Ini cerita saya ketika pulang dari ibu kota ke kampung halaman. Rasa rindu ingin bertemu teman-teman karena selama dua pekan sudah saya hijrah ke ibu kota. Saat itu hujan cukup deras, ada kabar teman-teman saya akan bertemu. Karena memang rindu, walau hujan saya tak peduli.
Saya tetap berangkat. Rasa senang hati ini saat melihat dan bertemu teman-teman saya itu. Meskipun usia saya dengan mereka terpaut cukup jauh. Saya yang paling mungil dari segi fisik. Saya juga yang paling muda. Tapi tak punya bakat apa-apa. Dibanding mereka yang jauh lebih kritis dan kreatif. Juga berpendidikan. Sungguh saya beruntung bertemu mereka.
Saat itu, hari mulai petang. Kami memutuskan untuk pergi nongkrong bersama. Hanya untuk sekedar ngobrol dan basa-basi saja. Jika ada yang penting, kami bahas. Tiba kami di sebuah kedai kopi milenial milik salah seorang teman. Di sana kami disodori beberapa lembar kertas menu yang berisi banyak pilihan olahan kopi juga kawan-kawannya.
Dengan setia waitress menunggu pesanan kami. Satu persatu dari kami menyebutkan dan mencatat pesanan. Tak lupa kami bertanya pada waitress mengenai menu yang tersedia. Maklum semua berbahasa Inggris. Dan yang ada di menu tidak ada yang tau bagaimana wujud makanan dan minuman yang akan disajikan.
Saya memesan satu gelas cappucino ice. Karena tak terlalu bisa menikmati yang hot. Teman saya ada yang pesan hot cappucino, kopi susu gula aren, dan teh pekat.
Namun satu teman saya nampak kebingungan. Tanpa malu-malu ia bertanya kepada waitress kopi apa saja yang dimaksud dalam menu. Awalnya ia memesan Espresso. Namun tak lama kemudian pesanannya pun berubah menjadi Macchiato. Kami semua ya hanya diam. Karena kami pikir dia sudah tahu Macchiato seperti apa.
Sembari menunggu kami mengobrol ngalur ngidul. Dari yang serius hingga yang benar-benar tak serius. Maklumlah, kami sedikit slengekan. Hahaha.
Tak lama pesanan pun tiba. Waitress cantik dengan nampan di tangan mengantarkan dua kopi susu gula aren yang dikemas dalam botol plastik. Lima menit kemudian pesanan saya datang. Cappucino Ice. Segera saya campur gula cair yang diberikan lalu diaduk dan segera saya nikmati.
Teman saya dengan khas topi petani itu nampak sedikit was-was. Pesanannya belum tiba. Setelah kegelisahan itu, kopi yang dipesannya pun tiba di meja kami. Hot Macchiato. Saat waitress meletakkan cangkir itu di hadapannya, wajah bingung dan kocak nampak jelas. Terang saja kopi yang dipesannya berukuran mini alias kecil. Mungil sekali. Lebih mungil dari badan saya.
Saat melihat kopi pesanannya itu, teman saya berkata, “Adi cerik gati? Adi bedik gati maan? Care kopi Jro Gede ne awake bange!” (Kok kecil sekali? Kok dapatnya sedikit? Kayak kopi untuk haturan Jro Gede dikasih). Jero Gede adalah bangunan suci atau palinggih di pekarangan rumah. Selain menghaturkan canang atau banten, di palinggih itu biasnya juga dihaturkan kopi. Nah, kopi yang dihaturkan biasanya menggunakan gelas yang kecil, meski banyak juga yang menghaturkan dengan gelas besar.
Sontak teman-teman tertawa besama. Perlahan ia nikmati kopi itu dengan sendok mungil pula. Saat itu, ia kembali berkata, “Adi didih deen kopine ne ah? Cangkire bek ngenahne, mare sendok adi didih deen isine!” (Kok kopinya busa aja ya? Cangkirnya terlihat penuh, tapi isinya busa saja!)
Lagi-lagi kami dibuat tertawa olehnya. Rasa menyesal tak jadi memesan espresso pun jadi bahan bulan-bulanan kami terhadapnya. “Kan be orain, pesen ane tawang-tawang deen. De ajum”. (Kan sudah ku bilang pesan yang wajar-wajar saja. Jangan sok),” celetuk teman di samping saya.
Jujur, saya tak bisa menahan tawa saat itu. Meskipun saya juga tak tau bentuk Macchiato seperti apa, setidaknya saya tak berani coba-coba. Akhirnya dia kembali memesan kopi hitam biasa alias kopi tubruk dengan label L3. Entah apa artinya. Yang jelas kopi L3 yang kalihatannya seperti kopi tubruk itu sangat enak. Hmm jadi deh minum kopi double. Hahaha
Lama setelah itu, hot cappucino pesanan teman saya yang lain belum juga tiba. Rasa gelisah seperti sapi birahi pun nampak pada dirinya. Lehernya panjang menengok-nengok barista cantik yang tengah meracik kopi. Mungkin demikian. Heheheh. Karena menunggu terlalu lama, akhirnya kami kompak memanggil waitressnya menanyakan kopi pesanan teman saya itu. “Tunggu ya, masih dibuatkan,” kata waitress itu dengan manis. Teman saya dengan mata sipitnya pun dengan polos menjawab, “Iya, Mbok”.
Tak sampai 5 menit hot cappucino datang. Senyum senang teman saya nampak jelas. Dengan semangat ia merobek bungkus gula dan mencapurkannya ke dalam kopi. Entah grogi, degdegan atau bagaimana ia mengaduk kopi dalam cangkir itu. Mengoyak lukisan indah di atasnya dan memutar sendok dengan kecepatan penuh sampai kopi itu tumpah. Dan cup kopi pun terlihat tidak bersih. Ckckckckc ada-ada saja kelakuannya.
Jadi saya sarankan kepada teman-teman yang membaca tulisan saya ini untuk googling terlebih dahulu sebelum membeli kopi. Supaya tidak terjadi tragedi seperti teman saya yang bertopi petani itu. [T]