Penikmat seni, mungkin itulah yang paling pas untuk menyebutkan seseorang yang hanya bisa menikmati seni dalam perspektif pemahamannya yang terbatas.
Sore itu, Sabtu 25 Januari 2020, saya berkesempatan menyaksikan pertunjukan teater yang dipentaskan oleh dosen-dosen dan mahasiswi Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar di Taman Dompu Rumah Intaran, di kawasan Bengkala, Buleleng, Bali. Seperti layaknya seni pementasan teater, seharusnya pagelaran ini dilakukan dengan persiapan yang matang. Misalnya, persiapan sejak awal tentang tata lighting, sound, script dan segala embel-embel yang biasanya melekat dalam seni pertunjukan. Namun, saya tak melihatnya, tapi saya menikmatinya.
Sebagai seorang yang hanya bisa menikmati seni, saya menilai tidak ada usaha lebih yang dilakukan dalam pementasan ini. Semua biasa-biasa saja. Kesan saya sangat biasa dan saya menurunkan ekspektasi saat itu. Dengan begitu, saya bisa menyudahi kekecewaan yang mungkin bisa saja menghampiri, ketika pementasan itu berakhir.
Waktu berlalu, saat itu jam dua sore, Guru Gede Kresna sebagai founder Rumah Intaran menyampaikan bahwa pertunjukan akan dimulai, saya bersama teman-teman bergegas menuju Taman Dompu. Namun sebelum sampai disana, saya menyelinap masuk ke areal Pengalaman Rasa. Di sana saya melihat ada lembaran kain-kain kuno dan desainnya sangat tidak biasa (warna dan corak), saya mendengar penjelasan, bahwa kain itu semua adalah kain hasil koleksi Cok Ratna yang usianya 3 kali lipat usia saya (100 Tahun). Selain sebagai kolektor kain tenun bebali, Cok Ratna juga merupakan dosen di ISI Denpasar.
Melihat itu, sontak saja ekspektasi saya mulai meningkat, saya menilai tidak mungkin kain yang bernilai historis dan ekonomis tinggi itu dikeluarkan hanya untuk mendukung pertunjukan remeh-temeh, apalagi seniman yang saya lihat adalah sosok-sosok pria paruh baya yang barang tentu, sarat akan pemahaman dan pengalaman dalam dunia seni.
Desain Taman Dompu sangat unik, jembatan kayu melintang, batu-batu kali tersusun rapi, main stage yang diapit oleh dua pohon besar menambah suasana alami, apalagi di belakang panggung utama, ada jejeran pohon-pohon Soekarno yang menjulang tinggi, pohon-pohon itu menjadi saksi, diplomasi-diplomasi gagasan Rumah Intaran terhadap alam dan kemanusiaan, konon katanya oleh sang empunya,
Taman ini didedikasikan untuk mengenang salah satu anjing kesayangan milik keluarga Rumah Intaran yang tewas akibat diracun oleh orang tak dikenal, nama anjing itu adalah Dompu, begitu mulia sekali, bagaimana binatang peliharaan diperlakukan layaknya manusia, sampai namanya diabadikan sebagai tempat pementasan.
Semilir angin, dedaunan dan ranting yang sayup terdengar saling bergesekan, seolah-olah memantik jiwa yang selama lalai akan keheningan. Mata tertuju pada panggung utama, namun tidak ada yang nampak apa pun dari sana. Namun dari kejauhan tiba-tiba ada pria berperawakan lusuh dengan rambut sebahu berdiri di atas jembatan kayu, menyalakan dupa segenggam, sembari memegang keranjang yang dibaluti oleh lembaran kain bermotif tua. Entah apa yang dilakukan oleh bapak itu, hanya bisa menerka-nerka saja. Pria itu adalah I Wayan Sujana Suklu, orang juga memanggilnya Pak Suklu, atau dengan panggilan lebih lengkap Sujana Suklu.
