Disadari atau tidak, Industri pariwisata telah mengkonsumsi semua budaya dan alam Bali hingga mencapai titik nadir di saat Covid-19 mewabah dunia. Kini, tiba waktunya budaya dan alam Bali mencari keseimbangannya sendiri.
Dalam sekian kurun waktu, industri pariwisata Bali hanya bertindak sebagai pengguna (eksploitasi) budaya dan alamnya.
Budaya sakral dieksploitasi secara berlebihan. Tari-tarian sakral, sebagai tari wali, digunakan untuk memenuhi hasrat pariwisata. Misalnya, Tari Rejang yang seyogyanya dipentaskan untuk menyambut kehadiran dewa-dewi pada saat piodalan upakara yadnya justru dikomersialkan untuk menyambut wisatawan. Tari Sang Hyang Jaran, sebuah tari spiritual dair jaman pra-Hindu yang berfungsi sebagai penolak bala, digunakan sebagai sebuah tontonan. Semua tari sakral dikomodifikasi menjadi tari balih-balihan hanya untuk menghasilkan segemerincing dolar.
Tarian wali lainnya, seperti Tari Baris, Pendet, Sang Hyang Dedari, Barong yang dahulu selalu ditampilkan di areal suci, yaitu jeroan pura, kemudian dikomodifikasi, ditampilkan di areal komersial, seperti di panggung pertunjukan, hotel, restoran, kafe, hingga konferensi internasional.
Alam Bali pun tak luput dari keegoisan industri pariwisata Bali. Setiap jengkal tanah, air, dan udara Bali tercemar oleh aroma keserakahan industri pariwisata. Tanah Bali yang subur, bukit-bukit yang indah, pegunungan yang eksotis, hutan yang perawan, jurang, tebing, sawah disesaki hotel berbintang, restoran dan kafe.
Pantai yang menyimpan terumbu karang, pasir pantai yang menjadi lahan spiritual seperti melasti, hingga udara tak lepas dari eksploitasi pelaku pariwisata.
Tak hanya budaya dan alam yang dieksploitasi, manusia Bali pun menjadi objek untuk memuluskan pemenuhan hasrat industri pariwisata. Sampai manusia Bali telah tercerabut dari budaya dan alam Bali. Jika melintasi jalan berliku di kawasan pedesaan, tak banyak melihat petani yang menggarap sawah. Manusia Bali telah meninggalkan kesuburan tanahnya dan segala budaya dan ritual beralih menjadi manusia pemuja pariwisata.
Manusia Bali tak banyak lagi yang dapat melahirkan tari eksotik dan sakral. Apakah kreativitas manusia Bali telah tumpul? tentu tidak. Genetik Manusia Bali modern tetap sama dengan genetik leluhur manusia Bali. Bedanya adalah, leluhur Manusia Bali mencipta sebuah tari untuk dipersembahkan kepada Tuhan-nya, dewa-dewi, batara-batari, dan leluhurnya. Sedangkan, manusia Bali modern mencipta semata-mata dipersembahkan kepada pariwisata, untuk mendapatkan kebahagian materi dari turis.
Kini, Manusia Bali tak lagi memiliki keinginan untuk menjaga, merawat, atau sekadar mempertahankan alam dan budaya. Jika merawat saja tidak berkenan apalagi mencipta. Jiwa manusia Bali telah hampa. Kosong. Semua dipersembahkan untuk pariwisata.
Manusia Bali pun kini tak lagi mendapatkan manfaat dari alam Bali yang telah lama ditinggalkannya. Manusia Bali tak lagi memetik daun kelapa dari pohonnya untuk sarana ritual, tak lagi memetik bunga dari kebunnya untuk dipersembahkan kepada leluhurnya, tak lagi mendapatkan padi dari sawahnya untuk memenuhi kebutuhan pokok dan ritual. Semuanya telah habis hanya untuk bisa secepatnya mendapatkan manfaat dari industri pariwisata yaitu dolar.
Semua upaya eksploitasi itu telah membuat Bali rapuh. Tak ada lagi pegangan dari budaya dan alam di saat manusia Bali diancam bencana alam atau penyakit. Gunung Agung batuk-batuk saja telah membuat manusia Bali resah membayangkan tidak akan mampu bertahan.
Hantaman virus corona (Covid-19) secara global telah membuat industri pariwisata Bali yang selama ini diagung-agungkan mati suri. Semua bidang di sektor pariwisata, seperti hotel, restoran, kafe, lokasi wisata, tersungkur. Ternyata, industri pariwisata tak bisa dihandalkan untuk menopang kehidupan manusia Bali.
Virus yang telah mewabah di sekitar 189 negara, membunuh ribuan nyawa manusia, akhirnya melumpukan seluruh sendi dan urat nadi manusia Bali.
Apakah wabah ini akan menyadarkan manusia Bali?
Semoga. Setidaknya, manusia Bali mulai termenung sejenak memikirkan nasibnya yang malang. Berkontemplasi untuk sekadar bertanya apakah nasib manusia Bali akan bertahan lama menghadapi ancaman global ini.
Semoga manusia Bali tersadar bahwa pariwisata tidak dapat menolongnya. Pariwisata hanya bisa dinikmati pada saat kehidupan alam ini normal.
Pariwisata tak dapat menopangnya. Begitu wisatawan satu per satu pergi meninggalkan Bali, terasa tak ada harapan. Begitu, setiap negara yang terkena wabah Covid-19 menutup negaranya (lockdown), manusia Bali merana. Tak ada turis, yang dipuja-puji yang beranjang sana lagi. Tak ada geliat industri pariwisata. Sepi.
Pantai Kuta sepi seakan sama seperti dahulu kala ketika turis belum mengenalnya. Nusa Penida terdiam. Manusia Bali di sana tersengat. Apakah kehidupan manusia di pulau eksotik itu akan kembali seperti sedia kala saat pulau itu masih perawan.
Pura seperti Tanah Lot, Ulu Watu, Ulun Danu Batur, Besakih sepi dari hiruk pikuk turis. Di satu sisi, semua pura yang menjadi destinasi wisata seakan bersih dari polusi manusia (turis).
Wabah Covid-19 membawa kembali Bali menuju keseimbangannya. Kembali menjadi Bali yang dulu. Bali yang eksotik. Pulau seribu pura yang memancarkan aura spiritual di salah satu titik bumi.
Kini saatnya, manusia Bali memahami perilaku alam Bali yang telah menuju keseimbangannya. Saatnya, untuk menjadi manusia Bali yang selalu menjaga alam dan budayanya. Manusia Bali yang tak enggan lagi menggarap tanahnya. Kembali menjadi manusia Bali yang selalu tulus mencipta untuk membahagiakan leluhurnya, batara-batari, dewa-dewi, dan Tuhan-nya.
Menjadi manusia Bali yang tak lagi jumawa dengan pesona pariwisata.
Inilah waktunya tatkala Manusia Bali beristirahat dari ritual memuja pariwisata. Melakukan refleksi untuk mencari format baru pariwisata yang bisa mewariskan budaya dan alam bagi generasi berikutnya. Sebuah bentuk pariwisata baru yang mampu menjaga keseimbangan alam, budaya, dan manusianya. Semoga!. [T]