Kali ini saya ingin membahas beberapa hal yang mungkin kita tidak pikirkan. Cobalah Anda berkunjung ke rumah sakit di masa pandemi Covid-19 saat ini . Betapa sepi, berbanding terbalik dari yang biasanya banyak orang mengantri di poliklinik seperti di waktu normal. Selain rumah sakit, puskesmas juga terlihat sepi, bahkan sudah membatasi kunjungan. Tak hanya itu, praktik swasta juga sepi.
Biasanya yang kita tahu, jika fasilitas kesehatan sepi ada dua kemungkinan; pertama, memang masyarakat kondisinya lebih sehat jadi jarang membutuhkan layanan kesehatan. Beberapa kawan dan klien saya berkelakar, berarti virus Corona di masa pandemi ini mampu menyehatkan masyarakat.
Kita ingat betapa penuhnya rumah sakit, puskesmas dan praktik swasta ketika sebelum ada pandemi. Saat pandemi ada, pasien sepi. Ini bisa diartikan orang yang sakit jumlahnya sedikit. Bisa jadi. Atau kemungkinan kedua, sebetulnya angka kesakitan cukup tinggi tetapi orang masih menahan-nahan dan memilih tinggal di rumah, tidak berobat dan memeriksakan diri ke layanan kesehatan.
Di bulan-bulan ini mungkin BPJS untung, karena tidak banyak klaim yang dibayarkan untuk membayar biaya perawatan masyarakat. Hal ini berimbas pada para pasien yang mengalami gangguan kronis menjadi putus obat. Tanpa kita sadari, itu bisa menjadi bom waktu.
Coba lihat, betapa banyak misalnya pengidap kanker yang harus ditunda perawatan atau operasinya, menunggu tes Covid-19. Jika pasien sepi tiba-tiba artinya juga cukup banyak yang mengalami putus obat, misalnya pada pengidap hipertensi dan diabetes. Itu sangat berbahaya karena nantinya akan ada ledakan angka kesakitan sangat besar dengan tingkat keparahan yang tinggi.
Gangguan Mental
Bagaimana dengan pasien gangguan mental? Banyak yang belum tahu bahwa untuk gangguan mental pekerjaan rumah kita sangat banyak. Misalnya, angka gangguan emosional atau depresi pada orang dewasa di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 adalah 6 % dari total jumlah penduduk. Tetapi hanya 9 % dari yang mengalami depresi mencari pertolongan atau berobat ke layanan kesehatan.
Sumber literatur mengatakan, ketika wabah terjadi angka gangguan depresi akan meningkat bahkan hingga dua kali lipat. Kalau angkanya misalkan menjadi 12 % tetapi yang berobat hanya 9 % di masa normal, berarti bisa dibilang dari 10 orang pengidap depresi, 1 orang belum tentu mendapatkan pengobatan. Betapa luar biasa potensi masalah yang ada.
Apalagi di Bali, untuk gangguan jiwa berat atau skizofrenia angkanya menduduki peringkat pertama di Indonesia yakni 11 per 1000 rumah tangga mengalami skizofrenia. Tidak semuanya berobat, apalagi di saat wabah seperti sekarang. Kalau tidak kita tangani akan timbul masalah yang luar biasa besar di kemudian hari.
Kita bisa baca dan tonton pada berita-berita tentang bunuh diri, atau Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang menggelandang di jalan yang ditangkap dan dibawa ke rumah sakit jiwa untuk diobati. Cara terbaik mengatasi hal ini adalah mencegah, selalu seperti itu. Kita semua bisa belajar dari para leluhur orang Bali. Saya teringat pada sebuah lukisan karya klien saya, orang dengan skizofrenia yang kini telah pulih yang terpajang di tembok tempat praktik saya.
Belajar dari Sang Kresna
Lukisan itu menggambarkan sosok Arjuna yang dalam bahasa medis zaman sekarang mengalami psikosomatis, saat berada di medan Kuruksetra. Arjuna merasa berat sewaktu memegang busur panah, tangannya panas dan gemetar karena harus bertempur melawan keluarganya sendiri. Ia mengalami kegelisahan dan stres yang tinggi. Tapi yang dilakukan Kresna adalah menenangkan Arjuna.
Banyak orang lupa bahwa setengah dari percakapan antara Kresna dan Arjuna yang kemudian diabadikan dalam kitab Bhagavad-Gita adalah ‘curhat’-nya Arjuna yang didengarkan oleh Kresna. Sekali pun Kresna bicara, beliau memakai analogi-analogi dan cerita-cerita. Kresna jarang sekali memberikan instruksi, penghakiman, atau terlalu banyak menasihati.
Kita bisa belajar dari Kresna untuk kesehatan mental kita terutama di masa pandemi seperti saat ini kita. Marilah kita belajar mendengarkan, saat bertemu anggota keluarga atau kerabat lain kita menayakan kabar mereka: “Kengken asane?” (bagaimana kondisimu?) atau “Men kengken rencanane?” (lalu apa/bagaimana rencanamu?) daripada sekadar memberikan toxic positivity: “Nak harus bersyukur” (kamu harus bersyukur), atau “Harus begini, harus begitu”. Kesehatan mental tidak bisa dengan kata “harus” tapi mesti dirasakan. Maka itu, marilah kita mencontoh sosok Kresna.
Mendongeng
Untuk mencegah penurunan kesehatan mental terutama bagi anak-anak kita, yang paling baik yakni kita mulai kembali ke kearifan lokal Bali. Orang Bali selalu suka memberikan tutur lewat dongeng. Sebelum tidur mari kita dongengkan anak-anak kita dengan berkhayal tentang fabel atau kehidupan hewan, bagaimana mereka misalnya saat menghadapi wabah, bagaimana kita perlu disiplin dan tetap berkomunikasi dengan lingkungan sekitar, perlu untuk tetap hidup bersih.
Dan, tetap bisa bergembira di saat-saat terbatas seperti sekarang. Itu agak meresap di psikologis anak, dan nantinya kita akan mendapatkan manfaat dari mereka. Setelah masa pandemi usai, anak-anak kita akan tumbuh dengan fleksibel; mampu menghadapi semua keterbatasan, halangan, dan situasi yang sulit.
Mereka bukan saja memiliki kekebalan terhadap virus Corona, tapi juga ketahanan secara psikologis dalam menghadapi berbagai kesulitan. Itu adalah pertolongan pertama bagi psikologis kita. Dengan kita melakukan seperti itu saja pada lingkungan keluarga kita, akan mencegah terjadinya gangguan kesehatan mental.
Apabila semua upaya mandiri itu gagal, tentu saja kita mesti mencari pertolongan medis atau terapi yang merupakan cara paling baik. Kini cukup banyak layanan hotline dukungan kesehatan mental dan psikososial yang dilakukan oleh profesional kehatan mental secara gratis atau cuma-cuma. Bahkan, kini konseling psikiatri bisa dilakukan secara daring atau online.
Dan, dalam keadaan darurat untuk datang ke rumah sakit pun masih aman karena tenaga medis menggunakan alat pelindung diri. Mudah-mudahan kita semua dalam keadaan yang mantap jiwa dan mantap raga. [T}