25 February 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai

Catatan Film “Atas Nama Percaya”

Eka Prasetya by Eka Prasetya
January 7, 2020
in Esai
35
SHARES


“Ayat-ayat memaksa, merajam manusia. Surgamu yang mana?” – Tashoora, Terang.

SEKITAR dua pekan lalu, sebuah poster masuk ke ponsel kami. Sebuah tawaran memutar film dokumenter berjudul “Atas Nama Percaya”. Tawaran yang tentu saja kami tindaklanjuti.

Kesepakatan terjalin. Lokasi dipilih. Jadwal disusun. Pemantik diskusi, dipercayakan pada saya. Poster dibuat, kemudian disebar.

Kami sepakat, film itu diputar di Rumah Belajar Komunitas Mahima, pada Sabtu (4/1/2020) lalu.

Selang beberapa waktu setelah poster disebar, telepon saya beberapa kali berdiring. Beberapa kawan yang saya ketahui bekerja sebagai intelijen di lembaga negara, menanyakan detail acara.

Saat itu pula pikiran saya berkecamuk. Muatan apa yang ada dalam film ini. Sehingga kawan-kawan intelijen begitu intens menghubungi saya. Terlebih saya belum menonton film ini. Hanya sempat menonton trailernya.

Saya hanya bisa menduga-duga. Apakah film ini semacam film “Tanda Tanya (?)” dengan sutradara Hanung Bramantyo yang dianggap film sensitif? Apakah semacam film “Kucumbu Tubuh Indahku” dengan sutaradara Garin Nugroho yang dipersepsikan secara berbeda oleh beberapa pihak?

Jangan-jangan film ini seperti Sexy Killers garapan Dandhy Dwi Laksono dan Ucok Suparta yang membongkar hubungan para pengusaha dengan penguasa?

Pikiran saya berkecamuk. Jangan-jangan setelah film diputar dan diskusi berlangsung, saya akan dibawa ke sebuah ruangan gelap. Diinterogasi. Jari kaki saya dijepit kaki meja yang diduduki seorang petinggi sambil menodongkan pistol di kepala saya.

Jika benar, saya harus meminta perlindungan ke sejumlah pihak. Ke asosiasi profesi. Ke kolega saya di mabes. Minta perlindungan ke Interpol, FBI, CIA, MIB, pokoknya kemana saja. (Baiklah, dua paragraf ini sudah terlalu lebai).

Saat itu saya hanya berpikiran positif. Mungkin rekan-rekan saya hanya ingin nonton film. Apalagi undangan nonton film ini disampaikan secara terbuka. Gratis pula.

* * *

MENYAKSIKAN film ini, membuat pikiran saya melayang pada masalah-masalah yang terjadi karena agama. Terutama masalah larangan beribadah. Hanyadengan dalih “kesepakatan bersama”.

Padahal berdasarkan amandemen kedua, pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945, negara wajib memberikan perlindungan bagi warganya. Hal itu sudah dijelas dalam ayat (1) dan ayat (2).

Tanpa perlindungan dari negara, maka warga tidak bisa memeluk agamanya dengan nyaman. Tidak bisa beribadah dengan damai.

Saat larangan beribadah pada hari besar keagamaan muncul, pemerintah bukannya memberikan perlindungan dan memberikan fasilitas. Misalnya memberikan balai kota atau minimal balai desa sebagai lokasi ibadah. Pemerintah justru menyarankan agar beribadah di rumah masing-masing. Seolah lepas tangan saat seharusnya memberi perlindungan.

Agama dan keyakinan sebenarnya hal yang kompleks. Puluhan tahun silam, para penghayat kepercayaan dianggap tak beragama. Padahal mereka jelas-jelas percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. Bedanya, para penghayat kepecayaan belum tentu punya rumah ibadah dan belum tentu punya kitab suci.

Para penghayat kepercayaan tidak diakui oleh negara. Jangankan penghayat kepercayaan, sejumlah penganut agama seperti Bahai, Syeikh, Yahudi, juga kesulitan mendapatkan pengakuan dari negara.

Syukurnya kini penghayat kepercayaan telah diakui keberadaannya oleh negara. Mereka memiliki hak untuk memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan mencantumkan kepercayaan mereka di dalamnya.

Tapi masalah tidak berhenti di sana. Bagaimana bila nanti mereka menikah. Bisakah mendapatkan akta perkawinan? Saat anak-anak mereka lahir, bisakah anak-anak itu mendapatkan akta kelahiran? Setelah cukup usia sekolah, apakah mereka mendapatkan pendidikan dari negara?

