Setelah latihan Gerak di Tejakula, Buleleng, tepatnya di Candi Teja Amertha pada bulan Februari 2019, saya membonceng Mbah Prapto ke penginapkan di rumah temannya yang merupakan seorang pelukis, Nyoman Tusan. Di jalan saya bercerita tentang pengalaman latihan. Saya menceritakan pengalaman saya dengan daun-daun Ketapang yang gugur namun basah kuyup oleh air hujan.
Ketika latihan saya merasa sedih hingga hanyut melihat daun-daun ketapang yang gugur itu, kesedihan yang sepertinya ingin segera saya tanggalkan. Memang benar, ketika latihan saya langsung beralih fokus dari daun ke ombak pantai di hadapan Candi, seolah ingin pergi. Mbah Prapto kurang lebih berkata, “Terima dulu kesedihanmu, jangan pergi begitu saja. Kenali dan terima dengan iklas, setelah itu baru menuju situasi lain,” katanya di atas sepeda motor.
Pernah pula ketika belajar menerima dan memberi dari rekan workshop, saya bertanya dengan lugu tentang batu. Waktu itu latihannya adalah menerima hidup dari orang lain. Tubuh akan bergerak merespon sentuhan atau merespon gerak yang berjarak dari rekan. Saya bertanya, “Mbah, ketika saya bergerak, saya berpikir apakah kita bisa menerima hidup dari benda mati seperti batu misalnya?” Mbah Prapto tertawa dengan suara Khasnya kemudian menjawab, “bisa, tetapi sebelum itu, belajarlah dulu mendengar suara hati orang lain,” dengan suara mengecil yang seolah meledek.
Mbah Prapto atau yang bernama lengkap Suprapto Suryodarmo adalah seorang pria asal Solo yang menjadi guru gerak dan pendiri Padepokan Lemah Putih di Plesungan, karanganyar, Jawa Tengah. Di Bali, Mbah Prapto mendirikan sebuah candi yang disebut Candi Teja Amerta sebagai tempat latihan seni gerak sekaligus berlangsungnya ritual. Di tempat lain, panggung depan Pura Samuan Tiga dan Goa Gajah, Bedulu, Gianyar adalah tempat yang sering digunakan berlatih bersama murid-muridnya.
Ia mengajar tidak hanya di Indonesia, namun keliling dunia. Saya pun sempat bertemu dengan murid-muridnya. Mereka adalah orang-orang yang begitu terbuka. Sangat berbeda dengan turis-turis pada umumnya. Mereka datang untuk berlatih dan menjadi teman, bahkan ada yang berkata mereka merasa seperti keluarga. Salah satu murid Mbah Prapto ada yang bercerita pada saya bahwa sesungguhnya ia tidak mengikuti latihan itu secara penuh. Tetapi, karena masih ingin berkumpul dan diajak oleh teman-teman yang lain, ia lantas bergabung hingga akhir.
Saya tidak paham kedekatan seperti apa yang ditanamkan Mbah Prapto pada diri saya dan teman-teman yang sempat berlatih dengannya. Saya tidak terlalu lama bertemu dengan beliau, meski percakapan memang sering terjadi terutama di atas sepeda motor. Sebab, selama beberapa hari di Tejakula Buleleng, saya bertugas mengantar Mbah Prapto dari rumah Pak Tusan menuju Candi Teja Amerta. Sesekali dalam perjalanan itu, saya yang memulai obrolan dengan pertanyaan mengenai hal-hal tentang latihan.
Beberapa kali di atas motor memang saya yang memulai obrolan. Setiap latihan pagi, saya justru dibangunkan oleh Mbah Prapto. Masih melekat diingatan saya, ketika itu latihan dimulai pukul 04.30 wita. Saya masih nyenyak di atas Kasur di rumah Pak Tusan. Di pagi yang buta itu Mbah Prapto sudah memanggil-manggil dengan suaranya yang lembut. Saya tidak bisa bangun hanya dengan panggilan lembut seperti itu. Giliran Aleksander Gebe dan Nur Hidayatlah yang membangunkan saya dengan agak keras. Ketika sadar dan mendengar panggilan dari Mbah Prapto, saya langsung meloncat untuk membasahi tangan dan mengusap wajah, dengan mata yang masih setengah terbuka kemudian kami berangkat ke Candi.
