Di pagi yang cerah, Bhatara Guru dan Dewi Uma jalan-jalan di atas hutan Gunung Indrakila. Mereka begitu bahagia memandang hijaunya hutan Indrakila yang dihiasi kemilau puncak gunung. Tak terbendung kebahagiaan yang dirasakan Dewi Uma.
“Baginda, itu di bawah sepertinya ada sebuah danau,” ucap Dewi Uma
Bhatara Guru memalingkan pandangannya menuju ke arah danau yang dimaksudkan Dewi Uma. Memang benar, Bhatara Guru melihat ada sebuah danau di tengah-tengah hutan.
“Bagaimana kalau kita turun melihat danau itu lebih dekat?” tanya Dewi Uma.
“Ya, Adinda. Kita lihat keindahan danau itu.”
Kelembutan suara Dewi Uma membuat Bhatara Guru tak bisa menolak permintaan Dewi Uma. Mereka pun turun ke danau itu. Ketika sampai ke danau itu, mereka begitu takjub menyaksikan keindahan danau. Airnya sangat jernih. Ikan-ikan terlihat jelas menari-nari di antara batang-batang bunga tunjung dan bunga-bunganya yang bermekaran di atasnya. Di sekeliling danau, aneka warna bunga menghiasinya seperti pelangi kayangan yang mengeliling danau itu.
“Baginda, hamba sangat bahagia pagi ini bisa melihat pemandangan taman danau yang begitu indah,” ucap Dewi Uma duduk di sebelah Bhatara Guru di bawah rindang pohon cemara.
“Aku juga sangat bahagia, Dinda. Aku tak pernah membayangkan bisa menyaksikan keindahan taman ini. Di surga pun, aku belum pernah menyaksikannya,” sahut Bhatara Guru penuh sukacita.
“Lihat Baginda! Kupu-kupu menari-nari bahagia menikmati sari bunga. Itu juga, lebah-lebah bernyanyi riang bahagia mengumpulkan nektar dan serbuk sari.”
“Benar, Adinda, taman ini menyediakan segalanya bagi kehidupan serangga. Lihat saja itu, semut berbaris saling berjuang memanen biji bunga matahari.”
Mereka larut dalam kebahagiaan di bawah kesejukan pohon cemara.
Plakkkk! Dewi Uma memukul sesuatu di pundaknya karena kaget dengan suara dengungannya.
“Ada apa, Adinda? Mengapa Adinda begitu terkejut?” tanya Bhatara Guru heran dengan keterkejutan Dewi Uma.
“Apa yang hinggap di pundak hamba tadi?” ucap Dewi Uma masih bingung.
Sedangkan di rerumputan tak jauh dari tempat duduk Bhatara Guru dan Dewi Uma, Lalat sedang mengerang menahan sakit. Rahang Lalat itu bergeser sehingga gigi penggigitnya terlepas.
“Adinda, ini seekor Lalat yang mengagetkanmu,” terang Bhatara Guru. Lalat itu diletakkan di atas telapak tangannya. Lalat itu masih mengerang menahan rasa sakit di mulutnya.
“Coba hamba lihat, Kakanda,” pinta Dewi Uma
Bhatara Guru memperlihatkan Lalat itu yang masih tergeletak lemas menahan sakit di atas telapak tangannya.
“Sungguh serangga yang cantik, tetapi kasihan ia sedang menahan sakit akibat pukulanku yang tak sengaja,” ucap Dewi Uma.
“Ampun, Dewa. Jangan bunuh hambamu ini yang hanya dianugrahi umur 20 hari. Hampa belum sempat menikmati 20 hari hamba,” ucap Lalat mengiba memohon ampunan.
“Aku tidak akan menyakitimu, tetapi aku ingin bertanya,” ucap Bhatara Guru menenangkan kegelisahan Lalat.
“Apa itu Dewa?” sahut Lalat
“Mengapa kamu mengagetkan Dewi Uma?”
“Hamba hanya kagum dengan kecantikan dan keharuman Dewi Uma. Hamba pun ingin melihat Dewi Uma lebih dekat, tetapi hamba tidak tahu kalau sudah mengagetkan Dewi Uma,” jawab sang Lalat.
“Sudahlah, Kakanda, sembuhkan dan lepaskan Lalat itu. Kasian, ia terus menahan rasa sakit,” ucap Dewi Uma menyela pembicaraan antara Bhatara Guru dan Lalat.
“Baiklah, Adinda!” Bhatara Guru mengabulkan permintaan Dewi Uma.
“Lalat, sekarang aku akan menyembuhkanmu, tetapi aku tidak bisa mengembalikan kekuatan rahang penggigitmu,” ucap Bhatara Guru.
“Untuk apa hamba hidup? Kalau dengan umur yang pendek ini, hamba tidak bisa memotong makanan dengan rahang hamba ini,” keluh Lalat sedih.
“Tenang, Lalat. Aku akan meanugerahi kekuatan khusus untukmu sehingga kamu bisa makan tanpa harus menggigitnya lagi,” jawab Bhatara Guru.
