Pada hari Sabtu, 9 Maret 2020, saya mengikuti tahap kedua dalam ajang Pemilihan Duta Bahasa Indonesia Tingkat Provinsi Bali. Ada dua hal yang diujikan pada tahap ini yakni tes tulis dan tes wawancara. Melalui tahap kedua, peserta lolos yang sebelumnya berjumlah 40 untuk kategori pria dan 40 wanita akan diseleksi menjadi masing-masing 10 peserta. Menurut panitia yang saya sempat tanya, kegiatan ini diikuti oleh 300-an peserta.
Sebelumnya, pada tahap pertama, pihak panitia mensyaratkan masing-masing peserta membuat semacam tulisan yang lebih condong pada argumentasi, alih-alih esai mengenai pensikapan kami selaku generasi muda terhadap posisi bahasa Indonesia dalam konstelasi global memasuki era disrupsi informasi.
Ide awal tulisan ini diinisiasi oleh diskusi saya dengan Pembimbing Kemahasiswaan (PK) di lingkungan Jurusan Sejarah, Sosiologi dan Perpustakaan (Jurusan SSP), Bapak I Putu Hendra Mas Mas Martayana. Beliaulah yang memberikan banyak masukan. Beliau berharap bahwa tulisan yang dihasilkan oleh anak Prodi Pendidikan Sejarah seperti kami tidak terpenjara dalam normativitas pendidikan. Artinya, tulisan itu harus kritis terhadap fenomena global yang berkembang akhir-akhir ini. Muaranya adalah sebuah tulisan yang menjadi ciri khas anak sejarah yang mampu menautkan masa lalu, masa kini dan masa depan.
Tes tulis saya lewati dengan lancar, lalu tibalah sesi wawancara dengan tiga dewan juri. Namun yang agak aneh adalah, hanya tulisan milik saya dan kolega saya yang berasal dari prodi yang sama atas nama Putu Sulistyawati disisihkan dari esai peserta lain. Pertanyaan yang diajukan terdengar berbeda dengan peserta lain. Saya melihat juri cenderung melakukan gugatan terhadap pandangan kami mengenai posisi bahasa Indonesia. Menurut juri, tulisan kami kurang konstruktif sebagaimana yang diminta. Alih-alih menyajikan narasi kebajikan dari bahasa Indonesia sebagai lingua franca, tulisan kami menekankan pada sense of self critic terhadap cara pandang kebahasaan bagi kebanyakan orang.
Khusus pertanyaan seputar bacaan, saya jawab “Das Capital” yang ditulis Karl Heinrich Marx. Das Capital sebagai magnus opum Marx terinspirasi dari karya Thomas Moore berjudul Utopia (tempat indah), filsuf Inggris yang lahir tiga abad sebelum Marx. Setidaknya itu informasi yang berhasil saya himpun dari PK Jurusan SSP, baik melalui diskusi singkat maupun dalam beberapa tatap muka perkuliahan. Bapak Hendra sendiri juga mendaku sebagai pengagum ide-ide Marx, terutama tentang emansipasi dan humanisme. Mungkin itu yang menyebabkan akun FB dan IG-nya mencomot nama Marx menjadi “marxtjes”. Tapi entahlah, mungkin benar mungkin juga salah.
Pada akhirnya, kami berdua tidak lolos sepuluh besar. Meski begitu, tidak ada raut kekecewaan. Pun demikian dengan pembimbing kami, Bapak Hendra yang sebenarnya berharap banyak atas keikutsertaan kami di ajang ini. Selepas mendengar keluh kesah seputar tes tahap kedua, simpul senyum kecil menghiasi wajahnya. Menurutnya, virus kritisisme harus ditanamkan sejak dini kepada generasi muda sehingga senantiasa menghasilkan kegelisahan dan pertentangan pemikiran serta menjaga kami tetap sadar dan berakal. Matinya kritisisme itu tatkala generasi muda telah hilang kegelisahannya.
Tulisan ini saya dedikasikan bagi upaya penyadaran generasi muda, bahwa berpikir kritis yang tidak terkungkung normativitas adalah keharusan. Penyampaian suara-suara emansipatif dan humanisme yang bersifat empatik mendesak untuk dilakukan. Oleh sebab itu, saya atas desakan PK SSP mengirimkan tulisan ini ke platform Tatkala untuk dibagikan kepada handai tauladan sekalian. Semoga menginspirasi.
Menurut kamus Britanica, bahasa adalah sistem umum yang diucapkan, secara manual atau menggunakan simbolisasi tertulis yang dimaksudkan dan digunakan oleh manusia, sebagai anggota dari kelompok sosial dan partisipan aktif dalam sebuah budaya sebagai alat untuk mengekspresikan diri. Dari definisi itu, kita dapat menyimpulkan bahwa bahasa memiliki fungsi yang sangat fundamental di dalam perkembangan umat manusia. Terutama sebagai media komunikasi dalam suatu komunitas. Di samping itu, bahasa juga dapat digunakan sebagai sarana yang membentuk identitas suatu kelompok masyarakat dalam mengekspresikan diri mereka. Pengekspresian imaginasi dan emosional juga menjadi fungsi lain bahasa, mengingat bahwa bahasa itu merupakan hasil dari perkembangan sebuah budaya dalam rentang waktu yang sangat lama.
