukungan kami kepada geliat ekonomi kerakyatan yang menjadi kebiasaan kami di Koperasi Pangan Bali Utara. [T]