__
Nanging ne munggah ring lontar,
Wong tiwas munggah ring gurit,
Sampun ia mapumahan,
Mangelah pyanak tetelu,
Mwani pedadwanan,
Luh adiri,
Ne paling wayan ia pejah.
Ne nengahan milu pejah,
Matinnyane gebug gering,
Daweg gerubuge reko,
Irika ia pada lampus,
Mati patpat sibarengan,
Luh mwani,
Memennya teken bapannya.
Kantun ne paling nyoman
Kejabut antuk I Gusti,
Manjing dalem Puri reko,
Ring Ida Anake Agung,
Wajah limang likur temuang,
Kari alit,
Mawasta I Jayaprana.
Alkisah yang tertulis dalam lontar,
(kisah hidup) orang miskin-melarat dijadikan tembang,
setelah ia menikah,
punya anak tiga orang,
laki dua orang perempuan seorang,
yang pertama tewas.
Yang nomor dua ikut mati,
matinya kena wabah gering gerubug,
ketika gerubug itu,
di sana mereka tewas,
mati keempatnya bersamaan,
laki perempuan,
ibu beserta bapaknya.
Yang tertinggal selamat yang ketiga (Nyoman),
dipungut oleh I Gusti (sang raja),
diajak ke dalam Puri-Istana dikisahkan,
masih bau kencur,
masih anak-anak,
bernama I Jayaprana.
Kisah gerubug atau wabah menewaskan di Pulau Bali ada banyak. Banyak kenangan bagaimana wabah menewaskan sebagian besar warga desa-desa di masa lalu. Salah satunya seperti terekam dalam Geguritan Jayaprana.
Geguritan ini bukan salah hanya halayan penduduk dan bukan cerita sebelum tidur biasa. Ini adalah rekaman peristiwa wabah pandemik yang sempat menghancurkan kehidupan di masa lalu yang lokasi kejadiannya di desa Kalianget, kecamatan Seririt, Buleleng.
Tidak jauh dari Desa Kalianget, terdapat kisah cerita rakyat asal usul nama desa Sidatapa yang juga punya kenangan tentang wabah yang menghancurkan desanya. Mereka menyebutnya sebagai Gering Grubug Bah Bedeg.
Menurut cerita orang-orang tua ada wabah besar terjadi di desa Sidatapa. Secara temurun dikisahkan dahulunya desa Sidatapa bernama desa Gunung Sari. Cikal-bakalnya ada kelompok keluarga yang terpisah-pisah tinggal di kawasan pedusunan Leked, Kunyit, dan Sengkarung. Ketiganya ini bergabung membentuk desa. Dinamakan Desa Gunug Sari. Tidak dikisahkan setelah berapa tahun kemudian, desa yang tenang ini berubah mencekam. Banyak kematian tiba-tiba. Warga ketakutan. Kematian terjadi secara tiba-tiba dan tidak masuk akal. Datang pertapa membantu. Setelah sang pertapa memasuki alam tapa, beliau mendapat petunjuk dan berhasil menyelamatkan sebagian warga yang terkena wabah. Desa ini kemudian namanya diganti menjadi Desa Sidatapa. Dimaksudkan sebagai desa yang selamat karena seorang pertapa ‘siddha’ (berhasil) melakukan ‘tapa’.
Disamping penduduk Sidatapa, ada desa Pedawa yang mengenal kisah gerubug. Di barat Kalianget, di desa Banjarasem dan Kalisada juga mengenal kisah yang sama. Juga dikenal wabah itu sebagai Gering Bah Bedeg.
Jika kita lebih ke timur menyisir pantai Bali Utara, kita masuki desa Julah, kita juga akan mendapati ada kisah gerubugyang sangat mendalam.