Dari pernyataan di atas, muncul pertanyaan, seberapa pentingkah bahasa dalam kehidupan sosial manusia? Jawabanya tentu saja penting. Bahasa, atau lebih dikenal sebagai sistem simbol dengan segala kerumitan yang kita kenal sekarang adalah penanda yang membedakan antara kehidupan homo sapiens selaku moyang manusia modern dengan mahkluk lain terutama binatang. Bahasa telah menghasilkan jarak sosial yang amat jauh antara kehidupan manusia dengan mahkluk lainnya di bumi ini. Sebab, melalui kebahasaan, peradaban-peradaban besar dapat dibangun sehingga manusia menjadi penguasa tunggal atas dunia ini meski kehadirannya belakangan. Setidaknya itu yang tersirat di dalam sebuah buku yang berjudul “Homo Sapiens” yang dikarang oleh Yuval Noah Harari.
Seperti yang kita ketahui, sejarah bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran pemuda. Di era pergerakan nasional, para pemudalah yang memelopori diskusi-diskui politik. Titik kulminasinya dapat kita saksikan pada peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, di mana salah satu unsur penting yang dideklarasikan itu menjadikan bahasa sebagai elemen penting disamping tanah air dan tumpah darah keindonesiaan. Dengan demikian, dalam proses pembentukan identitas nasional yang mencapai titik puncak para proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, dapat dikatakan bahwa bahasa Indonesia telah menjadi bahasa pengantar yang menghubungkan aneka macam suku dan agama dari Sabang hingga Merauke.
Dengan melihat fakta sejarah di atas, sesungguhnya peran pemuda tidak berhenti hanya sampai di situ. Ia bergerak dinamis sesuai dengan perkembangan jaman. Khususnya di era sekarang, di mana pertukaran sosial antar bangsa dan negara di dunia yang dikatalisasi teknologi telah meluluhlantakkan sekat-sekat identitas termasuk bahasa, peran pemuda sangat dibutuhkan untuk melakukan pengembangan sekaligus menjadi selektor terhadap anasir negatif globalisasi sehingga adaptif dengan perkembangan jaman. Meski demikian, upaya untuk menjaga keaslian bahasa Indonesia sebagai identitas nasional tidak sepenuhnya bisa dilakukan. Alasannya, merujuk kepada persitiwa masa lalu bahwa bahasa Indonesia, seperti halnya bangsa Indonesia merupakan melting pot bahasa-bahasa dunia. Di dalamnya kita akan menemukan kosakta-kosakata yang diserap dari aneka bahasa dunia yang pernah melakukan pertukaran sosial di masa lalu dengan bangsa kita. Beberapa di antaranya ada bahasa Arab, Sanskrit, Belanda, Portugis, Belanda, Perancis, Jepang, Inggris, Jerman, Cina dan tidak terhitung aneka bahasa daerah. Tentu saja dalam prose itu tidak bisa dikesampingkan peran orang-orang Cina yang dengan gigih telah menjadikan bahasa melayu pasar (dibawa orang-orang Cina Hokian) sebagai bahasa perdagangan.
Dewasa ini, ketika kita dihadapkan pada momen pertukaran sosial yang semakin intens antarbangsa di dunia yang dikatalisasi oleh globalisasi, ada semacam kekhawatiran bahwa suatu saat, westernisasi, hedonisme dan juga sekulerisme akan menjadi keseharian kita. Ini berarti identitas kita sebagai sebuah bangsa juga ikut mengalami dekadensi. Pertanyaanya kemudian, bagaimana dengan bahasa Indonesia di masa depan? Apakah masih tetap sama, berkembang, stagnan atau jangan-jangan mengalami kepunahan karena tidak digunakan sebagai akibat beralihnya para penutur ke bahasa-bahasa asing yang dianggap memiliki prestise tinggi.
Bahasa, sebagaimana halnya negara bangsa dalam rangkaian sejarah mengalami pasang dan surut. Di masa lalu, bahasa Mesir dengan huruf hierogliphnya menjadi bahasa yang dominan dipergunakan orang Mesir. Begitu juga bahasa Mesopotamia, babilonia dan bahasa-bahasa dari peradaban besar lainnya. Pada akhirnya mengalami kepunahan seiring tumbangnya kekuasaa mereka atas berbagai wilayah seiring kemunculan imperium-imperium baru. Beranjak dari fakta sejarah itu, tentu saja kita sebagai pemuda Indonesia tidak menginginkan salah satu identitas nasional, yakni bahasa Indonesia bernasib sama dengan bahasa-bahasa dari peradaban lain di luar sana. Oleh sebab itu diperlukan langkah-langkah preventif untuk melindungi kebahasaan kita dari pengaruh egatif globalisasi yang berpotensi merusak.
Dalam konteks kebahasaan, muncul adagium yang berbunyi “kuasailah bahasa asing, pergunakanlah bahasa Indonesia dan lestarikan bahasa lokal”. Menurut saya, adagium itu sangat kontraproduktif dan merupakan implikasi dari persinggungan sekaligus pergesekan kepentingan antarbangsa di dunia. Kita diwajibkan menguasai bahasa asing, entah itu Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, Cina dan Jepang.
