“Rumah ini selalu terbuka untuk kita berkeasi, berkreativitas. Kalian bisa menggunakan rumah ini daripada susah-susah mencari dan menyewa tempat lain.” Kalimat ini adalah salah satu yang saya ingat ketika Made Adnyana Ole memberi semacam sambutan sebelum membuka acara keren di Mahima pada Jumat, 20 Desember 2019 malam. Katanya, acara ini adalah acara dadakan yang bertajuk Happy-Happy atau Senang-Senang Akhir Tahun 2019. Mungkin bisa dikatakan sebagai syukuran terhadap apa yang telah teman-teman Mahima capai selama kurun waktu setahun ini.
Acara dimulai saat petang timbul menggantikan sore di Pantai Indah, Rumah Belajar Komunitas Mahima. Saya ikut bergabung untuk berpartisipasi bersama banyak orang yang terbuka dan asyik yang memang sudah banyak berproses di komunitas ini. Senang sekali rasanya bisa bertemu dengan kelompok seni anak-anak Sembilan Pohon, Kelompok Nol Derajat, Teater dari Utara, teman-teman dari Canasta Creative Space, anak-anak Teater Kampus Seribu Jendela, dan perempuan-perempuan Mahima.
Acara ini memang dibuka dengan santai yang berjarak dari kata formal. Anggara Surya adalah pimpinan acara yang mungkin bisa disebut sebagai Ketua Panitia. Diawali dengan Musikalisasi Puisi yang dibawakan oleh Kelompok Nol Derajat yang terdiri dari vokal Mila dan Tantri, sedangkan Ari memegang pengiring musik berupa gitar. Sebenarnya saya ingin protes dan penasaran. Mungkinkah muspus yang mereka tampilkan ini adalah dadakan?
Bahkan saya sudah mendayu-dayu sejak dentingan senar gitar pertama. Ditambah kolaborasi suara Kak Mila dan Kak Tantri yang Membawakan Puisi “Nyanyian Hutan” dan “Interior Danau” membuat seisi Rumah Belajar Komunitas Mahima tersentuh, terbuai dan membisu. Saya pun ikut menganga karena lantuan musik yang berhasil menyeret saya masuk ke suasana imajinasi yang saya buat. Luar biasa.
Menurut saya ini konsep yang bagus. Anggara Surya yang biasa saya panggil Kak Wah mengatur pementasan Musikalisasi Puisi diselingi dengan pembacaan puisi oleh anak-anak yang hadir saat itu. Saya rasa ini agar menghindari suasana bosan, walaupun saya pribadi mungkin tak bosan mendengar musikalisasi puisi yang membuat bulu kudu berdiri. Dian Ayu, yang merupakan penulis di Tatkala.co memiliki kesempatan pertama membacakan 2 puisi buah karya Made Adnyana Ole yang berjudul “Kiasan diri” dan “Perempuan di Tepi Danau”. Suara tegasnya mengisi panggung dan sekitarnya. Riuh tepuk tangan tentu tak luput saat itu.
Dari Utara menjajaki panggung dengan Musikalisasi Puisi berjudul “Di Bawa Pohon Ketapang” buah Karya Wayan Eka Askara dan “Mekenyem”. Astaga, sekali lagi saya tak percaya bahwa persiapan yang mereka lakukan tidak maksimal. Sangat mulus dan menghanyutkan. Sungguh sebenarnya disela menikmati pementasan, saya menyempatkan untuk melirik-lirik penonton yang juga sedang menikmati pementasan. Saya sedikit tergelitik. Bagaimana tidak, ekspresi mereka sangat beragam dan bagi saya itu lucu. Ada yang menutup mata, menuntuk, lipsing, mengangguk, menggeleng dengan sebatang rokok yang hampir habis, bahkan senyum-senyum sendiri. Parah betul suasana yang terbentuk, hahaha…
Anak-anak Sembilan Pohon kemudian menaiki panggung yang berlatar tembok penuh dengan figura-figura artistik. Tentu sekali lagi saya menelan ludah ketika suara vokalis menyatu yang terdengar harmoni dan bergaung di daun telinga saya. Musikalisasi puisi pertama berjudul Dewi Padi, Puisi buah karya Made Adnyana Ole yang memberikan nafas yang berbeda dari Dewi Padi yang saya kenal , yaitu aransemen milik Aggara Surya. Dewi Padi yang mereka bawakan hanya sedikit bertambah temponya dibanding Dewi Padi yang sering saya dengar. Tapi sungguh itu Luar biasa. Saya sebenarnya ingin bertanya kepada mereka siapa pengaransemen Musikalisasi Puisi dewi Padi yang mereka bawakan malam itu. Tapi sayang, luput dari ingatan saya. Tak hanya Dewi Padi, mereka membawakan Musikalisasi Puisi Berjudul Lawat dengan cengkok sunda. Sekali lagi saya dan hadirin tersapu suasana.