Belum lagi bila mereka meninggal dunia, bagaimana mereka diperlakukan? Bila kepercayaan mereka mengizinkan kremasi, selama ada krematorium, tentu bukan persoalan besar.

Bagaimana bila kepercayaan yang dianut mengharuskan mereka dikubur? Sementara pemerintah belum menyediakan pemakaman umum. Dimana mereka akan dikubur. Apakah fenomena larangan simbol agama tertentu akan muncul di pekuburan? Jangan-jangan warga akan menolak mereka dikubur.

Setidaknya hal-hal seperti itu yang muncul sepanjang diskusi pada Sabtu malam lalu. Pemerintah tak boleh lepas tangan. Hak para penganut agama dan penghayat kepercayaan, harus dilindungi. Bahkan sejak lahir, hingga meninggal dunia.

* * *

KAWAN saya yang bertugas sebagai intelijen itu, benar-benar datang malam itu. Ia menyaksikan film dari awal sampai akhir. Mengikuti diskusi dari awal hingga akhir.

Sesekali ia mengangguk-angguk. Beberapa kali pula urun rembug selama diskusi. Menceritakan pengalaman, saat bersentuhan langsung dengan para penghayat kepercayaan di kampung halamannya.

Malam itu, tidak ada pelarangan pemutaran film. Tidak ada pembubaran diskusi. Semua mencurahkan isi hatinya malam itu.

Saya akhirnya bisa memahami pemikiran kawan saya itu. Di kota ini tidak ada bioskop. Saluran berbayar macam Netflix diblokir. Saluran televisi berlangganan cukup mahal. Situs bajakan macam IndoXXI diblokir. Ketimbang menyaksikan sinetron recehan di televisi, menonton film dokumenter sambil berdiskusi tentu lebih menjanjikan. [T]

Tags: filmfilm dokumenter
Eka Prasetya

Eka Prasetya

Menjadi wartawan sejak SMA. Suka menulis berita kisah di dunia olahraga dan kebudayaan. Tinggal di Singaraja, indekost di Denpasar

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Ilustrasi Florence W. Williams dari buku aslinya  dan diolah oleh Juli Sastrawan
Cerpen

Si Ayam Betina Merah | Cerpen Florence W. Williams

by Juli Sastrawan
February 24, 2021
Salah stu karya pada pamaeran Tugas Akhir mahasiswa seni rupa Undiksha Singaraja,  2018
Puisi

Puisi-puisi Kiki Sulistyo || Hantu Rima, Pigmen Bunyi, Martiria

Malam Penjagalan wahai, pemapar ikhbar --berkatilah hewan ini dengan hamun dan sifat dayus, sebelum dunia membuatnya kudus. di kandang ia ...

January 2, 2021
Devy Gita
Poetry

Poems by Devy Gita || Can We Close A Closed Door?

CAN WE CLOSE A CLOSED DOOR? Where should I begin? Should I step out? Should I step in? I’ve walked ...

December 12, 2020
Foto: Yogi Sancaya
Esai

Rindu yang Datang Tidak untuk Dibenci – Percakapan dengan Diri

PAGI tadi aku duduk di sebuah kursi taman di belakang gedung kampusku yang baru. Sudah tiga hari aktivitas ini aku ...

February 2, 2018
Putra Ida Bagus Sunu mewakili ayahnya menerima penghargaan dari Wagub Cok Ace
Kilas

Anugerah Bali Kerthi Nugraha Mahottama untuk Sastrawan Ida Bagus Sunu Pidada

Ida Bagus Sunu Pidada, sastrawan dari Griya Pidada Klungkung, sastrawan dari Griya Pidada Klungkung diberi penghargaan Bali Kerthi Nugraha Mahottama ...

February 27, 2020
Ist
Esai

Lebih Baik “Maceki” daripada ke Alexis

KETIKA Alexis tiba-tiba jadi bahan debat pasangan calon (paslon) Pilkada DKI Jakarta yang disiarkan secara luas melalui jaringan TV nasional, ...

February 2, 2018

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Lambang Garuda Pancasila Logam buatan tim pengrajin di Nursih Basuki Art Studio, Kotagede Yogyakarta
Khas

Kerajinan Logam Kotagede: Masa Lalu dan Masa Kini

by Luki Antoro
February 24, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
ILustrasi tatkala.co / Nana Partha
Esai

CITRAWILĀPA | Dari Sastra Kawi ke Jajanan Pasar Jawa

by Sugi Lanus
February 24, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (67) Cerpen (155) Dongeng (11) Esai (1409) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (10) Khas (339) Kiat (19) Kilas (196) Opini (477) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (9) Poetry (5) Puisi (101) Ulasan (336)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In