Dua kampung di Flores Timur yakni: Wailolong dan Lewotala pernah berselisih paham pada tahun 1981 karena persoalan air minum. Selisih paham tersebut hampir melahirkan perang. Syukur bahwa aparat keamanan bertindak lebih cepat sehingga perang tak sempat pecah. Tahun-tahun setelah itu, ketegangan kembali terurai. Kehidupan dan kontak masyarakat di kedua kampung tersebut kembali normal.
Walau demikian, masyarakat menyimpan keinginan dan kerinduan untuk melakukan rekonsiliasi adat secara kolektif. Maka setelah 38 tahun ketika membuka ladang di area yang merupakan persinggungan kedua kampung tersebut, damai adat dilangsungkan tanggal 16 November 2019 di rumah adat kampung Lewotala dan dua hari berselang terjadi di rumah adat kampung Wailolong. Mereka saling berkunjung. Mengukuhkan persatuan lewat sirih pinang dan mengangkat sumpah yang diikat dengan darah hewan kurban serta menanam beringin sebagai monumen perdamaian di pelataran rumah adat Wailolong.
Soal hidup-mati
Esensi rekonsiliasi adat adalah menyatukan dua pihak yang berjarak. Menjadi satu merupakan syarat mutlak keberhasilan. Kemarau yang panjang serta curah hujan yang pendek membuat masyarakat berusaha sedekat-dekatnya menyatu dengan alam. Supaya bisa dekat dengan alam manusia semestinya menyatu terlebih dahulu dengan sesamanya.
Masyarakat di kedua kampung tersebut percaya bahwa dengan bersatu tanaman akan bertumbuh sehat, jauh dari penyakit dan hama. Manusia yang bekerja pun dijauhi dari sakit, hambatan dan malapetaka. Persatuan bikin segala yang baik menjadi kuat. Menyatunya kekuatan pikiran dan batin banyak orang mendekatkan manusia dengan makrokosmos dan metakosmos. Keutuhan dan kepenuhan hidup tercipta. Alam bermurah hati terhadap manusia. Hujan cukup. Hama dan malapetaka dijauhi. Manusia dapat tenang membangun hidup dan peradabannya termasuk bersyukur dan merawat alam lingkungannya.
Di luar persatuan, keselamatan terancam. Manusia takut diciderai atau dihancurkan oleh yang lain. Penyakit, hama, bencana dan gagal panen begitu menakutkan. Kekeringan dan kelaparan membunuh manusia. Alam tampak kejam. Bayangan kematian dan kepunahan meneror kenyamanan hidup manusia.
Persatuan menjadi sendi dasar bangunan hidup kolektif karena menyangkut hidup-matinya suatu komunitas masyarakat. Persatuan memungkinkan tujuan dapat segera tercapai. Bung Karno dalam Harian Suluh Indonesia Muda tahun 1926 yakin bahwa persatuanlah yang kelak membawa impian: Indonesia Merdeka! Persatuan jadi harga mati jika bangsa ini bertahan dan abadi. Semboyan “Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh” menemukan kebenaran dan aktualitasnya.
Keinginan yang kuat untuk berdamai dan bersatu antara dua kampung di Flores Timur adalah gambaran kecil tentang dasar kebutuhan persatuan Indonesia. Kondisi geografis, tantangan alam, pengalaman sejarah suku-suku di nusantara sejak berabad-abad lampau melahirkan kesadaran untuk saling membutuhkan. Yang satu menopang yang lain.
Barter hasil melahirkan persaudaraan dan kekerabatan. Di sana ada kebutuhan untuk mengikat diri dalam persekutuan. Perasaan satu terbentuk. Melalui hubungan baik kesejahteraan akan lebih mungkin diwujudkan. Melalui solidaritas dan persatuan, hidup akan lebih kuat.
Menjaga hubungan baik, menciptakan rasa nyaman bagi yang lain sama dengan merawat hidup sendiri. Yang lain adalah sumber berkat. Oleh karena itu, tamu atau orang asing diberi tempat istimewa. Keramatamahan, sikap mendahulukan orang asing dan para tamu, melindungi dan memberi tempat bagi minoritas telah jadi kearifan masyarakat nusantara sejak berabad-abad lampau.
Rasa nyaman adalah kebutuhan yang memungkinkan orang bisa bekerja dan berusaha secara maksimal. Supaya dapat tenang, orang mesti menciptakan kenyamanan bagi orang atau kelompok lain. Membangun relasi baik, mempererat persatuan berhubungan dengan hidup-matinya suatu komunitas masyarakat. Jika ada konflik maka harus sesegera mungkin diakhiri. Sekutu diperbesar supaya musuh berkurang. Agar tukar-menukar komoditas dan pengetahuan, arus distribusi kebutuhan bisa berjalan lancar. Kebudayaan dan peradaban dibangun.
Pengalaman perjumpaan
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi membuat semua terkoneksi di dunia maya namun tak bisa menggantikan kehangatan pengalaman konkret perjumpaan. Perjumpaan fisik membekas lebih dalam. Menyentuh rasa. Menghubungkan tali batin satu dengan yang lainnya.
Kalau sejak kecil sampai sampai dewasa orang hidup dalam ruang homogen; bergaul dengan kelompok, agama atau kaumnya saja, mengonstruksi kebenaran atau hidup dengan rasa benarnya sendiri maka tak usah heran bahwa hari ini tak sedikit orang dengan pendidikan tinggi dapat dengan mudah terprovokasi menyerang orang lain yang berbeda agama, partai, keyakinan, suku dengannya.
Belajar bertahun-tahun tentang pentingnya persatuan mesti dibarengi dengan pengalaman konkret (aktual) berjumpa dan hidup dalam komunitas suku bangsa yang beraneka-ragam tersebut termasuk menjadi minoritas dalam suatu komunitas atau kelompok. Mengalami hidup sebagai minoritas membuat orang berusaha mengenal yang yang lain, beradaptasi dan memahami cara berpikir, bertindak serta laku dan nilai-nilai yang hidup dalam suatu masyarakat. Perbedaan mendorong pengertian, respek, persaudaraan dan rasa menyatu dengan yang lain.
Merawat persatuan Indonesia hari ini tidak cukup dengan belajar di bangku sekolah. Memahami persatuan butuh pengalaman konkret berada di tengah yang lain. Ketika seseorang merasa sendiri dan asing maka ia harus membuka diri, bergabung dan bersatu dengan yang lain. Pada saat itulah ia mulai mengerti apa artinya menjadi Indonesia!