Saya mendapat kesempatan untuk melihat ukiran paras tua yang ada di Pura Dalem Kecamatan Banjar, Buleleng, Bali, Minggu 19 Januari 2020. Pura Dalem itu di-sungsungoleh tiga desa adat, yakni Banjar, Tegeha dan Dencarik.
Berangkat dari Griya Dalang Werdhi, dengan melewati beberapa banjar, kami tiba di jabanpura. Sembari menunggu gerbang dibuka, dalam perbincangan, kami diceritakan tentang asal muasal kejadian terbakarnya pura. Katanya, akibat dibakarnya sampah secara sembarangan, tanpa pengawasan, api yang dibantu angin dengan mudah meloncat lebih cepat nan tinggi. Maka terjadilah peristiwa itu.
Kami menunggu di bawah bayang wantilan jaban pura. Alir udara seolah berhenti sehingga hawa yang sebenarnya tidak begitu panas tetap membuat tubuh cepat gerah. Tidak berselang lama, tibalah bendesa adat yang akan membukakan gerbang pura itu. Sebelum masuk, saya sempat mengambil gambar dua penunggu yang berukiran hias bun-bunan yang besar dan tebal.
Yang menarik, pada bagian depan bawah penunggu sebelah kiri, terdapat ukiran biota laut. Saya hanya bisa mengenali beberapa hewan seperti udang, kepiting, dan ikan. Ada yang serupa belut atau ular, saya kurang begitu jeli. Pada bagian atas, tentu ada ukiran hiasan bun-bunan khas Buleleng yang sangat tebal, berisi, penuh dan kuat. Karena gerbang sudah dibuka, kami masuk.
Pada waktu yang bersamaan, ada seekor anjing dengan raut dan gerak yang riang masuk dari gerbang samping, seolah mengantarkan dan menjamu. Anjing putih kurus itu terlihat bersahabat walau ketika saya panggil tidak menoleh. Tanpa ragu, ia bersama kami melihat ukiran batu yang masih utuh meski sudah kehilangan atap.
Ukiran pada pura ini kuno, kata teman saya. Tidak adanya bangunan Padmasana isyarat bahwa ukiran di pura ini masih sangat kuno dan tentu saja kental dengan cita rasa kebulelengannya. Selain terlihat dari bentuk bun-bunan yang sama lebat dan rimbunnya, keunikan juga tersingkap dari bentuk unik wajah tokoh pada ukiran samping pura utama. Pada beberapa pelinggih, saya lihat ada pola bun-bunanyang samar-samar terlihat seperti kepala macan. Pola bun-bunan yang mirip macan itu menyatu dengan batang yang menghiasi pinggir pelinggirnya. Bun-bunanya, kepala macan juga ya. Macan itu seolah sedang menyamar di hutan belantara, bayangan saya.
Tentang macan, saya tertarik melihat sepasang macan pada pelinggih di sebelah kiri bangunan utama, posisinya ada di bawah. Biasanya, di sejumlah tempat lain, dua macan di depan sebuah pelinggih biasanya saya lihat simetris. Kalau macan yang sebelah kiri menghadang ke kiri, maka macan yang lain akan menghadap ke arah berlawanan. Dalam bayangan saya, macan yang saling berseberang pandang itu seperti sedang puik, tidak akur. Barangkali itu yang membuat saya merasa ada sedikit kekakuan dalam gaya duduk dua patung seperti itu.
Namun, berbeda dengan sepasang macan ini. Dua macan ini seolah sangat akrab nan karib. Kalau dalam istilah di Manikliyu, pasangan macan ini sudah mekantenan, sahabat sejati yang sangat dekat dan sering menjelajah kemana-mana bersama-sama. Sepasang macan ini memiliki permulaan ancang-ancang yang sama. Arah pandang mereka juga sama. Macan yang sebelah kanan (dari depan) menoleh ke kanan, macan yang lain juga menoleh ke titik fokus yang searah dengan saudaranya. Mereka seolah memiliki objek tatap yang sama.
Ketika saya katakan pikiran itu kepada teman sekaligus guru saya, dia berkata bahwa itulah uniknya ukiran khas Buleleng dan tidak ada di daerah lain. Pola bebas dan eksploratif pada ukiran paras sangat menonjol. Hal itu menimbulkan ukiran khas Buleleng terasa ada semacam “gerak misterius” yang terkelebat dalam sekali lihat. Juga pada patung-patung khas Buleleng, ada beberapa pose-pose yang sangat nyentrik dan tidak pernah terbayangkan bahwa ada pose seperti itu pada zamannya.
Dalam canda, guru saya berkata bahwa jangan-jangan dalam pembuatan ukiran itu, salah satu tukang undagi sedang mencontek undagi lain dalam membuat macan. Namun karena tidak bisa menguasai orientasi, maka arah kepalanya juga ikut sama dengan macan yang diconteknya. Ia menutup dengan tawa.
Kalau pasangan macan yang memandang ke arah berlawanan itu logis karena simetris, maka macan yang mekantenan ini juga sangat masuk akal karena begitu jujur. Bayangkan, jika ada sepasang macan yang berdampingan lalu ada sesuatu yang bergerak, sesuatu yang mengancam dari arah sisi kanan, tentu kedua macan itu akan menoleh ke arah sumber bunyi yang sama. Tidak mungkin macan yang agak jauh itu akan menantap ke arah yang lain. Bagi saya, itu sangat alami dan di situlah keunikannya.
Karena saking seleg-nya melihat macan dan ukiran-ukiran yang lain di bangunan utama pura, saya lupa mengamati anjing yang menjamu kami tadi. Ukiran-ukiran tersebut juga tidak kalah bagus dan rapi dengan macan yang mekantenanitu.
Setelah cukup lama, kami sepakat untuk pamit. Dalam perbincangan, sedikit saya dengar tentang rencana perobohan bangunan berukiran kuno di Pura Dalem itu. Bangunan yang berukiran khas yang langka ini akan dihancurkan atau tidak, masih dalam menunggu keputusan musyawarah adat.
Anjing kurus yang periang itu juga mengantarkan kami keluar dengan ikut menuruni tangga jaban pura. Dalam benak saya, apabila sisa pura yang berisi ukiran tua khas buleleng itu jadi di-empug dan harus dihancurkan untuk pembangunan pura yang baru, maka hilanglah sepasang macan yang sangat mekantenanitu. Oleh sebabnya, saya bersyukur karena dapat melihat pasangan macan unik itu secara langsung. [T]