Kelar sudah. Kerja berhari-hari yang memusingkan kepala, sudah hampir selesai. Palu sudah diketok. Walaupun malam itu, di wantilan Pura Puseh lan Desa, saat paruman antara Bandesa Adat dengan Sabha Desa untuk pengesahan APBDes Adat, tidak ada palu yang diketok. Karena memang tradisi kita pada rapat-rapat di desa adat dengan warga atau yang disebut krama tidak pernah mengesahkan hasil rapat dengan palu, layaknya sebuah sidang paripurna di lembaga legislatif…hehehe
Yang jelas, saya bisa sedikit bernafas lega sekarang. Kepala saya tidak pusing lagi. Tidur saya mungkin akan lebih nyaman. Kerja berat dan tanggung jawab menyusun APBDes Adat sudah selesai. Sudah di print menjadi 7 jilid, dan siap diserahkan kepada pihak terkait di pemerintahan. Malam itu kami beramai-ramai tanda tangan; Bandesa Adat, saya sebagai penyarikan, dan tujuh orang anggota Sabha Desa. Oh ya, Sabha Desa adalah lembaga pengawas dan partner kerja bagi Bandesa Adat untuk mengambil sebuah keputusan strategis, layaknya seperti BPD di Desa Dinas, atau lembaga legislatif di dalam sebuah negara.
Kalau dilihat dari strukturnya, Desa Adat adalah miniatur sebuah negara. Ada Bandesa Adat sebagai pucuk pimpinan dan prajuru adat yang membantu tugas-tugas beliau. Ada Sabha Desa sebagai dewan pengawas, layaknya sebagai legislatif. Ada Kerta Desa sebagai lembaga yudikatif, sekaligus dewan pertimbangan, yang berwenang untuk menengahi sebuah perkara di lingkungan desa adat, dan juga punya kewenangan memberikan rekomendasi memberhentikan Bandesa Adat kalau melakukan perbuatan tercela, lewat Paruman Desa Adat. Kalau dilihat strukturnya, Desa Adat layak disebut sebagai negara kecil. Seperti saudara saya pernah bilang: “negara dalam sebuah negara.”
Dan pertama dalam sejarah, Desa Adat diberi kewenangan mengelola dana secara mandiri. Seperti juga pada sebuah desa dinas di seluruh Indonesia yang mendapat kucuran dana dari APBN miliaran rupiah, Desa Adat sekarang mendapatkan limpahan dana dari pemerintah provinsi sebesar 300 juta. Nilai yang lumayan besar. Saya yang kebetulan sebagai panyarikan diberi tugas menyusun program-program prioritas, dibagi menjadi tiga bagian; program untuk Parahyangan, Pawongan dan Palemahan.
Mungkin bagi orang lain, ini adalah pekerjaan CGT (cenik gae to). Tapi bagi saya ini adalah pekerjaan berat yang memusingkan kepala. Saya berusaha tidak panik. Awalnya memang terasa sangat rumit, tapi setelah dipelajari, dan sering-sering konsultasi dengan pengurus desa adat lain, akhirnya APBDes kami pun tersusun dengan baik. Rapat pertama dengan 7 anggota Sabha Desa, sebagian besar sudah bisa menerima dengan sejumlah hal yang harus direvisi. Dan tadi malam, Sabtu 28 Desember 2019, APBDes Adat kami pun disahkan dengan suara bulat, di wantilan Desa Adat Kelaci, Kecamatan Marga, Tabanan, Bali.
Kilas balik kembali ke beberapa bulan saat saya terpilih sebagai sekretaris adat atau panyarikan. Malam itu, pada paruman di bale banjar, setelah bandesa adat terpilih secara demokratis lewat jalan voting, tiba-tiba nama saya disebut untuk jadi sekretaris adat. Dan semua warga setuju secara aklamasi. Saya yang duduk di pojokan bale banjar tersentak kaget. Tidak bisa berkata apa-apa. Lidah saya kelu. Kata-kata pembelaan tidak bisa keluar dari bibir. Terbayang sudah tugas yang berat. Kalau sudah ditunjuk, susah untuk mengelak, kecuali dengan argumentasi yang masuk akal dan diterima oleh warga. Saya berusaha mencari-cari alasan. Tapi pikiran saya mendadak blank. Dan saya berjalan lemas pulang dari paruman.
Di rumah istri marah-marah. Karena menjadi prajuru adat, yang sibuk bukan si lelaki saja, tapi suami-istri harus ikut ngayah. Apalagi pada saat persiapan pujawali, upacara agama di Pura Tri Kahyangan Tiga, bisa berhari-hari waktu tersita untuk ngayah. Bagaimana istri saya yang kebetulan bekerja sebagai ASN, tentu tidak bisa libur sering-sering.
