Saat China atau Italia memutuskan negaranya lock down, dari kita ada yang mencibir, kami telah melakukannya sejak lama, setahun sekali, saat hari raya Nyepi. Mereka melakukannya karena sebuah keterpaksaan, kami berangkat dari kesadaran spiritual yang tinggi, begitulah kira-kira perasaan kita berguman bangga.
Pandemi virus Corona (Covid-19) telah mengurung banyak bangsa dalam bekapan rasa ngeri, maka mereka memutuskan “nyepi” agar tak bersua virus yang sedemikian agresif ini. Meski risiko kematian yang ditodongkannya tak terlalu besar, namun karena kecepatan penyebarannya sedemikian fantastis, maka hasil kalinya tetap membuat setiap orang bergidik. Sebuah bukti, jika nyawa manusia bukanlah sekadar deretan angka-angka, sebaliknya satu bernilai sama dengan sejuta.
Terlepas dari teror Covid-19 yang liar dan cepat, bumi sepertinya memang sudah cukup tua untuk berlagak congkak. Coba lihat, lapisan es di kutub utara dan selatan bumi ini mencair lebih cepat secara masif akibat pemanasan global. Mencairnya es Greenland biasanya berlangsung dari Juni hingga Agustus. Namun, Institut Meteorologi Denmark mengatakan pencairan tahun ini dimulai pada 30 April yang mana merupakan waktu yang paling awal kedua dalam catatan sejak tahun 1980.
Dulu Papua memiliki tiga gunung yang puncaknya dilapisi salju. Yakni puncak Mandala yang kehilangan saljunya di tahun 2003, gunung Trikora yang kehilangan salju di tahun 1936 dan gunung Jayawijaya yang masih memiliki salju hingga saat ini. Namun kabar buruk datang dari laporan BMKG yang diterbitkan pada tahun 2016, mereka berpendapat bahwa lapisan salju di gunung Jayawijaya akan mencair sepenuhnya di tahun 2022 mendatang.
Tahun lalu, umat manusia menghancurkan kawasan hutan tropis yang luasnya hampir sama dengan luas wilayah Inggris. Hal itu menandai penurunan terbesar keempat sejak data satelit global ada pada 2001. Laju kerusakan hutan sangat mencengangkan. Setiap menitnya, kawasan hutan tropis seluas sama dengan 30 lapangan bola musnah pada 2018 atau total 120 ribu kilometer persegi. Berapa jumlah hewan yang telah kehilangan habitat mereka? Manusia telah berulang-ulang menyebabkan mereka mengalami lock down, bahkan dalam kurungan yang semakin kecil dan sesak. Maka sesekali merekapun sepertinya ingin mengunci kita dalam ketakutan, bersama bumi yang menuju senja kalanya.
Betulkah kita telah terlatih menerima siksaan dan kegelapan yang suci berkat tradisi hari raya Nyepi? Siksaan dan kegelapan yang membawa kita pada level kemurnian energi dekontaminasi yang semakin tinggi? Entahlah, realita seringkali tak selaras dengan idea. Sayang sekali, doa-doa memang telah ditakdirkan lebih hakiki jika lahir dari penderitaan.
Rasa takut dan ngeri akan wabah virus Corona yang tak kenal kasihan menjangkiti siapa saja, sepertinya akan menciptakan ibadah yang lebih tulus. Bukanlah air mata yang ditujukan kepada Tuhan, namun hati setiap insan yang kemudian bersatu melawan bencana global ini. Sesaat dapat menghentikan Korea Utara yang tak jemu memicu suasana tegang kawasan dengan berbagai uji coba nuklirnya. Atau memaksa serdadu Suriah menanggalkan senapan mereka dan bersembunyi di balik puing-puing bangunan dari musuh biologis yang tak terkendali ini. Amerika Serikat pun seakan-akan berhenti, minta cuti sebagai polisi dunia yang biasanya suka mengurusi negara lain demi kepentingannya politik ekonominya sendiri.
Betulkan perayaan Nyepi berangkat dari kesadaran spiritual yang tinggi? Dasar-dasar tattwa (filsafat) hari raya Nyepi tak dapat diragukan kebijaksanaannya, ia seutuhnya energi kebaikan dan pembebasan. Ada tradisi modern yang telah mengkonfirmasi perayaan Nyepi yaitu apa yang dikenal sebagai Earth Our, yaitu sebuah kampanye hemat energi dengan mematikan lampu listrik selama enam puluh menit. Nyepi melakukannya dalam 24 jam sejak puluhan tahun yang lalu. (Baca, Nyepi: Terapi Kesehatan, Terapi Kita, Bumi dan Peradaban).
Dan saat sejumlah negara memutuskan lock down untuk menyikapi wabah Covid-19, semua pihak kembali menyadari betapa jeniusnya hari raya Nyepi di Bali. Seluruh bangsa-bangsa di dunia atau seharusnya PBB sudah saatnya menyatakan perayaan Nyepi sebagai warisan budaya dunia.
Seperti halnya realita yang sering kali tak selaras dengan idea, maka kita perlu menata kembali “budaya Nyepi” agar harmonis dengan filsafatnya. Tanpa kita sadari, hari-hari ini, perayaan Nyepi lebih menampilkan hingar bingar atraksi ogoh-ogoh yang menyeret emosi persaingan, menyisakan sisa-sisa sarana pawainya di jalanan atau tumpukan bekas upakara di perempatan jalan. Lalu kita selalu berdebat soal pelayanan internet atau razia lampu di pemukiman warga pada malam Nyepi.
Saat hal-hal seperti ini telah menyibukkan
hati dan pikiran kita maka hari raya Nyepi tak lebih daripada sekadar sebuah
tata tertib, perlahan telah menjauhkannya dari filsafatnya yang agung. Alam,
sejatinya telah memiliki tata tertib yang mustahil salah, satu-satunya tugas
kita adalah bergerak bersamanya. Jika tidak, maka kita akan berhadapan
dengannya, mereka memiliki virus Corona, air bah atau badai suhu panas yang
akan memaksa kita nyepi dan nyepi lagi. [T]