20 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai

Lungsir Petak dan Anwam Siwi

IGA Darma Putra by IGA Darma Putra
December 10, 2019
in Esai
34
SHARES

Pemuja dan Pujaan

Anwam Siwi, demikian pengarang kidung Lungsir Petak atau Murtining Jagat Bangli menyebut dirinya dalam pupuh demung bait ke sembilan. Anwam adalah sebutan untuk mengganti kata Nyoman. Sedangkan kata Siwi adalah singkatan yang dapat dipecah menjadi dua silable [suku kata]: Si dan Wi. “Si” singkatan dari Singgin, dan “Wi” singkatan dari Wikarman. Singkatnya, pengarangnya adalah Nyoman Singgin Wikarman.

Karya ini selesai ditulis pada hari Senin [Soma], Umanis [perhitungan 5 hari atau panca wara], Wuku Sungsang, pada bulan paro terang [sukla paksa], sasih ke-enam [posya], tahun saka 1913 [murtining bhumi rong tunggal] atau pada tahun 1991 M. Jika ditelusuri, tepatnya pada hari Senin, tanggal 9 Desember 1991. Menurut catatan yang terdapat di bagian belakang naskah, Nyoman Singgin Wikarman lahir pada tanggal 31 Desember 1947, itu berarti kidung Lungsir Petak diselesaikan saat berusia sekitar 43 tahun.

Palguna [1998] menyebut sastra, tidak berhenti pada pengertian kesusastraan, tapi juga ajaran. Bukan kebetulan jika kalimat tersebut dapat digunakan sebagai peta untuk menelusuri “hutan” bernama kidung Lungsir Petak. Konsekuensi memasuki hutan itu jelas ada, pilihannya antara kembali atau menghilang. Bagi yang kembali, tugasnya adalah menyampaikan segala yang ditemukan di dalam hutan kepada yang belum atau akan memasuki. Bagi yang menghilang, ada dua kemungkinan, pertama dia sedang menelusuri hutan lebih dalam, kedua dia tersesat. Namun tidak jarang, orang yang kembali tidak mengerti harus menceritakan apa-apa. Sebab di dalam hutan, dia tertidur.

Kawula adalah kata yang digunakan oleh Anwam Siwi untuk menunjuk dirinya. Terjemahan kata ini ke dalam bahasa Indonesia adalah hamba, saya, atau aku. Kata Kawula umumnya digunakan untuk sebutan bagi seorang abdi. Penggunaan kata ini tentu bukannya tanpa pertimbangan. Setidaknya kesan yang ditimbulkan adalah suara personal penyair yang menganggap dirinya seorang abdi. Lalu, kepada siapakah suara pengabdian itu ingin ditujukan? Ada baiknya dilihat penggalan dari pupuh Megatruh [1] berikut.


singgih sang hyang kawiswara maha agung, ginelaran sang hyang aji, wiwitane ngawe kidung, karya tuna tan akikit, manawi katunan kawot

[wahai sang hyang kawiswara yang maha agung, disebut pula sang hyang aji, sebagai sebab menggubah kidung, karya yang tidak sedikit kurangnya, mungkin juga kurang berwibawa]


Sang Hyang Kawiswara adalah sebutan yang diungkapkan pada bagian awal kidung Lungsir Petak, sebagai sebab membuat kidung [wiwitane ngawe kidung]. Kawiswara berarti kawi yang utama atau pemimpin para kawi. Segeralah dapat diketahui, kepada siapa pujaan itu dihaturkan oleh penyair. Kata kawi memang diterjemahkan sebagai sebutan untuk orang yang telah melahirkan karya, atau juga untuk menyebut Tuhan sebagai pencipta. Penyebutan yang terakhir ini, seringkali ditambahkan dengan kata sang hyang, parama, iswara, dan seterusnya. Kawiswara dihadirkan oleh penyair sebagai sebab serta tujuan [sangkan paran]. Kepada Sang Hyang Kawiswaralah karyanya dipermaklumkan agar tidak dikutuk [tan keneng pamastu] seraya menyebut dirinya sebagai abdi [kawula].

