Tibalah hari bersejarah itu, hari yang membahagiakan seluruh warga banjar, ketika satu set perangkat gambelan gong kebyar sudah ditata rapi di balai banjar. Hanya dari obrolan singkat antar warga secara getok tular, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, seluruh warga tanpa dikomando ramai-ramai hadir di balai banjar. Tanpa beralas kaki, saya pun ikut berlari dan segera menginjakkan kaki di balai banjar. Tentu saja balai banjar kami tidak semegah sekarang ini.
Orang-orang sudah pada berkerumun. Saya liat wajah-wajah sumringah warga melihat “jerih payah” mereka, kini sudah nyata di depan mata. Namun ada yang aneh, saya lihat pada beberapa instrumen gambelan tersebut, ada yang sepertinya belum 100 persen selesai, terutama pada aksesorisnya. Setengah lebih ukiran pada bagian pelawah masih kosong, tidak ada ukirannya.
Kemana gerangan ukiran tersebut? Belakangan saya tahu, kalau hal tersebut adalah bagian dari kesepakatan banjar kami dengan pihak Pande Gableran, pihak yang memproduksi dan menyuplai perangkat gambelan tersebut. Pande Gableran secara bertahap melengkapi semua aksesoris ukiran tersebut, seiring dengan pelunasan cicilan warga.
Walapun kami punya seperangkat gambelan yang masih tonden pragat, toh setiap malam seka gong banjar sudah bisa berlatih, latihan megambeldengan bibir selalu mengembangsenyum. Kami bahagia.
Itu adalah kisah sekitar tahun 70-an, tepatnya sekitar tahun 1972, menurut ingatan saya, ketika itu saya baru kelas satu SD. Saat itulah, untuk pertama kalinya warga banjar kami memiliki seperangkat gambelan gong atas nama organisasi banjar sendiri.
Sebelumnya, untuk keperluan di pura dan acara-acara lainnya, banjar kami menggunakan ‘Gong Gumi’, sebutan untuk seperangkat instrumen gambelan yang dimiliki Desa Adat Serongga, yang dipakai secara bergilir oleh 4 banjar.
Saya yang kurang memiliki kepekaan terhadap seni karawitan, sama sekali tidak tertarik atas megahnya ukiran pada semua piranti gambelan, tidak pula tertarik atas merdunya suara gambelan baru itu, saya justru tertarik pada proses, bagaimana cara warga banjar mendapatkannya. Kas banjar jauh dari cukup, uniknya lagi warga banjar tidak mengeluarkan serupiah pun untuk membayar cicilan.
Lalu, dari mana warga banjar mendapatkan uang cicilannya? Masalahnya, zaman dulu belum dikenal malam amal dengan menjual kupon bazar kepada teman, saudara atau pejabat yang bisa kita todong. Juga belum kenal cara instan mendapatkan uang dengan menjual kupon ayam goreng cepat saji.
Tidak pula mengenal tabuh rah bodong dengan alasan upacara di pura. Masyarakat masih “bodoh”, tak bisa membuat proposal walau menyontek sekalipun untuk mendapatkan uang bansos yang ujung-ujungnya rela “dibarter dengan suara” bila musim pemilihan legislatif tiba.
Kembali kepada pertanyaan tadi, “Dari mana mendapatkan uang ?”
Jawabannya, “‘Dari jasa memanen dan mengantar blesengan !”
“Bagimana bisa ?”
“Ya bisalah!!!”
“Begini ceritanya!”
Kala itu, kehidupan masyarakat Serongga, khususnya warga di banjar saya, Banjar Serongga Tengah kebanyakan berprofesi sebagai petani dan buruh. Ada juga yang berprofesi sebagai PNS, tentara, guru, dan itu sangat sedikit.
Sebagai warga banjar, tanpa kecuali, semua warga wajib melaksanakan kerja ‘buruh tani’ ketika ada salah satu warga yang sawahnya panen. Semua warga turun ke sawah, menyabit padi yang telah menguning sampai mengangkut hasil panen ke rumah yang punya sawah. Sebagai jasa memanen dan mengangkut blesengan, yaitu hasil panen tadi, banjar mendapat piakan atau pembagian hasil panen. Oleh pengurus banjar, piakan tersebut dijual. Hasil penjualan inilah yang dipakai membayar cicilan gambelan tersebut.
Ini sesuatu bingitssss, istilah anak muda zaman milenial. Betapa kreatif dan mulianya pemikiran pengurus dan warga. Membangun relasi kehidupan sosial yang sangat bermartabat, jauh dari nilai-nilai ‘melacurkan’ diri’ (maaf) seperti pada masyarakat umumnya sekarang ini. [T]