Pameran yang ditulis oleh Sophie Mahakam Anggawi ini berlangsung di Kulidan Kitchen & Space, Jalan Garuda Wisnu, Sukawati, Gianyar, Bali, 29 Desember hingga 5 Januari 2020. Salah seorang founder Trash Stock Festival, I Putu Hendra Arimbawa didaulat untuk membuka pameran ini dan menyampaikan apresiasinya terhadap para perupa muda yang telah merespond isu di lingkungan sosial mereka secara kreatif. Ia juga mengharapkan Kulidan Kitchen Space agar dapat terus menjadi ruang atau wadah bagi generasi muda dalam mengeksplorasi segala kemungkinan kreativitas untuk memajukan kesenian di Bali.
Ida Bagus Eka Suta Harunika, I Putu Adi Putra Wiwana, I Kadek Adi Putra Wijaya, I Made Dwi Karang Prasetya, Romario Paulus Bagus Saputra Bere, Ida Bagus Arta Tri Atmaja, I Gusti Putu Yoga Jana Priya “Rah Bego”, ketujuh peserta pameran ini adalah salah 7 dari 40 Mahasiswa Seni Rupa yang tergabung dalam sebuah event pameran Empat Panel pada bulan Juni lalu di Bentara Budaya Bali, tahun 2019. Seolah diburu rasa rindu yang teramat, akhirnya awal bulan Desember kemarin mereka memutuskan untuk kembali bertemu dan mengungkapkan keinginan mereka untuk menghadirkan “anak-anak” mereka di ruang yang sama. Kemudian niat baik ini direspon cepat oleh Komang Adi, selaku owner dari Kulidan Kitchen & Space.
Adi Wiwana pun sebagai representasi dari kelompok Anala, saat pembukaan pameran “Illegal Trade” ini mengaku mendapat banyak dukungan dari berbagai pihak, baik dari pemilik galeri, kawan-kawan perupa, hingga dosen di universitas mereka masing-masing. Kemudian ia menjelaskan alasan menamai diri mereka “Anala”, sebagai representasi dari seorang Ibu, yang menjaga anak sejak dalam kandungan sampai akhirnya terbentuk sempurna. Mereka berharap nama ini menjadi pandangan mereka dalam berkarya walaupun memiliki kecenderungan yang berbeda-beda, namun mereka dapat berkerjasama membangun kesenian di Bali.
Persiapan pameran Anala terbilang cukup singkat. Dalam pameran ini hanya terdisplay sebanyak 13 karya yakni terdiri dari 12 lukisan dan 1 karya found object. Masing-masing dari mereka hanya dapat memamerkan 2 karya. Sedikit disayangkan, mengingat ukuran ruang yang cukup luas, rasanya dengan jumlah karya yang lebih banyak, tentu sesuai dengan tema, juga dengan pengerjaan yang sungguh-sungguh, atau dengan menampilkan karya kolektif para peserta pameran, rasanya citra megah atas tema yang diangkat akan lebih mampu terbangun. Saya teringat akan perkataan Amit Ray, “Excellence comes when we balance quantity and quality”.
Tema “Illegal Trade” yang dicanangkan sebagai judul pameran Anala tampak mengindikasikan sebuah kekhawatiran atas komoditi yang diperdagangkan secara berlebihan. Oleh Sophie dalam tulisan kuratorialnya, mengatakan bahwa Anala mencoba mempersoalkan batasan antara “legal” dan “illegal”, yang saya tangkap ini mungkin berujung pada percobaan mendefinisikan antara mana yang “adil” dan “tidak adil”, mana yang “benar” dan “tidak benar”. Karya-karya yang tampil dalam pameran ini adalah hasil dari bagaimana para perupa menerjemahkan dualitas tersebut dalam bentuk karya seni lukis.
Untuk lukisan Ida Bagus Eka Suta Harunika atau yang akrab disapa Gus Eka misalnya, tampak objek menyerupai robot dan artefak yang dibuat dengan gaya dekoratif. “Karya ini hasil pengamatan atau riset kecil-kecilan saya terhadap kasus-kasus pencurian terhadap benda-benda artefak, salah satunya di Pura Baha Badung yang kehilangan arca Rangda, robot itu saya representasikan sebagai oknum pencurinya, bajunya pun dibuat loreng layaknya dresscode orang-orang di balik jeruji,” ujar pria berambut gondrong ini. Karyanya dalam pameran ini cukup berbeda dengan karya-karya sebelumnya, yang garis-garisnya cenderung lebih teratur, rapi, penuh perhitungan. Kali ini garisnya cenderung lebih tegas dan ekspresif. Pada karyanya ia mencoba mengombinasikan beberapa elemen visual dengan maksud menghadirkan kejutan. Seperti pada background yang diisi dengan lelehan dan warna-warna kontras. “Banyak yang bilang karya saya flatatau datar, tak kelihatan objeknya, tapi saya secara sadar menghadirkannya demikian, agar apresian berusaha melihat setiap bidang yang ada, karena disetiapnya saya selalu berusaha menampilkan kejutan-kejutan,” kata Gus Eka.
Terjemahan tema ini juga tampak pada karya Ida Bagus Arta Tri Atmaja atau yang akrab disapa Gus Arta. “Anjing-anjing di Bali sebagai subject matter karya saya, sudah sejak lama kehilangan perannya sebagai sahabat manusia, mereka dialihperankan menjadi bagian dari komoditas,” ujar Gus Arta. Dalam karyanya ia menghadirkan citra empatik lewat simbol-simbol yang mengelilingiobjek utama. Kepala anjing yang dipotong, disate, dan diperdagangkan, simbol itu diulang-ulang seolah ingin menegaskan perilaku ganas para pelakunya. Pria humoris ini berharap karyanya menjadi bagian dari upaya penyadaran terhadap tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya.
Karya digital milik Adi Putra Wijaya menghadirkan gambaran perlawanan terhadap penindasan burung Jalak Bali. Wijaya memandang perlu melindungi hewan indah ini dari tindakan manusia yang egois dan serakah seperti sifat raksasa sebagaimana tampak pada karyanya. Pemilihan medium Wijaya sendiri tidak lagi asing dan dirasa penting dalam era global ini, sehingga karya-karya digital pula mendapat penerimaan yang luas. Melihat karya ini membuat saya teringat pada karya-karya Taeyoung Choi, seorang seniman asal Amerika Serikat yang juga menggunakan teknologi digital sebagai medium berkaryanya. Karya-karyanya menampilkan refleksi citra menegangkan, mengharukan, dan misterius. Nuansa demikianlah yang saya harapkan juga muncul pada karya Wijaya.
Karya lain yang hadir dalam pameran ini antara lain Adi Putra Wiwana yang menghadirkan objek Barong Bali, anak kecil dan perempuan dalam lukisannya, Made Dwi Karang dengan batu-batu nya yang dihias serupa hidangan, lukisan Rio Saputra dengan obsesinya terhadap Orang Utan, lukisan Ngurah Yogi “Rah Bego” dengan objek anak kecil tanpa ekspresi wajah yang berlebih. Kesemua karya ini mencoba mengajak kita untuk merenung tentang persoalan yang telah disampaikan sebelumnya. Dan melalui pameran ini, kita harapkan generasi muda terus saling mendukung dan menjaga dinamika kelompok serupa ini. Sebab perihal mengembangkan kesenian di Bali seperti cita-cita besar dari kelompok Anala ini adalah tanggung jawab kita bersama. [T]