Musikalisasi Puisi yang terakhir dibawakan oleh kelompok Komunitas Mahima yang terdiri dari Rahatri Ningrat, Susanti Dewi, Satria Aditya. Dewi Padi Puisi buah karya Made Adnyana Ole dan aransemen dari Anggara Surya kembali mendengung di antara tembok-tembok Rumah Belajar Komunitas Mahima. Tentu karena terlalu terenyuh, saya ikut bernyanyi sepuasnya, disamping itu aransemen ini tidak terlalu asing bagi kedua telinga saya. Sungguh malam sederhana yang gemerlap bagi saya, apalagi tersedia makanan gratis, hahaha…
Tentu saja malam syukuran tak akan terpisah dari adanya acara makan bersama. Lawar putih dan daging ayam menjadi sorotan utama di meja makanan. Tamu yang berkesmpatan hadir telah disilakan mengambil makanan yang tersedia di ruang tengah. Termasuk saya, kami hanya bersenda gurau.
Untuk mengisi panggung yang kosong, Open Mic baca puisi pun diterapkan. Tentu tak perlu undian atau semacamnya, para senior yang bisa saya kategorikan expert langsung menyambar melancarkan aksi di panggung Mahima. Beberapa dari mereka adalah Jong Santiasa, Agus Wiratama, Juli Sastrawan, Anggara Surya, dan yang lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Surprise, Bapak Made Adnyana Ole juga ikut dengan epik membawakan puisi karyanya yang berjudul “Mimpi Buruk Layon Sari bagi Nasib Buruk Jaya Prana”.
Ia membawakannya dengan sangat-sangat santai, tapi mengapa tetap saya terpaku? Bukan hanya saya, penonton lain pun begitu. Sebenarnya Pak Adnyana Ole sempat memberikan teknik pemilihan diksi yang ia gunakan selama ini ditengah penampilannya. Telinga, mata, otak, bahkan pori-pori kulit saya sudah bersiap menerima ilmunya. Yah tapi sayang, Pak Ole teringat bahwa ini bukan workshop yang akan menyita banyak waktu. Beliau sadar waktu semakin larut. Ah… tak apa. Walau setengah sangat membantu saya yang baru saja mulai belajar menulis hahaha…
Yang tidak akan saya lupa adalah ijin dari Bapak Made Adnyana Ole membawa salah satu buku yang mana saja yang beliau pajang di dekat rak buku raksasanya. Terima kasih Pak, saya comot satu buku milik Bapak berjudul “Dongeng dari Utara”. Beliau berpesan agar bukunya dibaca dengan baik. Ah… tentu saja Pak.
Saya putuskan mengetik cerita hari kemarin karena memang membekas. Euforia yang telah menjadi salah satu memori saya di tahun 2019 sangat terasa. Rasanya saya sangat beruntung diperbolehkan ikut menghadiri acara bersama dengan orang-orang hebat daerah utara. Saya memiliki kesempatan untuk berkenalan, bercengkrama, dan membuat kenangan bersama. Diakhir acara kami bernyanyi bersama diiringi petikan gitar oleh kak Ari. Blitz dan suara gelak tawa menyambung hingga acara berakhir. [T]