Saya sangat beruntung karena besar ketika Indonesia sudah memasuki era reformasi. Ya, era dimana kebebasan berpendapat diakomodir oleh negara tanpa terkecuali, asal tidak melenceng dengan dasar negara saja (Pancasila dan UUD 1945). Era yang dulu diperjuangkan oleh mahasiswa dan kaum terpinggirkan (marjinal) pada awal-awal tahun 1998. Tidak hanya membaca maupun mendengar penuturan teman setongkrongan saja, tetapi saya juga sempat melihat beberapa foto situasi saat tahun 1998 di sebuah kedai kopi di tengah kota Denpasar.
Mengerikan, itu kata yang terlitas pertama setelah melihat bagaimana chaosnya situasi kala itu. Mahasiswa adu jotos dengan aparat keamanan, api berkobar dimana-mana, batu melayang bagaikan bintang jatuh. Bedanya jika bintang jatuh kita memejamkan mata dan memanjatkan permohonan, kalau batu jatuh ya kita harus membuka mata agar bisa berkelit tak terkena hantaman batu yang seukuran kepalan tangan orang dewasa.
Singkat cerita, mahasiswa berhasil mewujudkan reformasi, The Smilling General akhirnya legowo melepaskan mandat rakyat (katanya) yang ia pegang selama 32 tahun. Sebagai pengganti sang Jenderal, si Jenius pun ditunjuk yang kala itu mendampingi sang Jenderal. Si Jenius pun langsung membuat gebrakan, membebaskan kehidupan pers yang selama era sang Jenderal dikekang dan semenjak saat itu terbukalah keran demokrasi. Indonesia menuju negara yang menjunjung tinggi demokrasi.
Dari sinilah muncul fenomena baru yang tidak akan pernah ditemukan pada era sebelumnya. Wacana pemilihan umum secara langsung digodok di gedung dewan dengan sangat serius, tiap fraksi menyiapkan gagasan unggul untuk diadu di ruang sidang dewan, saling adu gagasan terjadi di mana di sanalah proses meramu kebijakan yang paling baik.
Tahun 2004 kembali lahir sejarah baru, setelah pemilihan umum pada tahun 1999 yang hanya diperuntukan untuk memilih wakil rakyat, lima tahun berikutnya berlangsung pemilihan umum secara langsung oleh masyarakat Indonesia yaitu pemilihan presiden dan wakil presiden. Masyarakat tentu sangat antusias untuk menggunakan hak pilihnya yang pertama setelah berada dalam hegemoni sang Jenderal.
Setiap peserta pemilu hadir di desa-desa, warga dengan sangat antusias datang ke lapangan desa untuk memeriahkan kampanye sang peserta pemilu. Baju kaos, payung, jam dinding dan merchandise lainnya dibagikan secara cuma-cuma tentu saja dengan tanda gambar sang peserta pemilu. Brosur juga telah tersebar rata dan dipegang oleh setiap warga, di sana berisi list yang akan dikerjakan oleh sang peserta pemilu. Sambil baca brosur, sambil warga mendengarkan pidato dari peserta pemilu dari atas panggung. Suara yang lantang, nada yang tegas dan keyakinan mantap sang peserta pemilu berhasil membuat warga manggut-manggut, entah paham dengan apa yang dikatakan peserta pemilu atau tidak yang penting manggut-manggut dulu.
Inilah fenomena baru yang saya maksud, sebagai generasi yang masih baru dalam melihat dunia, saya melihat ada keterkaitan yang sangat kuat antara janji dan narasi. Bahkan sampai hari ini saya melihat metodenya masih sama, hanya saja bagi-bagi kaos, payung, jam dinding, serta merchandise lainnya sudah dikurangi dengan amplop yang berisikan kertas berwarna merah dengan gambar sang proklamator bangsa.
Janji-janji yang dibawa oleh peserta pemilu entah itu presiden dan wakil presiden maupun calon anggota legislatif itu selalu diperkuat dengan narasi-narasi yang mampu meyakinkan rakyat bahwa segala yang dikatakan itu mampu untuk dilakukan dalam kurun waktu satu periode masa jabatan (5 tahun). Sang peserta pemilu dengan sangat jitu memilih juru bicara yang bisa mewakili pemikirannya dan tentu mampu meyakinkan rakyat yang menjadi lumbung suara. Apalagi melihat fenomena saat Pemilu tahun 2019 lalu, sepertinya masyarakat tak melihat bahkan tak tahu apa visi, misi, dan program kerja yang dicanangkan oleh peserta pemilu.
