28 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai

Stigma & Stigmata

Putu Arya Nugraha by Putu Arya Nugraha
April 18, 2020
in Esai
47
SHARES

Profesi dokter dekat dengan stigma maupun stigmata. Dalam membuat sebuah diagnosis, seorang dokter sedemikian terobsesi untuk menemukan stigmata setiap penyakit yang dicurigainya. Stigmata dalam hal ini diartikan sebagai tanda khas atau tanda kardinal dari suatu penyakit. Kardinal sendiri adalah istilah untuk pemimpin gereja senior yang berperan penting dalam pengambilan keputusan dalam tradisi gereja Katolik.

Ambilah sebuah contoh, salah satu stigmata penyakit hati menahun adalah apa yang disebut dengan nama spider nevi. Spider adalah bahasa Inggris untuk laba-laba dan nevi adalah bentuk jamak dari nevus yang dalam bahasa Latin berarti bercak pada kulit. Dengan demikian spider nevi adalah gambaran berupa bercak-bercak kemerahan menyerupai pola sarang laba-laba yang tampak pada dada atau perut penderita penyakit liver kronis (menahun). Gambaran ini berasal dari perubahan struktur pembuluh darah kecil di permukaan tubuh karena kelainan hormon (estradiol) akibat gangguan metabolisme hormon yang bersangkutan pada kasus penyakit hati menahun.

Menemukan sebuah stigmata bagi seorang dokter adalah sebuah petunjuk kuat untuk menegakkan suatu penyakit sebelum melakukan berbagai pemeriksaan penunjang yang diperlukan sebagai konfirmasi diagnosis. Itulah kenapa, terlihat pola kerja yang sangat mirip antara seorang dokter dalam menemukan sebuah diagnosis dengan seorang detektif untuk memecahkan sebuah misteri. Keduanya bekerja secara metodis menggunakan suatu pendekatan deduksi yaitu menganalisa data-data yang dilihatnya sebagai petunjuk menuju sebuah kebenaran.

Seorang dokter atau detektif pada dasarnya tidak cukup hanya melihat sebuah temuan atau peristiwa, namun lebih jauh dari itu, ia harus mengamatinya. Hanya melihat saja, takkan mendapatkan banyak hal yang “kardinal”, jangan-jangan sebaliknya bisa salah lihat sebagai sebuah persepsi belaka. Dengan mengamati, siapapun diberikan manfaat untuk menyelami sebuah fakta atau persoalan sampai pada substatsi atau hakikatnya, tak cuma berhenti pada persepsi semu bahkan dapat saja palsu. Dari keengganan mengamati dengan cermat dan teliti itulah kemudian lahir berbagai kultur buruk macam hoax dan sudah pasti satu istilah paling kejam dan mengerikan bernama stigma.

Hari-hari ini, dokter dan masyarakat lagi-lagi dihadapkan dengan gelombang stigma, terkait wabah Covid-19. Satu situasi yang mengingatkan kita pada berbagai sikap deskriminasi yang terlebih dahulu mendera pasien-pasien kusta atau Aids. Stigma adalah noda. Ia akan semakin berat ditanggung di sebuah negeri yang bangsanya telah berlomba-lomba merasa suci. Dalam situasi seperti ini boleh dikatakan dokter dihadapkan pada dua musuh yang bersamaan yaitu penyakit yang mendera pasiennya dan stigma yang telah menginfeksi masyarakat sehat.

Dan stigma telah memberi tambahan diagnosis untuk seorang penderita Aids, kusta atau Covid-19. Selain ia harus berjuang melawan kuman yang menggerogoti tubuhnya ia pun harus bertarung dengan cemooh dan pengucilan oleh masyarakat. Jika virus atau bakteri yang fatal dapat merebut nyawanya maka stigma dengan mudah dapat merenggut hak-hak sipilnya bahkan tak sedikit yang memberi komplikasi terhadap keluarganya. Stigma, barangkali dapat lebih lethal ketimbang virus Corona atau HIV. Sebuah penelitian tentang stigmatisme di Yogyakarta (Finnajakh, 2019) telah menunjukkan hasil yang cukup mengagetkan. Disimpulkan bahwa, stigma masyarakat tak berhubungan dengan tingkat pengetahuan responden. Budaya stigmatisasi lebih ditentukan oleh persepsi yang telah mereka bangun sendiri.