Bahasa Inggris adalah bahasa pergaulan internasional sehingga penguasaan terhadap bahasa ini sangat diperlukan untuk memperlacar komunikasi kita di belahan bumi manapun berada. Saya pikir, hampir di seluruh negara-negara di dunia menjadikan bahasa Inggris sebagai standar pergaulan internasional dan bahkan dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan. Kekurangpedulian terhadap penguasaan bahasa ini tentu saja berakibat fatal bagi kita seperti menjadi tidak up to date dengan perkembangan dunia yang diinisiasi oleh beragam informasi di mana bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris.
Menurut saya, kekurangpedulian terhadap bahasa asing minimal Bahasa Inggris terutama didorong oleh inferiority complex yang dialami oleh hampir seluruh negara dunia ketiga yang note bene pernah mengalami penjajahan negara-negara Barat. Akibatnya, mereka menjadi pribadi rendah diri yang kurang ekspresif dan kebahasaan salah satunya. Di samping itu ada juga perasaan takut salah dan lalu enggan mengalami bully sosial jika pelafalan mereka dalam pergaulan sosial salah. Mereka lemah, alias baper secara sosial karena tidak kuat menerima kritikan, apalagi cacian cum hinaan. Persoalan ini juga diperkuat oleh stigma yang dibuat negara di masa lalu perihal segala sesuatu yang berbau asing dianggap sebagai antirevolusioner. Setidaknya itu yang terjadi di masa orde lama yang memang anti barat. Akan tetapi masalah stigma yang diciptakan negara Orde Lama di masa lalu saya pikir tidak relevan lagi pada konteks masa kini.
Beberapa alasan di atas nampaknya tidak berlaku pada sebagian pemuda lain yang saya temui. Stigma eksklusif pada penguasaan terhadap bahasa asing di samping menciptakan stigma negatif, juga melahirkan previleg bagi penuturnya. Orang dengan kemampuan bahasa asing yang baik akan dianggap memiliki status sosial di atas rata-rata. Sebab dengan kemampuan itu, mereka akan dapat bercakap-cakap dengan orang dari berbagai bangsa di dunia. Tentu saja hal itu menjadi pengalaman yang tidak akan mampu digapai oleh orang dengan kemampuan bahasa asing yang buruk.
Lalu bagaimana dengan bahasa daerah? Proses indonesianisasi dan sekaligus globalisasi terhadap daerah-daerah telah menempatkan bahasa daerah sebagai elemen minor dalam praktik kehidupan sehari-hari. Aneka bahasa lokal yang ratusan jumlah dengan dialek yang bermacam-macam berpotensi punah. Bahkan, kekurangpedualian kita terhadap bahasa daerah sebagai salah satu warisan budaya nenek moyang telah dimanfaatkan oleh bangsa lain. Mungkin kita ingat momen di mana negara tetangga Malaysia yang dengan gencar melakukan klaim kepemilikan terhadap kebudayaan kita termasuk di dalamnya bahasa.
Perlu diketahui bahwa klaim terhadap kebudayaan itu dimaksudkan untuk mendukung wacana “Malaysia, Truly Asia”. Sebagai generasi muda, tentu masalah ini tidak bisa diaggap sepele. Jika Malaysia menggunakan klaim budaya kita untuk mendukung wacana di atas, seharusnya kita juga bisa melakukan klaim yang lebih serius terhadap fakta sosial masyarakat Indoensia bahwa “Indonesia is Really Asia”.
Dari masalah kebahasaan tentang lokalitas, nasionalitas dan globalitas itu, sesungguhnya kita dalam masalah serius yang dihadapkan dengan berbagai pilihan jalan. Di satu sisi sebagai bentuk kecintaan terhadap tumpah darah harus melestarikan bahasa lokal, sebab kandungan fakta mental sekaligus sosial warisan nenek moyang yang tidak bisa bisa kita anggap enteng. Pengetahuan terhadap bahasa daerah akan menjelaskan bahwa betapa nenek moyang kita di masa lalu telah memiliki kecerdasan kognitif setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Di sisi lain, nasionalisme Indonesia telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar yang mempersatukan kita. Bahasa Indonesia menjadi perekat yang mampu mentransmisikan cita-cita dan tujuan nasional Indonesia. Meski begitu, penguasaa kedua bahasa ini tidak lah cukup. Penguasaan bahasa asing diperlukan utuk melihat dunia dari cakrawala berbeda. bahasa Inggris sebagai salah satu prototipe perlu dikuasai sebagai bahasa pengantar internasional karena digunakan oleh hampir seluruh umat mausia di dunia. Dengan menguasai bahasa asing, khususnya di era globalisasi, kita tidak akan menjadi bangsa yang kerdil. Kita akan bisa berbicara banyak dalam kancah international. Oleh sebab itu menjadi resiko yang harus kita tanggung sebagai generasi muda di masa epan untuk mampu menguasai tiga bahasa ini. [T]