Tapi apalah daya. Sudah ditunjuk. Dan dipercaya sebagai pengurus adat bukanlah sebagai hukuman, tapi kepercayaan dari masyarakat yang harus kita emban. Dan kepercayaan memang harus kita hormati.
Pelan-pelan saya belajar. Masih sering gugup ketika berhadapan dengan masyarakat. Belum percaya diri apakah bisa mengemban amanah itu. Tapi niat yang baik, selalu berakhir dengan kebaikan pula. Awalnya bingung, pelan-pelan saya bisa memahami. Dan terasa asyik juga ketika ngayah. Berhari-hari ngayah di pura, di tempat yang suci, pikiran jadi jernih. Sekarang lebih banyak waktu sembahyang. Dulu saat purnama-tilem, saya orang yang paling malas sembahyang. Tapi sekarang saya harus dituntut hadir untuk mengurus upacara, dan ikut sembahyang pula dengan perasaan hening. Terasa enak gradag-grudug dengan teman-teman sesama prajuru, pekedek-pekenyum saat ngayah.
Kemudian munculah barang baru itu. Desa adat harus menyusun APBDes sendiri, layaknya desa dinas. Pusing lagi saya. Seorang teman mengirimi saya Pergub tentang Desa Adat lewat file PDF, yang kemudian saya baca dengan hati dag-dig-dug. Kami sekarang harus mengurus dana yang berasal dari pemerintah. Sedikit saja kesalahan prosedur, ya bisa diseret ke pengadilan. Duh, ngeri….
Tapi dengan pikiran jernih, lebih banyak bertanya, berkonsultasi, tukar pikiran dengan teman-teman prajuru tentang program-program yang akan kita ajukan, akhirnya konsep APBDes Adat itu tersusun baik. Tinggal mengalokasikan anggaran-anggaran itu agar hasilnya balance dan masuk akal.
Seperti yang saya cita-citakan dari dulu untuk membentuk sekaa gong anak-anak, sekaranglah kesempatan itu. Saya menyisihkan beberapa anggaran untuk membentuk sekaa gong ini, tentunya setelah berkonsultasi dengan bandesa adat. Kebetulan juga hal ini sudah diurai dalam juknis.
Betapa pentingnya pemberdayaan manusia, pawongan. Apalagi anak-anak sebagai generasi penerus yang akan mengurus kita-kita ini di masa tua. Megambel, di samping menghibur juga bisa menstimulasi agar otak kanan-kiri seorang anak menjadi seimbang. Belum tentu dengan megambel suatu ketika dia akan menjadi seorang penabuh. Bisa saja dia akan jadi dokter, arsitek, atau menteri. Setidaknya kegiatan seni di masa kecil akan menghaluskan jiwanya sampai dewasa. Dan gayung pun bersambut. Dana dari APBD Semesta belum cair, sekaa gong anak-anak ini sudah terbentuk, bahkan sekaa gong anak-anak putra dan putri. Mereka bersemangat. Latihan sudah dimulai. Karena dana belum cair, tentunya memakai kas adat sendiri dulu.
Kalau saya boleh usul melalui tulisan ini, ke depan sebaiknya ada juknis yang mengatur tentang perpustakaan desa. Literasi kita yang masih rendah, siapa tahu dengan menyiapkan buku-buku agama, ditaruh rapi dalam beberapa rak di bale banjar, kegiatan membaca bisa dimulai sejak dini. Perpustakaan di bale banjar-bale banjar, terus ada fasilitas tenis meja dan catur. Ada anak-anak yang bermain tenis meja, bermain catur, dan sebagian mungkin mulai membaca Bagawadgita. Atau kalau tidak Bagawadgita, setidaknya buku-buku dongeng yang berisi pelajaran budi pekerti. Yah, itu yang saya bayangkan dari sekarang…hehehe.
Ternyata, sekarang saya sudah mulai bisa menikmati mengabdi sebagai panyarikan. Apalagi tahun 2020 ini, prajuru adat sudah mulai bisa menikmati insentif dari provinsi, yang besarannya sudah diatur dalam juknis. Walau tidak sebesar UMP, setidaknya bisa mengganti biaya operasional kita sebagai prajuru hehehe…..
Setidaknya ke depan nanti, kalau masa bakti saya berakhir, tugas sebagai prajuru tidak lagi dihindari. [T]