Pandemi Covid-19 membuat teori herd immunity banyak didiskusikan oleh akademisi medis juga non-medis, disebarluaskan oleh jurnalis dan medianya, kemudian dikonsumsi oleh warganet sembari mengisi waktu senggangnya kala #dirumahsaja.
Saking hebohnya, bapak saya sampai bertanya apa itu herd immunity; apakah benar konsep itu menegaskan sikap abai pemerintah terhadap warga negaranya. Lewat sambungan telepon, beliau juga melontarkan istilah trendi seperti new normal dan R0 (beliau menyebutnya r-nol, bukan r-nought). Bapak tidak memiliki latar belakang bidang kesehatan, hanya menghabiskan banyak waktu luangnya untuk scrolling aplikasi Facebook, membaca pesan terusan grup Whatsapp, atau kadang menonton Youtube.
Sependek pengetahuan saya, herd immunity terdiri dari dua kata yakni: herd (komunitas), dan immunity (daya tahan). Herd immunity menjelaskan bahwa angka penularan suatu penyakit dapat ditekan serendah-rendahnya apabila sejumlah anggota komunitas telah memiliki daya tahan terhadap penyakit yang dimaksudkan. Kata kuncinya adalah persentase daya tahan anggota komunitas.
Berapa banyak jumlah anggota komunitas yang diperlukan?. Tergantung seberapa tinggi angka penularan penyakit (R0) yang dimaksudkan. Formula untuk menghitung ambang batas persentase herd immunity (H) adalah sebagai berikut:
Ambil contoh Covid-19. Rangkuman beberapa penelitian internasional menyebutkan bahwa rata-rata nilai R0 Covid-19 adalah 3.28. Untuk lebih memudahkan ilustrasi, anggaplah nilai R0 Covid-19 adalah 3. Artinya, tiap satu orang pasien Covid-19 dapat menulari tiga orang lainnya. Jika kita memasukan nilai 3 sebagai R0, maka nilai (H) menjadi 2/3 atau 67%.
Interpretasi dari hasil tersebut adalah: konsep herd immunity akan tercapai apabila dua pertiga masyarakat telah memiliki daya tahan terhadap Covid-19. Perlu dicatat bahwasannya saya bukanlah pakar statistika atau ahli kesehatan masyarakat, hanya lulusan dokter umum sahaja. Besar harapan saya artikel ini akan dibaca dan dikoreksi oleh para cendekiawan terkait.
Kemudian, mari kita kaitkan pada realita dan diskursus publik: apakah kebijakan new normal adalah salah satu implementasi herd immunity?.
Mengutip dari laman Kompas (https://www.kompas.com/tren/read/2020/05/27/193200965/infografik–panduan-protokol-kesehatan-pencegahan-covid-19-untuk-sambut-new), secara harfiah new normal dapat dijelaskan sebagai perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal namun ditambah menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19.
Meski ditambahkan embel-embel “guna mencegah terjadinya penularan Covid-19”, membiarkan masyarakat beraktivitas normal tentu saja memperbesar risiko penularannya jika dibandingkan dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dengan kata lain, new normal berpotensi meningkatkan kasus infeksi SARS-CoV-2 pada masyarakat.
Beberapa opini dari akademisi menyiratkan penerapan new normal sebagai herd immunity. Meningkatnya kasus infeksi SARS-CoV-2 berarti meningkatnya persentase masyarakat yang akan memiliki daya tahan setelah terinfeksi virus tersebut. Ini adalah pendapat netral, dan jamak digaungkan oleh akun-akun tenaga kesehatan yang aktif di media sosial.
Lain halnya dengan pandangan para partisan politik. Bagi kaum pemuja pemerintah, new normal adalah keniscayaan. Penerapannya akan menimbulkan herd immunity bagi masyarakat yang telah terinfeksi. Mereka juga menambahkan bahwa new normal adalah kebijakan untuk berdamai dengan SARS-CoV-2, demi menyelamatkan ekonomi masyarakat.
