Terhitung tiga kali saya datang ke rumah penulis Karangasem, Nyoman Tusthy Eddy bersama penulis IDK Raka Kusuma. Pertama saat saya masih kuliah, kedua saat saya masih menjadi guru honorer, dan ketiga saat saya sudah bekerja sebagai wartawan di Denpasar. Saya bukan muridnya di sekolah, sebagaimana sebagian besar penulis muda karangasem yang sudah berhasil, namun ia tetap adalah motivasi saya dalam menulis.
Pertama kali ke rumahnya, saya tak terlalu akrab dengannya, istilahnya saya hanya menjadi pendengar yang baik dan sesekali tersenyum mendengar obrolan antara dia dengan IDK Raka Kusuma. Sebagai pendengar yang baik saya banyak mendapat ilmu khususnya tentang sastra Indonesia di bawah tahun 90-an walaupun tak banyak yang bisa saya ingat. Saat itu saya menyerahkan buku pertama saya, kumpulan cerpen berbahasa Bali yang sangat sederhana, Yen Benjang Tiang Dados Presiden kepadanya.
Saat datang ke rumahnya untuk kedua kalinya saya sudah mulai akrab dengannya. Katanya ia suka dengan puisi saya yang berjudul Tutur Sanglir yang dimuat dalam buku Lelakut. Sebagai seorang penulis pemula yang masih kacangan, tentu saya sangat senang mendapat pujian dari seorang penulis senior. Bahkan ia mengaku akan menulis esai tentang puisi tersebut.
Dan untuk ketigakalinya, Februari 2019, saya kembali ke rumahnya, juga masih bersama IDK Raka Kusuma. Saat itu kami usai menjadi juri dalam lomba baca puisi yang diselenggarakan Kantor Agama Karangasem. Kami sudah lebih fasih melakukan obrolan satu sama lainnya. Yang paling membuat saya berkesan dan merasa beruntung, dia memberikan dua karya cerpen berbahasa Balinya, Titiang dan Utang Karma dalam bentuk ketikan untuk dimuat di Majalah Suara Saking Bali. Jika tidak salah ingat, dia mengatakan hanya dua cerpen itu sajalah yang ditulisnya dalam bahasa Bali (jika salah mohon dikoreksi).
Tak hanya memberikan cerpennya untuk dimuat, namun dia juga menceritakan asal-usul lahirnya dua cerpen itu. Yang paling saya ingat, cerpen Titiang diangkat dari kisah hidupnya sewaktu kecil hingga bersekolah. Cerpen itu saya muat pada edisi Maret 2019 dan kemudian dimuat dalam kumpulan cerpen Nyujuh Langit Duur Bukit yang memuat cerpen pilihan Suara Saking Bali selama hampir tiga tahun.
Sementara cerpen Utang Karma saya hampir melupakannya, hingga akhirnya Jumat, 17 Januari 2020 sore saya membaca dari sebuah grup WA sastra di Karangasem, bahwa ia telah meninggal. Awalnya saya tak mau percaya negitu saja. Saya mencari kabar tersebut di laman facebook dengan mengetik namanya. Ternyata benar, bahwa dia telah tiada. Ingatan saya kembali, satu cerpennya, Utang Karma belum saya muat. Saya masih punya hutang.
Pertemuan ketiga di rumahnya, adalah pertemuan terakhir saya dengan Nyoman Tusthy Eddy walaupun setelahnya saya sempat berkomunikasi lewat SMS. Itupun sudah lama sekali. Namun, jauh sebelum saya bertemu dengannya, saat saya mulai menyukai sastra, saya mengenal namanya lewat blog Penyair Bali.
Dari blog itu saya mulai mengenal karya-karyanya yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku. Perbandingan Kata dan Istilah bahasa Malaysia-Indonesia (Nusa Indah, 1987), Gumam Seputar Apresiasi Sastra: Sejumlah Esei dan Catatan (Nusa Indah, 1985), Kamus Istilah Sastra Indonesia (Nusa Indah, 1991), Mengenal sastra Bali Modern: Dua Buah Esei (Balai Pustaka, 1991), Wajah Tuhan: di Mata Penyair (Pustaka Manikgeni, 1994), Duh Ratnayu: Tembang Kawi Mendamba Cinta (Upada Sastra, 2001), Tafsir Simbolik Cerita Bagus Diarsa (Yayasan Dharma Sastra, 2002), kumpulan puisi Puisi Seputar Dunia-Terjemahan (Nusa Indah, 1984), Sajak-sajak Timur Jauh dalam Terjemahan (Nusa Indah, 1985), Rerasan Sajeroning Desa berupa kumpulan puisi berbahasa Bali (Buratwangi & Balai Bahasa Denpasar, 2000), Ning Brahman (Balai Bahasa Denpasar, 2002), SungaiMu (Balai Bahasa Denpasar, 2004), serta Somah.
Saya mulai mencari bukunya. Dan dari semua buku karyanya, tak semua bisa saya miliki. Bahkan ada yang sempat saya miliki sebentar untuk kemudian pindah ke tangan orang lain. Ini kisah yang lucu sekaligus menjengkelkan.
Tahun 2018 lalu, pada sebuah toko buku di kawasan Taman Ismail Marzuki, tak sengaja saya menemukan buku Mengenal Sastra Bali Modern. Buku ini sudah lama saya cari di Bali dan akhirnya ketemu juga di Jakarta. Ini adalah buku esai tentang sastra Bali modern karya Nyoman Tusthy Eddy. Selain memuat esai, juga terdapat lampiran yang memuat beberapa karya penulis sastra Bali modern lawas seperti Made Sanggra. Tanpa menimbang-nimbang, saya ambil buku itu. Harganya sangat terjangkau, hanya Rp 20 ribu.
Pada sebuah pameran buku di Denpasar tahun 2019 kemarin, maksud hati ingin memperkenalkan buku-buku sastra Bali modern pada khalayak ramai, tanpa maksud berjualan, buku itu saya ikutkan. Stan bukunya terletak di dekat pintu masuk ruang pameran, namun nyaris tak ada yang menengok.
Karena saya sibuk mencari uang agar bisa membeli buku baru, saya minta bantuan pada panitia untuk menjaga stan saya. Sebelumnya saya sudah berpesan bahwa buku itu tidak dijual. Namun pada pameran hari terakhir beberapa buku dijual tanpa sepengetahuan saya. Salah satunya ya, buku Mengenal Sastra Bali Modern karya Nyoman Tusthi Eddy dengan harga Rp 15 ribu.
Sial memang. Buku itu susah-susah saya cari di Bali dan ketemunya di Jakarta, malah hilang dengan gampang di Bali. Tapi saya mencoba tak menunjukkan wajah kesal pada penjaga stan dan mencoba untuk tersenyum karena saya tak mungkin marah pada mereka yang telah membantu saya. Saya berpikir, siapa yang yang membeli buku itu. Belakangan saya tahu jika buku itu dibeli seorang teman. Dia tertawa kepada saya, dan mungkin suatu saat nanti saya akan membalas tawanya dengan me-WA dia untuk menagih buku itu kembali.
Perkenalan saya dengan Nyoman Tusthi Eddy memang singkat, namun kenangan-kenangan yang menyertainya akan saya ingat. Salah satunya, ya tentang buku Mengenal Sastra Bali Modern. [T]