Di panggung utama saya lihat ada pria berkulit putih, membawa gamelan kecil, layaknya anak kecil yang baru belajar nada dasar. Pria itu memukul-mukul lembaran pelawah, tidak jelas apa nadanya, sembari membolak-balik lengannya yang dibaluti lonceng-lonceng kecil, suaranya berpadu, dengan kepolosan laku yang dibawakannya. Pria itu bernama Ketut Sumerjana, seorang musisi yang juga dosen di Institut Seni Indonesia Denpasar.
Itulah kehidupan, ada yang statis dan ada yang dinamis, dua pria dengan lincah dan pongahnya, meloncat-loncat kesana kemari, mengitari panggung, naik melintasi jembatan, turun sembari beratraksi, membisu dan hanya sesekali terdengar celotehan yang membuat saya bingung, sebenarnya apa yang coba mereka ingin sampaikan dari pertunjukan ini.
Pria itu bernama Itu Gusti Ngurah Subagia, seniman tari yang juga aktif mengajar sebagai Dosen di ISI Denpasar, sementara pria yang satu lagi, berbadan cepak, dengan logat yang agak khas, sudah barang tentu saya bisa menebak dari mana asalnya, pria itu bernama Dek Geh, seniman tari yang tergolong masih muda dan sangat totalitas dalam berkarya, pria ini berasal dari Banyuning, Buleleng, Bali.
Lembut, cantik, ayu, putih langsat, dengan perawakan tinggi, dia bersolek layaknya seorang peragawati yang sedang melintasi panggung catwalk, wanita ini seolah-olah mencoba merayu tatapan penonton untuk menyoroti paras dan lakunya, busana klasik, berbalut kain bersejarah, seolah-olah membawa kami ke dimensi masa lalu, tanpa bersuara, hanya laku yang kami coba duga, apa yang dia sampaikan saat itu, yang pasti saya terpesona. Wanita itu bernama Lady, seorang model yang juga merupakan alumnus dari ISI Denpasar.
Gusti Ngurah Indra, seorang desainer juga turut serta memberikan sentuhan dalam pertunjukan ini, tokoh-tokoh yang terlibat sangat luar biasa, saking begitu luar biasanya, saya tidak mengerti alur yang coba dimainkan, cerita apa yang coba digambarkan. Saya bertanya-tanya dalam diri, sembari mencoba menutupi ketidaktahuan saya, apakah penilaian yang sama juga dialami oleh teman-teman saya yang lainnya.
Saya melihat mereka, para seniman atau para dosen itu, bergerak. Saya melihat mereka seakan menggerakkan panggung di Taman Dompu, memberi jiwa dan nilai.
Pertunjukan itu berakhir, segudang hipotesis tersimpan di kepala, gelisah mencoba mencari tahu, rasa penasaran kembali menyelimuti isi otak. Kegalauan itu terjawab sudah, satu persatu aktor menyampaikan apa yang dialami, mulai dari Sudibia, beliau menyampaikan bahwa ini adalah petunjukan yang ditujukan untuk merespon alam, energi positif yang coba digambarkan dalam setiap gerak para aktor, beliau menyampaikan, seni itu akan semakin baik jika setiap orang memiliki perspektif terhadap apa yang dilihat dan dirasakan.
Sementara Wayan Suklu menyampaikan, bahwa tidak ada alur dalam pertunjukan ini, semua mengalir, respon aktor, penonton dan alam di Rumah Intaran, membuat pertunjukan ini semakin alami, semua memahami apa yang mesti dilakukan, disanalah tantangan yang ada, seni pertunjukan ini tidak memiliki script, setiap aktor adalah sutradara dari setiap peran mereka.
Guru Gede Kresna memandu acara ini, memberikan kesempatan kepada penonton untuk menyampaikan tanggapannya, ada yang menyampaikan dengan kesimpulan bijak, ada yang menyampaikan dengan teori dan pemahaman.
Sementara saya sendiri punya pendapat singkat, “Seni bergerak, seni bebas, kebebasan dalam dimensi perspektif, tidak ada yang rigid, mengalir, tidak ada yang salah, kebebasan dijamin, karena keterikatan adalah penghianatan terhadap seni itu seni itu sendiri.” [T]