Kalaupun ada yang tahu, mungkin hanya sekadar baca atau sekadar lewat saja tetapi tidak untuk didalami dan dipahami secara khusus. Maka dari itu yang muncul dipermukaan hanya perang narasi yang berujung pada tendensi. Tak ada unsur pencerdasan kepada masyarakat dalam adu narasi yang ditayangkan di berbagai TV nasional, mungkin yang ada di kepala politisi itu hanya “bagaimana memenangkan kepentingan kelompok saya dan terlihat lebih baik di mata masyarakat”. Hanya itu, bukan untuk pencerdasan melainkan hanya untuk kepentingan. Bukankah begitu?
Tak hanya dari sisi elit saja yang menurut saya yang jadi masalah. Dari sisi pemilih pun demikian. Lebih tertarik dengan adu narasi, argumen yang berujung tendensi yang melibatkan emosional. Esok harinya, di kedai kopi dengan asik membicarakan dan menganalisis bagaimana jalannya debat tak berujung yang disiarkan oleh salah satu TV nasional sehari sebelumnya. Selain lebih suka melihat perdebatan, nampaknya masyarakat memang lebih suka hal yang instan (wajar saja mie instan banyak peminatnya) maksudnya lebih suka melihat hasil nyata dengan waktu yang cepat, bukan cepat lebih tepatnya sangat cepat.
Hal ini sepertinya selalu terjadi di setiap kontestasi politik, bagi peserta pemilu yang turun ke desa untuk melakukan sosialisasi diri harus menyiapkan kantong yang cukup dalam, karena bukan apa program yang akan diusung, bukan juga pembaharuan yang akan dibawa, melainkan masyarakat akan menanyakan “apa yang bisa bapak/ibu bantu untuk pembangunan infrastruktur di desa ini?” jika tak siap, jangan harap suara akan direngkuh dengan mudah.
Saya melihat ini sebuah hal yang nantinya bisa saja menjadi kebiasaan. Disaat peserta pemilu dipaksa untuk menyiapkan dana yang besar untuk menggaet suara rakyat yang memang inginnya serba instan. Maka yang terjadi adalah program-program maupun pembaharuan yang awalnya mau dibawa oleh caleg dikesampingkan dulu oleh caleg ketika ia sudah berhasil menduduki kursi dewan yang terhormat. Karena tentu yang ada di pikirannya adalah bagaimana mengembalikan modal awal nyaleg untuk digunakan sebagai modal untuk kampanye di pemilu selanjutnya. Hal itu sudah pasti, karena duduk di kursi dewan hari ini sangatlah mahal. Dengan sistem pendaftaran terbuka, kontestan dipaksa untuk tarung bebas tidak hanya dengan kontestan dari partai lain, tetapi juga dengan kawan satu partai.
Sudahlah, dengan fenomena tadi jangan terlalu banyak berharap semua janji dan narasi yang manis bak madu yang baru di panen itu dapat direalisasikan dalam satu periode. Hal ini membuat saya sedikit tersadar, ternyata yang menciptakan iklim politik ini tidak hanya oleh elit politik saja, tetapi si pemilik hak suara atau masyarakat memiliki peran yang begitu besar dalam hal ini. Tentu dengan berbagai hal instan yang diharapkannya.
Saya sampai hari ini masih yakin hanya sedikit anggota dewan yang mau mengutamakan kepentingan orang banyak ketimbang kepentingan pribadi jika iklim politik masih seperti ini. Itu bisa dilihat dari pola pergerakan yang hanya gencar saat menjelang perhelatan pemilihan saja. baik pemilihan presidan dan wakil presiden, anggota dewan hingga pemilihan kepala daerah. Sisanya kemana? Oh iya sibuk nabung untuk persiapan kontestasi berikutnya. Karena menjaga konstituen itu tidak murah. [T]
Denpasar, 13 April 2020