Masyarakat desa Julah (dan juga Sembiran), kecamatan Tejakula, punya kisah mendalam tanaman gerubug, sakit gede,bah bedeg dan gering agung. Mereka sampai, kalau penduduknya keluar desa membawa daun intaran atau mimba (Azadirachta indica). Menurut sejarahnya daun ini menyelamatkan masyarakat Julah dari gerubug. Intaran (Mimba) menjadi tanaman yang wajib ada di setiap rumah masyarakat. Tanaman ini di Julah sangat disakralkan, karena jasa menyelamatkan leluhurnya, dan khasiatnya sampai sekarang terbukti menyembuhkan berbagai penyakit. Intaran terus dipakai sampai saat ini sebagi sarana upacara seperti tepung tawar. Bisa juga daunnya diusapkan di tangan untuk mematikan bakteri.
Bukan hanya di Bali Utara masyarakat saja yang mengenal istilah gerubud. Bukan hanya di desa Kalianget saja dikenal kisah Jayaprana yang selamat dari gerubug dikenal. Di banyak desa secara turun-temurun persebaran wabah atau gering gerubug dikenal. Bahkan ada yang sampai ingat secara turun-temurun diceritakan situasi di masa lalau itu. Beberapa jumlah korban, bagaimana keadaan luar biasa itu memakan jiwa. Di sebuah desa disebutkan sampai-sampai mayat menumpuk, belum terkubur satu, tewas lagi satu, demikian seterusnya. Sampai-sampai tidak ada yang siap mengusung mayat ke kuburan. Situasi ini dikenal sebagai grubug agung.
Di Karangasem, Bangli, Gianyar, Badung, Denpasar, Tabanan, dan Negara, semua penduduk Bali memahami apa arti kata gerubug. Rekam jejak wabah gerubug di Bali direkam dalam peristilahan yang diwariskan di ranah kebahasaan atau kosa kata Bali, seperti:
—Mrana. Kata ini berarti wabah, baik wabah yang menyerang tumbuhan, hewan, dan manusia.
—Kegeringan. Kata ini berarti terserang penyakit terkhusus manusia, yang datang bisa sesuai musim. Lontar Usada Manut Sasih mengelompokkan berbagai penyakit menular sebagai sakit musiman yang memiliki siklus, dan sakit yang datang dalam pancaroba yang panjang, cuaca tidak menentu, berlalu lokal serta global (gumi kageringan).
—Gerubug . Artinya wabah yang menelan kematian mendadak dan serempak, tidak ditemukan gejala lama, langsung mewabah dan menewaskan. Kata gerubug bisa dipakai ketika ternak mati mendadak serempak, dan juga kematian manusia yang terjadi serempat dan mewabah.
Berbagai desa di Bali yang punya sejarah grubugdan mrana mengenal tarian Sanghyang yang sebagiannya memang berhubungan dengan tradisi menghalau mrana dan gering.
Selain tarian Sanghyang, masyarakat Bali secara upakara mengenal berbagai upakara pecaruan dalam nangluk mrana, penangluk gering, pelukatan, prayascita, dll dilaksanakan ketika ada pertanda alam yang tidak seimbang yang berpotensi membawa musibah kemanusiaan, penyakit menular yang bisa berdampak kematian massal.
Banyak kata gerubug disebut dalam lontar-lontar Bali. Dari sekian banyak lontar usada di Bali, seperti: Usada buduh, Usada Rarae, Usada kacacar, Usada Tuju, usada Paneseb, Usada Dalem, Usada Ila, Usada bebai, Usada Ceraken Tingkeb, Usada Tiwang, Usada Darmosada, Usada Uda, Usada Indrani, Usada Kalimosada, Usada Kamarus, Usada Kuranta Bolong, Usada Mala, Usada Rukmini Tatwa, Usada Smaratura, Usada Upas, Usada Yeh, Usada Buda Kecapi, Usada Cukil Daki, Usada Kuda, Usada Pamugpug, danUsada Pamugpugan, dll; kita mengenal ratusan penyakit (gering) yang pernah menimpa masyarakat Bali. Salah satunya yang sangat ditakuti adalah gerubug.
Dari lontar-lontar, kisah rakyat, ingatan turun-temurun, kita diajak siap melihat masa lalu: Gerubug pernah menyerang Bali. Gerubug pernah memporak-porandakan Bali, tidak dilupakan demikian saja, masih diingat sebagai cerita, sebagai mitos, bahkan masuk menjadi bagian pementasan kesenian tradisional.