Pola pemujaan demikian bukanlah hal yang baru sama sekali, sebab telah digunakan pada beberapa sastra kakawin, terkecuali Ramayana. Suara-suara yang serupa, tampak pada manggala kakawin Sumanasantaka yang menyebut Kawiswara disejajarkan dengan Sang Hyang Hyang sebagai dewa yang bersemayam pada alat tulis kawi. Sangat sulitlah untuk didekati [atidurlabha], karena meresap dan tersembunyi secara halus pada serbuk tanah para kawi yang diruncingkan dengan kuku. Tetapi itu tidak mengurangi kesegaran yang ditawarkan oleh Lungsir Petak. Pengandaian sangat mungkin dipengaruhi oleh bacaan-bacaan atau pengetahuan penyair. Adanya kemiripan pengungkapan bukanlah sesuatu yang perlu dipermasalahkan, hal ini dapat dilihat dengan membandingkan manggala kakawin Bharatayuddha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh dengan kakawin Kunjarakarna Dharmakatana karya Mpu Dusun. Lalu apakah Anwam Siwi serta merta berarti membaca Sumanasantaka, sebab ada kemiripan pengungkapan? Tentu itu adalah kasus lain lagi.

Wajarnya, Kawiswara adalah salah satu gelar yang sering dihindari, atau dianggap tidak pantas dipakai oleh penyair ketika berbicara tentang dirinya sendiri [Zoetmulder, 1994: 187]. Selain gelar itu, ada gelar kawiwara, kawindra, dan kawiraja yang mendapat perlakuan yang sama. Maka jelaslah bahwa kawi sebagai pemuja, menghaturkan pemujaannya berupa karya yang penuh kekurangan [karya tuna tan akikit] kepada Kawi sebagai pujaan.

Jika kawi mempersembahkan sesuatu kepada pujaannya, itu berarti ada jarak di antara pemuja dengan pujaan. Jarak itulah yang mengajarkan rindu. Rindu menjadi penggerak seorang penyair untuk melakukan perjalanan ke laut maupun gunung. Pada tempat-tempat itulah umumnya seorang kawi berdiam dan mencoba menggapai langö. Yang dimaksud dengan langö, adalah keindahan yang sublim. Pencarian langö oleh kawi disebut alanglang kalangwan. Sangat memperihatinkan jika perjalanan itu berujung pada keputusasaan, sebab yang namanya pencarian tidak selalu menemukan.

Bukan Karena Tahu

Mengapa Anwam Siwi menggubah kidung Lungsir Petak? Pertanyaan itu diajukan untuk menuntun ke arah jawaban alasan-alasan yang melatarbelakangi Lungsir Petak terlahir. Alasan itu dapat dicari di dalam tubuh Lungsir Petak. Oleh sebab itu, pada bagian ini, perlu dicatat salah satu bagian dari kidung ini sebagai berikut.


sarana bhakti metu karsa ngawe kidung, norana sangkaning uning, ngiket sastra adi luhung, angdoh sastra kawi, angdoh uger-uger mango

[sebagai sarana bhakti maka lahirlah keinginan membuat kidung, bukan karena tahu, membuat karya sastra yang baik, jauh dari sastra kawi, jauh pula dari aturan pencari keindahan]


Eksplisit pernyataan Anwam Siwi, bahwa Lungsir Petak terlahir bukan karena ia merasa tahu. Melainkan sebagai sarana bhakti. Jelas rasa bhakti itu ditujukan kepada Kawiswara yang dipujanya pada manggala. Pernyataan “bukan karena tahu” itu mengungkapkan yang dikatakan, sekaligus menyiratkan yang tidak terucapkan. Pada tataran kata secara harfiah, kata-kata itu menyatakan sebagaimana adanya. Namun, secara implisit, sesungguhnya juga menyatakan yang sebaliknya. Akan sangat sulit untuk menyusun kata-kata yang demikian, jika saja Anwam Siwi tidak mengerti apa yang dikatakannya. Juga tentu akan sulit memenuhi aturan pada lingsa yang dituntut oleh pupuh Megatruh.

