Saya masih Cangak, tapi kadang-kadang dikira perkutut yang manggut-manggut dan manut-manut. Kadang-kadang dikira burung tadahasih yang penuh kasih. Tidak jarang dikira beo yang cuman bisa niru tapi loyo. Padahal saya ingin jadi burung Atat si tukang catat. Bukannya beo itu Atat?
Kenapa tukang catat? Karena sekarang sudah zamannya banyak yang bicara tanpa mencatat, nanti kalau mereka lupa, bagaimana? Makanya perlu ada yang mencatat, mengambil tugas jadi burung peniru segala kata-kata yang dikatakan tuannya. Kalau tuannya sudah mati, catatan bisa dijual nanti.
Ada dua burung Atat dalam cerita Tantri. Soal tekhnik bercerita, jangan lawan Tantri. Ceritanya bisa meluluhkan hati Aiswaryadala yang memang menargetkannya untuk jadi permaisuri. Raja itu tinggal pura-pura jadi bejat, lalu Tantri datang membawa cerita ini dan itu. Raja manggut-manggut, menahan tawa sambil terkentut-kentut.
Tantri merasa jadi wanita paling cerdas, karena sang Raja yang batil itu berhasil disadarkannya hanya dengan cerita. Itu sisi lain yang barangkali jarang dilihat makhluk lain-lain. Melihat dari sisi berbeda selalu ada kurang lebihnya. Jika berhasil, dipuja bagai dewa. Jika gagal, akan dijegal. Seperti ngubuh bebek muani! Selain dapat munyi, juga dapat tai.
Dua burung Atat dalam cerita Dyah Tantri dirawat oleh dua keluarga berbeda. Yang satunya pada keluarga pemburu, yang satunya keluarga pendeta. Beda keluarga, beda suasana. Konon, keluarga pemburu kerjanya hanya membunuh para binatang. Binatang-binatang itu dibunuh untuk dimakan. Pemburu ini bukan vegetarian. Karena mereka tahu, mereka masih punya amarah. Pemarah, masih boleh makan daging. Kalau pemakan tumbuhan, sudah tidak boleh lagi ada dendam, amarah, dengki, iri, ego. Seperti sapi dicambuk terus-terusan, tetap sabar menarik bajak. Kalau belum begitu, makan saja, tapi aharalagawa. Tahu kan aharalagawa? Kalau belum, coba cari tahu sendiri tanpa baca buku panduan.
Karena tiap hari kerjanya membunuh, keluarga pemburu hanya kenal kata potong, bunuh, makan, minum darahnya! Itu terus yang didengar Atat, itu juga yang ditirunya. Tiap ketemu makhluk lain, bicaranya selalu keras ingin bunuh, ingin cincang, ingin makan. Bukan salah Atat, bukan salah keluarga pemburu. Bukan salah dewi kata-kata. Bukankah tiap kata ada betaranya? Jadi siapa yang salah? Kalau pertanyaannya begitu, selamat datang di bumi manusia. Karena hanya manusia yang bertanya tentang kesalahan atau mencari-carinya.
Atat di keluarga pendeta, tiap hari mendengar mantra. Selain mantra, ia juga sering mendengar isi sastra-sastra. Dari sastra tentang kehidupan, sampai sastra tentang kematian. Mantra-mantra itu didapat turun temurun oleh keluarga pendeta. Siapa pembuatnya, tidak bisa dilacak. Menurut keluarga itu, mantra-mantra akan didapat oleh orang-orang yang berhasil mengendalikan indriyanya. Apa saja indriya itu? Jumlahnya ada sepuluh, dikendalikan oleh Raja bernama pikiran. Agar sepuluh indriya bisa dikendalikan, maka harus saling kenal dengan rajanya.
Begitulah tradisi dipegang oleh keluarga pendeta. Tradisi itu pula yang secara tidak sengaja dipelajari oleh si burung Atat. Kemana-mana tradisi itu juga yang diputar-putar olehnya. Dibolak-balik sampai lelah. Makhluk lain yang melihat si Atat, ketawa terbahak bahak sampai keluar dahak.
‘Kamu itu bukan turunan Pendeta, Atat bodoh! Kamu itu burung. Burung yang hinggap di jendela, ngintip gigi ompong kakek yang sudah tua. Jadi, kamu jangan mimpi jadi Pendeta!’. Begitu pakrimik para makhluk yang heran melihat si Atat.
‘Ya, aku ini Atat yang hanya bisa meniru. Tapi aku tidak ingin jadi Pendeta! Jadi Pendeta itu susah. Banyak ujiannya’.
Barangkali Atat tahu kalau tidak mudah jadi Pendeta. Harus ada keistimewaan yang dimiliki sebagai Pendeta yang mumpuni. Kalau disuruh nebak isi telur, harus tahu isinya telur apa. Itu telur ayam, bebek, angsa, atau buaya? Kalau disuruh nebak isi lubang buatan di tanah, harus tahu juga isinya. Jangan-jangan yang bertanya bermaksud menguji. Lubang di tanah diisi Angsa, Pendeta menjawab Naga!
Para penguji yang budiman, pastilah menyediakan jebakan pada tiap pertanyaan. Kalau salah jawab, diketawai para pujangga yang suci, juga para manusia yang mengira dirinya dewa. Itu susahnya. Kecuali mau jadi Pendeta abal-abal. Terus melakukan Sewana, sambil memeriksa isi kantung celana. Jadi Pendeta itu susah. Harus bijaksana. Bagaimana caranya bijaksana?
Entahlah. Otak Cangak saya ini, belum kepikiran. Makanya saya mau jadi Atat si tukang catat. Tugasnya, nyatat-nyatat apa saja yang sudah didapat. Catatan itu nanti jadikan kitab. Pada masa akhir, catatan si Atat akan terus dicari. Oleh mereka yang kepingin sakti, juga mereka yang kepingin mati.
Lihat! Ada jejak burung di langit biru! Itu jejak burung betul, atau hanya ngibul? [T]