Di sisi lain, gembar-gembor para oposan yang mengartikan new normal sebagai new abnormal karena mengindikasikan sikap abai pemerintah terhadap kesehatan warga negaranya. Bagi kelompok oposisi, new abnormal adalah sebuah kenistaan. Meskipun herd immunity dapat tercapai, akan banyak masyarakat Indonesia yang mengidap Covid-19, sebagian kecil diantaranya bisa saja meninggal dunia. Ekonomi bisa dipulihkan secara perlahan, tetapi orang yang sudah meninggal tidak bisa dihidupkan kembali dengan cara apapun.
Benarkah new normal adalah herd immunity?.
Frase herd immunity pertama kali tercantum dalam publikasi W.W.C Topley dan G.S Wilson tahun 1923 yang berjudul The Spread of Bacterial Infection: the Problem of Herd-Immunity. Topley dan Wilson meneliti tentang penyebaran infeksi dan angka kematian pada mencit yang terpapar bakteri Bacillus enteritidis. Jenis bakteri ini dilaporkan beberapa kali mengontaminasi bahan makanan pada awal abad ke-20.
Topley dan Wilson membagi mencit menjadi dua kelompok besar, yakni mencit dengan vaksinasi B. enteritidis dan tanpa vaksinasi. Dari penelitian ini didapatkan bahwa tidak terjadi penyebaran infeksi pada kandang yang seluruhnya beranggotakan mencit dengan vaksinasi sebelumnya. Angka kematian pada kandang yang berisi campuran mencit dengan-dan-tanpa vaksinasi lebih rendah jika dibandingkan dengan kandang yang hanya berisikan mencit tanpa vaksinasi, yakni 53.3% dibandingkan 70%. Kesimpulannya adalah vaksinasi B. enteritidis berpotensi memutus rantai penularan dan menekan angka kematian akibat infeksi bakteri terkait.
Berdasarkan kajian historis di atas, menurut hemat saya, menggunakan istilah herd immunity tanpa mengaitkannya dengan vaksin seperti membuat kopi tanpa menyeduhnya dengan air panas. Apa yang kita bisa seruput?, serbuk kopi yang kering dan pahit itu?.
Kata kunci dari herd immunity adalah persentase daya tahan anggota komunitas. Membiarkan masyarakat terinfeksi oleh SARS-CoV-2 secara alamiah, belum tentu bisa menghasilkan daya tahan yang diharapkan. Poin ini sekaligus menjadi koreksi dari opini-opini ilmiah yang mengaitkan antara new normal dan herd immunity.
Infeksi alamiah suatu penyakit akan merangsang aktivasi sistem imunitas. Salah satu komponen sistem imun adalah antibodi, yakni protein yang dihasilkan oleh sel limfosit B (salah satu sel imun).
Sebuah penelitian dari Amerika Serikat menyebutkan bahwa infeksi SARS-CoV-2 merangsang pembentukan antibodi spesifik. Antibodi berfungsi untuk mengenali bagian tertentu dari virus SARS-CoV-2, kemudian mengaktifkan sistem imun tubuh untuk menghalau infeksi virus ini. Logikanya, adanya antibodi spesifik memungkinkan orang menjadi ‘kebal’ terhadap paparan infeksi berulang SARS-CoV-2.
Secara teori memang demikian, meski sebenarnya tidak sesederhana itu. Antibodi bisa memberikan perlindungan maksimal jika konsentrasi (titer) dalam darah mencukupi. Belum ada penelitian yang menyimpulkan konsentrasi minimal antibodi yang diperlukan untuk menimbulkan kekebalan terhadap infeksi berulang SARS-CoV-2.
Penelitian yang sama juga menyebutkan bahwa titer antibodi memiliki korelasi positif dengan lama gejala dan derajat keparahan penyakit. Artinya, titer antibodi yang tinggi cenderung terjadi pada pasien Covid-19 dengan derajat keparahan sedang atau berat, sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit. Penelitian ini tidak mengikutsertakan pasien Covid-19 tanpa gejala atau asimtompatis.
Jadi, belum jelas apakah pasien yang memiliki gejala ringan atau tanpa gejala dapat menghasilkan konsentrasi antibodi yang adekuat untuk menimbulkan kekebalan di kemudian hari. Apakah kita harus membiarkan pasien Covid-19 jatuh dalam tingkat keparahan sedang atau berat agar dapat menimbulkan kekebalan?. Tentu saja tidak.