Jika dilihat pergantian pupuh yang terdapat di dalam kidung ini, ada sebanyak 21 kali pergantian. Hanya saja, Megatruh digunakan dua kali sepanjang kidung ini yakni pada awal serta akhir. Pupuh Durma juga digunakan sebanyak dua kali. Maka jika dilihat berdasarkan nama-nama pupuhnya, ada 19 pupuh yang digunakan. Masing-masing pupuh itu ditandai penggunaannya dalam penyebutan di dalam kidung: winursita Ki Megatruh [Megatruh], Ki Demung anganti mangke [Demung], tekeng adri den ahayu [Adri], aliting jarum tatas denta [Jerum], raden panji ngawe lango [Panji], tuhandulu penuh asmarani [Smaradahana], laraning sang nandang lara [dandang], kembang maring kalanguan [Kumambang], turunganing alis ijo [Alis-alis Ijo], ginada ngantos [Ginada], angapus kadurmanggalan [Durma], dadi apa kapungkur [Pangkur], ulah basur ngawe weci [Basur], kadi tikus kapantingan [Tikus Kapanting], papa nraka ingambuhi [Gambuh], ing sumanggen durmanggala [Durma], sekarura kembang santun [Warga Sari], Ki Megatruh nyineb kawi [Megatruh].

Megatruh sebagai pembuka dan penutup mungkin saja mengandung suatu maksud tertentu bagi Anwam Siwi. Tentang hal itu, sama sekali belum ditemukan jejak di dalam Lungsir Petak yang dapat digunakan sebagai bahan untuk sekedar berhipotesa. Jika nama pupuh ini dianggap sebagai jejak yang ditinggalkan oleh Anwam Siwi, lalu apa maksudnya? Pencarian terhadap maksud itu, tampaknya hanya akan berujung kepada kesia-sian semata. Namun demikian, perhatian secara khusus terhadap pemilihan pupuh ini tidak juga dapat dihindarkan. Meskipun akhirnya hanya akan menghadirkan pendapat-pendapat yang ex silentio, percobaan mestilah dilakukan.

Sebagai petunjuk awal, ada baiknya jika Megatruh ini dipecah menjadi dua kata sebagaimana dipahami dalam bahasa Jawa Kuna: Mega dan Truh. Mega berarti awan, sedangkan Truh berarti hujan gerimis. Solusi lain yang bisa ditawarkan adalah pembagian menjadi Megat dan Ruh atau antara Megat dan Truh. Kata Megat dalam hal ini berarti memutuskan. Hanya saja, tafsir ini tentu memiliki kelemahan jika dilakukan perbandingan antara kata Mega serta Megat. Ada fonem yang berbeda antara kedua kata itu yakni fonem “e”. Fonem itu sesungguhnya akan menjadi jelas jika ditulis dengan menggunakan aksara Bali yang membedakan penggunaan keduanya dengan pangangge aksara suara: taleng untuk vocal é, dan pӗpӗt untuk vocal ӗ. Jika kata Megat dipadukan dengan Ruh yang equivalen dengan wruh [tahu] maka artinya adalah memutus pengetahuan, sedangkan jika dipadukan dengan kata Truh berarti memutus hujan. Semuanya sama-sama memungkinkan, meskipun dalam tafsirnya sebagai “memutus hujan” semestinya ditulis Megattruh dengan double fonem /t/. Penghilangan fonem konsonan ganda yang mengakhiri dan mengawali satu kata bukan suatu yang aneh dalam karya sastra. Dalam hal ini, catatan dari Peter Worsley dkk [2014] ketika mengkaji kakawin Sumanasantaka dapat dijadikan rujukan penting. Lain dari pada itu, penelusuran pemilihan pupuh Megatruh tetap tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Terkecuali, dalam tulisan ini pilihan tetap dijatuhkan pada terjemahan Awan Hujan [Mega Truh], sebab awan hujan itulah yang melalui sirkulasi tri kona, utpati-stiti-pralina.

Selain pemilihan pupuh itu, pemilihan kata-kata dalam penyusunan bait-bait Lungsir Petak tampak juga tidak sederhana.


warnanen sira sri bhupati, patitising sarat, ratna manik raden dhanu, nurageng rat siniwi, wibuhing bala brtya, tyaga ring swadharma, maka mukya wipradi, dipati mwang tanda mantra wira

wirosa ngemit siniwi, wihikan sabrtya kapwa anungkul, kulagotra subhakti, tinuru kadharmestan, tan wihang ring swadharma, marmanira amukti, tininggalin mrana lan lapa


Ada sebanyak empat bait puh demung sawit yang terjalin sebagaimana ditunjukkan dalam dua bait di atas. Untuk melihat hal ini, bisa dibandingkan dengan petikan Ramayana berikut.


guha peteng tang mada moha kasmala, maladi yolanya mageng maha wisa

wisata sang wruh wikanang jurang kali, kalingan ing sastra suluh nika prabha.