Lontar Taru Pramana adalah salah satu lontar yang disebutkan sebagai ajaran suci dari Bhatari Ghori (Durga) yang diturunkan ke Mpu Kuturan ketika dunia dilanda gerubug. Dunia dilanda wabah cakbyag(mati di tempat) yang memakan korban sebagian warga. Dalam suasana itu sedih dan tergerak hati Mpu Kuturan. Ia melakukan tapa memuja Bhatara agar diberi kekuatan penyembuhan. Ajaran yang diterima dalam tapa itu dikenal sebagai lontar Taru Pramana. Lontar ini menyebutkan setidaknya 202 tumbuhan di sekitar kita adalah obat yang mujarab yang bisa dipakai ketika masyarakat dilanda wabah.
Kisah gerubug di Kalianget adalah kisah dimulai dengan pilu. Ditutup dengan pilu.
Karena wabah gerubug, seorang anak kecil ditinggal 2 saudaranya dan ibu-bapaknya, dan ia menjadi yatim-piatu. I Jayaprana selamat di masa kecilnya dari grubug, dipungut oleh raja, tapi di masa mudanya, ketika ia jatuh cinta pada seorang gadis, sang raja yang awalnya memberinya hidup, meminta nyawanya. Perempuan yang dicintai I Jayaprana, bernama Ni Layonsari, yang ingin dinikahinya, ternyata membuat sang raja mabuk kepayang, kehilangan ingatan. Ia ingin memperistri Ni Layonsari. Ia perintahkan patihnya Saung Galing menyingkirkan I Jayaprana dengan diajak ke hutan Bali Barat, di wilayah Teluk Terima, I Jayaprana diminta nyawanya oleh Patih Saung Galing. Diceritakan Ni Layonsari mendapat pertanda dari Dewata akan kematian I Jayaprana. Ia menyusul dengan bunuh diri.
I Jayaprana selamat dari wabah alam bernama gerubug, tapi ia tewas dilibas oleh wabah gelap mata penguasa yang kehilangan kejernihan dan diperbudak nafsu kuasa.
Kisah I Jayaprana yang dimulai dengan wabah ditutup dengan pesan moral mendalam: Bagi mereka yang tanpa dosa, senantiasa berbuat kebajikan, mereka akan masuk surga. Jika di bumi cintanya dipisahkan penguasa lalim, maka di surga mereka dipersatukan.
Tan kocapan sapunika,
Atmanne Ni Layonsari,
Lan I Jayaprana reko,
Sampun presida matepuk,
Matemu dane ring swargan,
Makekalih,
Makurenan tur mamarga.
Dwaning dane tan pa dosa,
Kawon olih kabencanin,
Bathara sami mabawos,
Kapatut dane kajunjung,
Kalinggihang ring utama,
Jati lwih,
Suci ening tur nirmala.
Sapunika kojarannya,
Asing melaksana lwih,
Swarga kapangguh reko,
Amunika linggih puput,
Punggel ikanang carita,
Tur ne mangkin,
Tan kawarna lampah ira.
Atma-jiwa Ni Loyonsari,
Dan I Jayaprana katanya,
Sudah berhasil berjumpa,
Bertemu mereka di surga,
Keduanya,
Menikah dan berjalan.
Karena mereka tiada dosa,
Meninggal karena dibunuh,
Semua Bhatara berkata,
‘Kebenaran yang dijungjung,
Tempatkan sebagai yang utama,
Sangat mulia,
Suci hening tanpa cela.
Demikian dikisahkan,
Sepanjang berbuat kebaikan,
Disebutkan suarga yang akan ditemui,
Demikian duduk cerita selesai,
Dan sekarang,
Tidak terbayang perjalanannya.
___
Keterangan ilustrasi:
Wabah menyerang desa. Korban berjatuhan. Saudara dan orang tua I Jayaprana tewas. Ilustrasi oleh Adi Permadi dalam buku ‘JAYAPRANA’ yang diceritakan kembali oleh Atisah, diterbitkan oleh DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PUSAT PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL, JAKARTA, 2000.
BACA JUGA: