“Berlindung pada sastra”. Begitu ada ajaran yang pernah saya dengar dengan telinga Cangak mungil ini. Sastra dalam quote itu berarti segala macam kebijaksanaan. Terutama yang terdapat dalam teks-teks seperti geguritan, kakawin, parwa, upanisad, wedangga, sutra, weda. Mendengar kata-kata itu, membuat saya membayangkan sastra seperti rumah. Rumah sastra tempat saya pulang jika lelah dengan urusan itu dan ini.
Karena sastra adalah rumah, artinya sastralah tempat kita berasal. Ke asal itu pula nanti kita akan kembali setelah melakukan perjalanan jauh. Saya tidak pernah berhenti membayangkan, bahwa hidup ini adalah perjalanan menjauh dari asal. Karena makin hari makin jauh, maka asal itu dengan mudah kita lupakan. Dalam teks-teks Babad yang diwarisi di Bali, kita tidak perlu bersusah-susah menemukan daftar kutukan dari leluhur seandainya kita melupakan asal. Caranya agar ingat, banyak orang yang menempuh jalan berbalik untuk kembali. Kemana? Kembali mengingat asal, leluhur!
Jalan seperti itu disebut nyungsang dalam bahasa Bali. Sejauh ini, ada beberapa hal yang posisinya nyungsang sepengetahuan saya. Nyungsang pertama dilakukan oleh anak tawon. Semasa jadi anak-anak, ia bergantung dalam sarang dengan kepala menghadap ke bawah. Posisi ini dalam teks lontar adalah analogi manusia yang hanya melihat segala kenyataan yang ada di bawah kepalanya. Analogi ini didedikasikan terutama bagi seluruh manusia yang hanya melihat sesuatu hanya dari satu suduh pandang. Karena pengetahuan yang ia dapat hanya dari satu sudut pandang, maka dengan satu sudut pandang itu pula ia menjalani hidupnya.
Nyungsang kedua adalah Ongkara. Ada banyak sekali teks yang bisa dirujuk untuk menjelaskan Ongkara Sungsang. Teks-teks itu tidak akan saya sebutkan satu persatu. Menurut ahlinya ahli Ongkara, Ongkara dengan posisi terbalik adalah simbol air yang terus mengalir. Air yang mengalir itu, bukan sembarang air dan bukan pula air sembarangan. Air itu konon bernama Amerta. A berarti tidak, merta berarti mati. Amerta adalah air yang jika berhasil diminum, membuat peminumnya tidak mati-mati alias abadi.
Nyungsang ketiga adalah Manusia. Saya namakan Manusia Sungsang. Manusia Sungsang ini benar-benar dipraktikkan oleh orang-orang yang memperdalam yoga olah tubuh. Kakinya diangkat ke atas, kepala sebagai tumpuan. Posisi ini disebut Sirsasana.
Nyungsang keempat dipraktikkan oleh salah satu murid Calon Arang. Menurut sumber terpercaya, konon praktik nyungsang ini dilakukan untuk memuja Bhatari Bagawati. Tidak cukup hanya sekadar nyungsang, tapi juga menunjukkan lidahnya yang memanjang. Dengan posisi itu Bhatari Bagawati dipuja dan berkenan muncul di hadapan Calon Arang.
Nyungsang kelima dipraktikkan oleh Kala. Kala selalu dibayangkan secara stereotip berwajah menyeramkan dengan rambut ikal yang panjang. Tubuhnya besar dengan bulu lebih lebat dari hutan hujan tropis. Dalam banyak cerita, Kala bisa mengeluarkan berbagai macam senjata dari pori-porinya. Tidak hanya ratusan, tapi ribuan senjata dan pasukan perang. Kala dalam cerita Sutasoma, bahkan bisa berubah menjadi Naga. Naga jelmaan Kala itu hendak menelan Sutasoma. Kala yang nyungsang disebut Kala Sungsang. Gambar Kala Sungsang ini bisa kita temukan jika kita rajin membaca-baca lontar yang isinya ilmu-ilmu tentang Kala Sungsang. Untuk apa gambar semacam itu? Itu juga yang ingin saya tanyakan kepada yang tahu.
Nyungsang keenam ada dalam cerita Sumanasantaka. Konon ada bunga cempaka yang jatuhnya nyungsang. Ajaibnya, bunga cempaka itu jatuhnya pilih-pilih. Tepat di tengah-tengah dada seorang putri cantik dari kerajaan Widarba. Namanya Indumati. Bunga cempaka itu adalah penghilang kutukan bagi Indumati yang dahulunya adalah bidadari bernama Dyah Harini. Konon bidadari itu dikutuk menjelma menjadi manusia. Ternyata terlahir di dunia ini sebagai manusia adalah kutukan!
Sungsang ketujuh adalah nama salah satu kakawin berjudul Anja-anja Sungsang. Kakawin ini berada dalam satu naskah dengan Anyang Nirartha. Dua bait terakhir disebut Anja-anja Sungsang. Bait pertama menceritakan tentang sebuah bayangan yang membangkitkan rasa rindu. Pengarang konon memohon belas kasihan kepada kekasihnya karena tidak rela ditinggalkan. Katanya, “Dewiku ku mohon, hapuslah air mataku sekarang, mengapa kau begitu kejam?”.
Sungsang kedelapan adalah nama sebuah bunga. Bunga ini konon tumbuh terbalik dan menyatu dengan bunga Alikukun. Bunga ini ada di dalam kakawin Anja-Anja Sungsang. Anja-anja Sungsang berarti pengembara yang kembali.
Sungsang kesembilan yang sekaligus saya gunakan sebagai nomor terakhir adalah Kita. Bagi saya, kita ini adalah Sungsang. Sungsang karena saya merasa kita selalu terbalik. Yang benar sering kita salahkan, sedangkan yang salah selalu kita carikan pembenar. Kita makhluk yang salah, tapi selalu merasa benar. [T]
Kacang [Kamus Cangak]
Sungsang : Kita