ALeksander Gebe, seorang aktor dari Komunitas Berkat Yakin pernah berkata pada saya sambil tertawa, “yang latihan siapa, yang bangunin siapa,” katanya.
Pernah pula suatu kali, Mbah Prapto mengejek saya. Ketika itu saya sibuk bergerak dan tubuh merasa sangat lelah. Tanpa saya sadari, mata saya terus menghadap ke bawah sehingga wajah tak terlihat oleh orang sekitar saking fokusnya menunduk. Mbah Prapto memanggil saya, “Gimana Gus?, Gus?” kemudian saya jawab, “Iya, Mbah?”, “Gimana? Sudah ketemu jangkriknya?”. Seketika wajah saya menjadi merah oleh ucapan itu, sementara beberapa teman yang mendengar dan paham, langsung cengar-cengir tertawa melihat saya.
Latihan dengan Mbah Prapto sungguh tidak dapat saya rumuskan dalam beberapa kata. Tapi sangat melekat hingga hari ini. Mungkin karena usaha mendekatkan diri dengan ruang dan situasi yang dibangun membuat kenangan menjadi begitu kuat menancap di kepala saya. Barangkali pula, karena konsep gerak yang tidak hanya untuk pertunjukkan tetapi bisa digunakan sehari-hari. Latihan Mbah Prapto bisa dilakukan sendiri, “sederhana saja” katanya, “Cukup mengingat napas setiap hari”.
Hingga hari ini, saya masih melakukan latihan berdasar hal-hal yang didapat dari workshop Mbah Prapto juga tambahan dari teman yang juga sama sumbernya. Latihan dengan metode seperti itu membuat saya selalu terbayang ketika workshop berlangsung. Mungkin itu salah satu alasan sehingga, tepat 6 hari yang lalu saya bermimpi bertemu Mbah Prapto di antara jurang dangkal dengan rimbunan pohon raksasa di dekat rumah. Beliau tak melihat saya. Saya mengejarnya hingga terpeleset di tanah miring yang licin. Saya hampir celaka jika saja tidak perpegangan di antara ranting yang bisa saya raih. Namun, Beliau tak juga bisa saya sapa karena saya dihadang seseorang.
Pagi hari pada tanggal 29 Desember 2019 sekitar pukul 04.00, saya membuka Facebook. Saya dibuat kaget dengan beberapa status yang mengatakan meninggalnya Mbah Prapto hari itu pada umur 72 tahun. Pria dengan postur tubuh yang tidak besar dan berumur lebih dari 70 tahun itu sempat membuat saya kagum dengan kebugarannya. Ketika latihan di Goa Gajah Bedulu misalnya, dari tangga paling atas hingga kolam yang berada paling bawah Mbah Prapto bisa naik dan turun tanpa bantuan orang sama sekali, bahkan sampai di bawah mbah prapto masih bisa menari di antara tangga.
Bagaimana saya tidak terkejut mendengar kabar seperti ini mengingat kebugarannya ketika terakhir kali bertemu. Terlebih sempat pula saya mendengar kabar dari Ibed Surgana Yuga, seorang Sutradara di Kalanari Theatre Movement asal Jembrana Bali yang tinggal di Jogja bahwa pada bulan Februari 2020, Mbah Prapto berencana ke Bali.
Tapi sekarang, guru gerak yang mengenalkan saya dengan Joged Amertha ini sudah mencapai gerak abadinya. Pengalaman dengan daun Ketapang di Tejakula harus benar-benar saya gunakan saat ini. “Mungkin kau akan tertawa lagi, Mbah, karena saya baru paham bagaimana cara menerima hidup dari yang mati” Terima kasih, Selamat jalan, Mbah Prapto. kini gerakmu hidup di kepala saya. [T]