Telapak tangan Bhatara Guru memancarkan cahaya pelangi. Cahaya pelangi itu menyelimuti Lalat. Tiba-tiba, cahaya itu masuk ke dalam tubuh Lalat.
“Lalat, bangunlah sekarang. Kamu sekarang sudah mempunyai kekuatan baru. Kamu sekarang memiliki mulut penghisap dan cairan penghancur makanan,” ucap Bhatara Guru
“Terimakasih atas anugerah Dewa kepada hamba,” ucap Lalat bahagia.
“Ingat, Lalat! Sebelum menikmati makananmu, kamu harus meludahi dulu makananmu sehingga kamu bisa menikmati makananmu,” pesan Bhatara Guru.
“Hamba akan selalu ingat dengan pesan Dewa,” jawab Lalat.
“Lalat, sekarang kamu bisa pergi dan terbang sesuai keinginanmu.”
Lalat pun terbang dari telapak tangan Bhatara Guru menyusuri bunga-bunga yang ada di danau Gunung Indrakila. Kini, Bhatara Guru dan Dewi Uma kembali menikmati keindahan danau Gunung Indrakila.
Dalam perjalanan, Lalat menyaksikan beberapa serangga lainnya berkumpul seperti membicarakan hal yang sangat penting. Lalat pun terbang rendah mendekati para serangga yang sedang berkumpul.
“Apa yang sedang kalian bicarakan? Seperti hal yang sangat penting,” tanya Lalat.
“Kami mendapat undangan jamuan makan dari Ratu Rayap,” jawab Kecoa tanpa memperhatikan Lalat.
“Wah, makan enak kita,” ucap Lalat bahagia.
Tiba-tiba di tengah kerumunan serangga, berdirilah Semut di tempat yang lebih tinggi.
“Teman-teman, ingat datang malam ini ke istana baru Ratu Rayap,” kata Semut mempertegas.
“Apakah aku juga diundang, Semut?” tanya Lalat takut tak diundang.
Semut bergegas membuka catatan undangannya.
“Oh, Lalat. Kamu juga diundang,” jawab Semut menggulung catatannya.
“Terimakasih Semut,” ucap Lalat penuh semangat.
Semua serangga pun penuh semangat membubarkan diri. Mereka mempersiapkan diri datang ke istana Ratu Rayap. Lalat juga sangat bersemangat mempersiapkan diri. Apalagi, Lalat memiliki mulut baru. Ia tidak sabar makan makanan lezat.
Malam telah tiba, kunang-kunang menyalakan lampu-lampunya di depan istana Ratu Rayap sebagai penyambut tamu undangan. Undangan pun datang satu-persatu memasuki istana Ratu Rayap. Mereka menikmati kemegahan istana ratu Rayap. Lalat tiba paling terakhir di istana Ratu Rayap. Ia penuh percaya diri tampil menawan.
“Terimakasih teman-teman telah datang ke istana kecilku ini,” sapa Ratu Rayap dengan pakaiannya yang begitu cantik keluar dari kamarnya.
Para tamu undangan menyambut kedatangan Ratu Rayap di ruang jamuan makan dengan penuh rasa terimakasih.
“Mari kita ke meja makan untuk menikmati hidangan yang sudah kami siapkan,” ucap Ratu Rayap mempersilahkan para tamu undangan.
Tamu-tamu menempati tempat duduknya masing-masing melingelilingi meja makan yang begitu besar. Di depannya, mereka sudah dihadapkan hidangan makanan yang sudah siap dinikmati.
“Silahkan nikmati menu makanannya! Semoga kalian semua menikmatinya,” ucap Ratu Rayap.
Para serangga menikmati makanannya, tetapi belum menyantap makanannya. Ia masih memperhatikan makanannya dengan penuh kebahagiaan.
“Akhirnya, sekarang aku bisa menikmati makanan lezat ini dengan mulut baru,” pikir Lalat.
“Mengapa kamu belum makan makananmu, Lalat? Nanti Ratu Rayap tersinggung kalau melihat kamu belum menikmati makananmu” tanya Semut mengagetkan ketakjuban Lalat.
“Tidak, Semut. Aku lagi bahagia dengan makanan yang akan aku nikmati,” jawab Lalat
“Cepat nikmati makananmu, Lalat! Sebelum nanti Ratu Rayap salah paham,” perintah Semut
“Ya, Semut. Sekarang aku nikmati makanan ini’,” jawab Lalat tersenyum.
“Kueeek cuhh,” Lalat meludahi makanannya. Seketika itu, para tamu undangan lainnya terkejut melihat tingkah laku Lalat yang tak biasa. Ratu Rayap ikut bengong melihat Lalat.
“Kueeek cuhh!” Lalat meludahi makanannya.
“Apa yang kamu lakukan, Lalat?” tanya Semut suaranya meninggi.
“Aku lagi makan makanan enak ini. Ini cara makanku sekarang,” jawab Lalat menyedot makanannya. Ia asyik dengan makanannya. Ia tidak menyadari kalau tamu undangan lainnya tidak nyaman dengan gaya makannya.
