Di kampung saya masih banyak sekali orang berkumpul. Masih menjalankan shalat Jumat. Juga masih melaksanakan shalat berjamaah di mushola-mushola. Padahal, pemerintah sudah memberikan imbauan untuk melaksanakan ibadah di rumah saja.
Beberapa minggu yang lalu, salah seorang kerabat saya meninggal. Karena kampung saya mayoritas NU, jadi di rumah duka tetap dilaksanakan tahlilan sampai 7 hari. Ini sudah menjadi tradisi yang mendarah daging. Semua keluarga besar berkumpul. Tetangga dekat dan kolega merapat. Seperti tidak sedang terjadi apa-apa. Tapi mau bagaimana lagi, toh tidak akan ada yang terinfeksi virus, kata seorang suatu ketika.
Saya agak berdebar—untuk tidak mengatakan takut—dan khawatir sebenarnya. Apalagi posisi saya baru saja pulang dari kota zona merah. Walaupun saya yakin tidak terinfeksi, tapi saya—dan kita semua—tetap berpotensi menularkan virus. Saya belum melakukan tes. Kemarin, pihak Puskesmas hanya mendata diri saya saja. Maka wajar jika saya merasa khawatir.
Semalam saya ikut nongkrong di gardu ronda. Beberapa pemuda asyik berkumpul main ML. Juga merasa tidak sedang terjadi apa-apa. Malahan, ada yang bilang kalau wabah ini tidak akan sampai ke kampung. Dan beberapa orang bilang, “Kami tidak takut pada corona. Kami hanya takut pada Allah.” Ah, yang benar saja, saat ada ular besar masuk rumah, misalnya, banyak juga yang takut. Apakah mereka tidak punya Tuhan, sehingga takut pada ular? Wong kamu juga takut sama gebetanmu, kan? Selingkuh aja masih ngumpet-ngumpet.
Selain itu, ada juga yang lain: “Kampung ini kan belum ada yang terinfeksi, nggak ada yang kena corona, kenapa shalat Jumat harus ditiadakan?” Sebenarnya, saya ingin menjawab begini: “Selama belum ada tes massal yang hasilnya terbukti kampung kita aman, maka semua orang dianggap berpotensi membawa virus corona meski terlihat sehat”. Tapi saya urungkan, wong saya ini hanya pemuda kemarin sore, kok. Tidak baik yang muda memberi nasihat atau membantah orang yang umurnya lebih tua. Nggak sopan. Ntar saya kualat.
Ada lagi pertanyaan yang terkesan agak kritis, tapi nir logika. Begini: “Kenapa masjid ditutup, padahal pasar atau warung tetap buka?”
Sebenarnya saya juga ingin menjawab—meminjam postingan Gus Nadirsyah Hosen —: “Masjid ditutup, kita masih bisa ibadah di rumah. Jumatan diganti zuhur itu ada tuntunan syar’inya. Tapi kalau mall/warung ditutup, apa opsi lain untuk memenuhi kebutuhan primer sehari-hari?” Tapi, lagi-lagi saya urungkan. Saya pendam saja dalam hati.
Dan terakhir, ini yang agak ngeri-ngeri sedap: “Lebih baik saya mati saat shalat di Masjid, daripada mati takut kena corona.”
Barangkali orang ini tidak tahu cara kerja virus ini, pikir saya dalam hati. Corona itu nggak bikin kamu mati seketika. Ada proses inkubasi 14 hari. Kamu terinfeksinya di masjid, terus dirawat di RS, dan matinya di kasur. Ini bukan jihad lho!, kata Gus Nadir.
Atau pertanyaan yang ini: “Bukannya mati itu sudah ketentuan Allah. Kita semua pasti mati. Kenapa takut corona?”
Mati memang sudah pasti, Kang. Tapi penyebab dan caranya kita nggak ada yang tahu. Kalau misal matinya kena corona, kamu malah berpotensi mati dan menulari keluarga, juga kawanmu untuk mati juga. Mau? Tapi lagi-lagi ini hanya saya ungkapkan dalam hati.
***
Meskipun begitu, saya percaya dengan apa yang dikatakan Paulo Coelho, setiap manusia diberi satu hak istimewa: kemampuan untuk memilih. Barang siapa tidak menggunakan hak istimewa ini, mengubahnya menjadi kutukan, dan orang-orang lainlah yang akan memilihkan bagi mereka.
Selain satu hak istimewa, barangkali setiap manusia juga memiliki legenda pribadi untuk diwujudkan, dan untuk itulah kita hidup di dunia. Legenda pribadi ini mengejawantah dalam antusiasme kita terhadap suatu tugas tertentu. Sedangkan tindakan adalah pikiran yang mengejawantah.
Harii-hari ini saya melihat “kemampuan untuk memilih” dan “antusiasme terhadap suatu tugas” itu ada dalam diri keluarga saya—dalam diri Emak, Bapak dan adik.
Di musim wabah yang tidak menentu seperti ini, mereka memilih untuk tetap antusias. Bapak menyiapkan lahan. Emak menebar benih. Ya, kami—saya, adik, Emak, dan Bapak—sedang antusias menanam benih kacang tanah di sela-sela jagung yang siap untuk dipanen sebentar lagi.
Saat hari menjelang siang, kami istirahat. Bapak mengumpulkan sayur-sayuran, kacang-kacangan, memetik cabai dan daun asam muda (sinom), mencabut singkong dan talas. Setelah terkumpul, Bapak membuat api, sedangkan Emak mencuci bahan-bahan, kemudian mengulek bumbu: cabai, sinom, dan garam secukupnya.
Api menyala. Air mendidih. Bahan-bahan dimasukkan. Bumbu dimasukkan. Sayur siap dihidangkan.
Melihat Emak dan Bapak saling bekerja sama; dan harmonis, dalam hati saya berdoa:
Tuhan, lindungilah kami, sebab Hidup ini adalah satu-satunya cara bagi kami untuk mengejawantahkan kuasa keajaiban-Mu. Kiranya bumi tetap mengolah benih menjadi jagung, kiranya kami bisa tetap mengubah jagung menjadi nasi. Dan semua ini hanya dimungkinkan apabila kami memiliki Kasih; karenanya, janganlah kami ditinggalkan seorang diri. Biarlah selalu ada Engkau di sisi kami, dan ada orang-orang lain—laki-laki dan perempuan-perempuan—yang menyimpan keraguan-keraguan, yang bertindak dan bermimpi dan merasakan antusiasme, yang menjalani setiap hari dengan sepenuhnya membaktikannya kepada kemuliaan-Mu. Amin.
Akhirnya, kami berempat makan dengan bahagia. Sambil mendengarkan lagu Michael Jackson yang berjudul ‘Heal the World’:
Heal the world. Make it a better place. For you and for me. And the entire human race. There are people dying. If you care enough for the living. Make it a better place. For you and for me.
Bahagia, kehidupan. [T]