Selain itu, perlindungan yang diberikan karena adanya antibodi bisa saja bersifat sementara. Para ilmuwan belum bisa mengatakan secara pasti berapa lama antibodi terhadap SARS-CoV-2 bisa bertahan di dalam darah. Implikasinya adalah: jika konsentrasi antibodi menghilang dalam kurun waktu tertentu, maka daya tahan terhadap SARS-CoV-2 hanya berlangsung selama tenggat waktu tersebut.
Terakhir, sel-sel pertahanan tubuh itu ibarat prajurit tempur. Bisa saja si prajurit akan menghianati jenderalnya, bukan?. Adanya antibodi dapat memicu reaksi pertahanan tubuh yang berlebihan, sehingga pada akhirnya justru memperparah kondisi pasien Covid-19. Dunia kedokteran menyebut fenomena ini dengan istilah cytokine storm (badai sitokin). Banyak publikasi dan kajian ilmiah yang menyebutkan bahwa badai sitokin adalah salah satu penyebab utama kematian pada kasus Covid-19.
Seluruh teori dan istilah di atas pastinya akan sangat susah dicerna oleh kalangan awam. Dunia medis pun masih terus memutakhirkan konsep dan alur penanganan pandemi Covid-19. Satu konsep berhasil dibuktikan, satu lainnya bisa saja tumbang karena tidak ditunjang data-data penelitian yang valid.
Kesimpulannya, menurut opini saya, penerapan new normal bukanlah implementasi dari herd immunity—setidaknya sampai benar-benar terbukti bahwa infeksi alamiah SARS-CoV-2 bisa menghasilkan kekebalan, atau program vaksinasi masuk dalam penerapan new normal.
Para peneliti di seluruh dunia tengah berusaha untuk membuat vaksin SARS-CoV-2 dalam tempo waktu yang sesingkat-singkatnya. Proses ini biasanya memakan waktu hingga bertahun-tahun. Namun, dengan kemajuan teknologi biologi molekular dan bioinformatika, diharapkan vaksin SARS-CoV-2 bisa diciptakan selang 1-2 tahun kedepan.
Aktivitas ekonomi tentu tidak bisa berhenti sepenuhnya hingga dua tahun kedepan, hanya untuk menunggu tersedianya vaksin SARS-CoV-2. Apakah new normal adalah sebuah keniscayaan atau kenistaan?. Diperlukan kolaborasi pemikiran lintas disiplin ilmu untuk dapat menemukan titik temu antara aspek kesehatan dan ketahanan ekonomi masyarakat. Yang jelas, masalah sebesar pandemi Covid-19 tidak akan selesai hanya karena puja-puji atau caci-maki terhadap berbagai kebijakan pemerintah.
Daftar bacaan:
- Formula untuk menghitung ambang batas herd immunity dikutip dari makalah Paul E.M Fine, yang berjudul Herd Immunity: History, Theory, Practice (1993). https://academic.oup.com/epirev/article-abstract/15/2/265/440430?redirectedFrom=fulltext
- Makalah dari W.W.C Topley dan G.S Wilson (1923) dapat diakses pada tautan berikut ini: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2167341/
- Penelitian dari Amerika Serikat tentang antibodi pasca infeksi SARS-CoV-2 dilakukan oleh Davide F. Robbiani, dkk (2020). Publikasinya belum melalui fase tinjauan sejawat (peer-reviewed). Meskipun demikian, sebuah critical appraisal telah dilakukan oleh akademisi dari Universitas Oxford untuk menguji keabsahan penelitian ini. Penelitian dan appraisal-nya dapat dibaca pada tautan berikut ini: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7263513/ – https://www.immunology.ox.ac.uk/covid-19/covid-19-immunology-literature-reviews/convergent-antibody-responses-to-sars-cov-2-infection-in-convalescent-individuals
- Tulisan ini merupakan lanjutan dari artikel sebelumnya, yakni pendahuluan terkait pandemi Covid-19. Artikel tersebut dapat dibaca melalui tautan berikut: https://tatkala.co/2020/06/08/covid-19-sebuah-pandemi-sebuah-cerita-1/.