“Lihat, Lalat! Ratu Rayap sedih karena dirimu. Semua tamu undangan telah kabur. Bahkan ada yang muntah melihatmu makan,” tegur Semut terlihat marah.
Lalat terkejut dengan kemarahan Semut. Seketika itu juga, Lalat menyadari kalau di ruang makan sudah tidak ada siapa-siapa. Ia hanya melihat Ratu Rayap di ujung meja makan sedang bersedih dan Semut dengan wajah marah.
“Maaf aku, Ratu. Sama sekali tidak tahu kalau gaya makanku ini membuat semua tamu tak lagi memiliki selerah makan dan mereka telah pergi,” ucap Lalat menyesal.
“Sudahlah, ini sudah terlanjur terjadi. Aku hanya ingin tahu,” kata Ratu Rayap yang sudah kembali dari kesedihannya.
“Ingin tahu apa, Ratu?” tanya Lalat merasa bersalah.
“Aku hanya ingin tahu. Mengapa gaya makanmu sekarang seperti itu?” ucap ratu Rayap.
Lalat menceritakan semua kejadian yang ia alami di danau Gunung Indrakila. Kejadian yang mengubah semua pengalaman hidupnya ketika bertemu Bhatara Guru dan Dewi Uma. Mendengar cerita Lalat, Ratu Rayap dan Semut memahami keadaan Lalat.
“Ini hanya salah paham. Lalat, mari kita pulang. Sekarang waktunya Ratu Rayap beristirahat,” ajak Semut. Semut dan Lalat pulang ke rumah masing-masing.
Tatkala Ratu Rayap sudah memaafkan kejadian itu, Lalat masih merasa sangat bersalah. Lalat pun berencana menemui Bhatara Guru, tetapi ia tidak tahu harus mencari Bhatara Guru di mana. Ia tidak tahu Istana Bhatara Guru.
“Mengapa aku tidak mencari Bhatara Guru di danau Gunung Indrakila? Siapa tahu Bhatara Guru berkunjung lagi ke danau itu?” pikir Lalat.
Keesokan pagi, Lalat terbang ke danau Gunung Indrakila. Sampailah ia di danau, tetapi tidak melihat ada Bhatara Guru. Ia mengelilingi semua taman yang ada di danau, tetapi juga tidak menemukan keberadaan Bhatara Guru. Ia hinggap di atas bunga tunjung yang sedang mekar. Ia melamun sedih tak peduli ikan-ikan mondar-mandir berenang menyenggol batang bunga tunjung tempatnya hinggap.
“D imana aku bisa bertemu Bhatara Guru? Aku hanya tahu tempat ini,” pikir sedih Lalat.
Seketika kesedihan Lalat sirna tatkala melihat Bhatara Guru dan Dewi Uma muncul di balik awan. Bhatara Guru dan Dewi Uma menuju ke tempat pertama kali mereka datang. Mereka beristirahat di bawah rindang pohon cemara.
“Wah, Bhatara Guru dan Dewi Uma datang lagi ke danau ini. Keindahan danau ini tak akan bisa dilupakan,” gumam Lalat.
Lalat terbang mendekati Bhatara Guru. Lalat hinggap di pundak Bhatara Guru.
“Kakanda! Lalat yang kemarin itu hinggap di pundak kakanda,” ucap Dewi Uma mengagetkan Lalat yang belum sempat menyapa Bhatara Guru.
Bhatara Guru menengok ke pundaknya. “Ada apa lagi Lalat? Kamu datang lagi menghampiriku,” sapa Bhatara Guru.
“Mulut ini membuat hamba dijauhi,” keluh Lalat.
“Sini, hinggap di telapak tanganku. Ceritakanlah apa yang sudah kamu alami,” pinta Bhatara Guru membuka telapak tangannya.
Lalat hinggap di atas telapak tangan Bhatara Guru. Lalat menceritakan semua kejadian yang dialaminya di jamuan makan malam Ratu Rayap. Bhatara Guru mendengarkan semua keluhan Lalat.
“Oh itu masalah yang kamu hadapi. Kalau begitu, aku akan memberikan satu anugerah di mulutmu,” ucap Bhatara Guru.
“Apa itu, Dewa?” tanya Lalat.
Belum sempat Lalat mendengar jawaban Bhatara Guru, telapak tangan Bhatara Guru bercahaya membungkus tubuh Lalat. Lalat menghilang dari telapak tangan Bhatara Guru terbawa oleh kemilauan cahaya.
Ketika Lalat sadar, ia sudah berada di antara tumpukan makanan dan di sebelahnya juga ada tumpukan kotoran.
“Mulai sekarang, kamu hanya bisa merasakan lezatnya makan makanan yang telah dibuang ataupun kotoran. Kamu tidak akan lagi mengganggu selera makan serangga lainnya. Ingat, kamu pun tidak akan bisa menemukanku lagi karena danau Gunung Indrakila sudah menjadi surga yang tidak bisa ditemukan oleh siapapun,” suara Bhatara Guru masuk ke dalam kepala Lalat.
Semenjak itu, Lalat memiliki mulut penyedot dan selalu meludah sebelum menikmati makanannya. [T]