Stigma telah meninggalkan begitu banyak puing-puing kepedihan dalam sejarah manusia. Dalam epos Ramayana dengan sangat gamblang diceritakan kisah kelam sang permaisuri Dewi Shinta yang distigma tak suci bahkan oleh suaminya sendiri, Sang Rama raja Ayodya Pura. Lantaran sekian lama tinggal di dalam istana raja raksasa Sang Rahwana di Alengka Pura.

Sebagai korban penculikan ia diragukan kesuciannya. Maka ia meminta Pangeran Laksamana adik Rama untuk membuat api unggun, lalu menceburkan tubuhnya ke dalam api yang berkobar sebagai pembuktian ia tak pernah melakukan dosa-dosa moral, dari pikiran dan hatinya sendiri. Maka seorang Dewi Shinta telah menanggung penderitaan sebagai korban penculikan sekaligus tuduhan atas cedera moralnya.

Sama saja dengan seorang penderita Covid-19 yang harus melawan virus maupun bangsanya sendiri. Dalam sejarah bangsa Indonesia, hingga kini stigma PKI pun tetap laten mengancam. Ia senantiasa menjadi virus dorman yang setiap saat bisa bangun untuk menyerang kepentingan lawan. Begitulah stigma dan stigmata bagai pistol revolver yang dapat digunakan untuk membunuh atau sebaliknya dapat melindungi sebuah kebenaran. [T]

Tags: covid 19stigmavirusvirus corona
Putu Arya Nugraha

Putu Arya Nugraha

Dokter dan penulis. Penulis buku "Merayakan Ingatan", "Obat bagi Yang Sehat" dan "Filosofi Sehat". Kini menjadi Direktur Utama Rumah Sakit Umum Daerah Buleleng

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Sketsa Nyoman Wirata
Puisi

Puisi-puisi Alit S Rini | Aku dan Pertiwi, Percakapan di Depan Api

by Alit S Rini
January 23, 2021
Esai

Pada “Peta Kesehatan”, Di Manakah Posisi Anda?

Seorang kawan, laki-laki 46 tahun, ditemukan meninggal di suatu pagi dalam apartemen oleh sopir pribadinya. Dokter memperkirakan, ia telah menghembuskan ...

September 2, 2019
ilustrasi tatkala.co || Satia Guna
Puisi

Puisi-puisi Isbedy Stiawan ZS || Tentang Namanama, Sungai dalam Kepalaku

TENTANG NAMANAMA disebutnya namanama ia pun dalam hitungan masuk barisan pencari matahari, bulan-bintang juga laut, gunung, dan hutan lalu menetap ...

January 9, 2021
Sejumlah pemuda dari Desa Selanbawak melakukan aksi telanjang dada sambal menggelar poster mempertanyakan perbaikan jalan. /Foto diambil dari facebook
Esai

Aduh Malu, Di Sini Rusak, Di Situ Mulus! – Soal Jalan Desa di Batas Tabanan dan Badung

ADA lelucon yang bikin kuping saya sebagai “orang Tabanan” panas. “Jika kamu berada di jalan desa, dan ingin tahu batas ...

February 2, 2018
Kegiatan literasi di Lahangan Sweet, Gulinten, Karangasem, Bali
Khas

Literasi di Tempat Rekreasi

Ada yang memandang dengan heran. Cuek saja sambil berlalu juga banyak. Beberapa ada yang terusik dan mulai mendekat. Sembari mengabadikan ...

November 28, 2019
Esai

Sasmitha Ayu

Meskipun judulnya Sasmitha Ayu, nama putri saya, tulisan ini tak sepenuhnya tentang dia, namun ini cerita tentang anak-anak kita semua. ...

June 24, 2020

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Moch Satrio Welang dalam sebuah sesi pemotretan
Kilas

31 Seniman Lintas Generasi Baca Puisi dalam Video Garapan Teater Sastra Welang

by tatkala
January 27, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Puji Retno Hardiningtyas saat menyampaikan ringkasan disertasi dalam ujian terbuka (promosi doktor) di Universitas Udayana, Selasa, 26 Januari 2021.
Opini

Antara Keindahan dan Kehancuran | Wacana Lingkungan Alam dalam Puisi Indonesia Modern Karya Penyair di Bali Periode 1970-an Hingga 2010-an

by Puji Retno Hardiningtyas
January 28, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (66) Cerpen (150) Dongeng (10) Esai (1363) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (4) Khas (312) Kiat (19) Kilas (193) Opini (472) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (97) Ulasan (330)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In