[bagai gua gelap kesombongan kebingungan dan kekotoran pikiran itu, ketidakbaikan adalah ular besar beracun, tenanglah ia yang mengetahui datangnya masa kehancuran, sebab ‘berlindung’ pada sastra yang bersinar]


Demikian jika Lungsir Petak dan Ramayana dibandingkan dalam hal tekhnik pemilihan kata-katanya. Setidaknya, ini membuktikan bahwa ungkapan ‘bukan karena tahu’ oleh Anwam Siwi adalah ungkapan yang diajarkan oleh tradisi. Dan sebagaimana tradisi, ungkapan itu juga menyembunyikan pengetahuan tentang ‘ketidaktahuan’. Sebagai akhir dari tulisan ini maka ungkapan Agastia [1987] yang agak panjang ketika membicarakan perihal Sastra, Keindahan, Kelepasan dipinjam.

Dalam studi sastra Jawa Kuna, existensi sang Penyair [baca: Kawi] menjadi hal yang sangat menarik. Mulai dari idea, filsafat hidup sampai pada kedudukan dan fungsinya dalam masyarakat adalah beberapa hal yang sangat menarik untuk diteliti. Apabila pada kesempatan ini kita mengadakan llirikan terhadap hal tersebut, sudah tentu antara lain dimaksudkan untuk lebih menumbuhkan “gairah kreativitas” para penyair kita. “Gairah kreativitas” yang bertumpu pada suatu filsafat hidup. [T[

Tags: kidungsastrasastra bali
IGA Darma Putra

IGA Darma Putra

Penulis, tinggal di Bangli

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Digital Drawing ✍️:
Rayni N. Massardi
Puisi

Noorca M. Massardi | 7 Puisi Sapta dan 5 Puisi Panca

by Noorca M. Massardi
January 16, 2021
Princess Jasmine diperankan Naomi Scott (Foto Google)
Ulasan

Smart Women Have Voice and Choice –Catatan Menonton Aladdin

Aladdin (Disney, 2019)Director: Guy RitchieWriters: John August (screenplay by), Guy Ritchie (screenplay by) Stars: Will Smith, Mena Massoud, Naomi Scott  Adegan dibuka dengan laut biru ...

June 4, 2019
Esai

Habibie, Menyatukan Sains dan Religi

Dalam satu wawancara yang penuh canda, Habibie menceritakan ia sangat menikmati sebagian masa mudanya di sebuah sekolah menengah Kristen. Dengan ...

September 13, 2019
Ilustrasi : popbela.com
Esai

Menata Cinta dalam Kehidupan Realita

Iya, cinta itu memang unik. Satu kata yang memiliki makna penuh. Apa sih sebenarnya  definisi CINTA itu ? Ada orang ...

May 22, 2020
Konser Indonesia Menyanyikan Puisi oleh Kelompok Badai di Atas Kepalanya di Kampus FBS Undiksha/ Foto-foto: FB/Yoga Permana
Ulasan

Konser “Musik Salah” dari Badai Di Atas Kepalanya

NAMANYA Nanoq da Kansas. Saya biasa menyapanya Bli Noq. Meskipun kami sama-sama tinggal di sebuah desa kecil bernama Candikusuma, kami ...

February 2, 2018
Opini

“Saru Gremeng” Intelektual Muda Hindu

Sikap romantik terhadap masa silam dan belenggu kultur yang mengelilinginya harus diimbangi dengan keberanian menatap masa depan dan merebut peran ...

September 20, 2019

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Foto : Dok. Pasemetonan Jegeg Bagus Tabanan
Acara

Lomba Tari Bali dan Lomba Busana | Festival Budaya XI Pasemetonan Jegeg Bagus Tabanan

by tatkala
January 20, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Esai

Bangli Abad XII | Dan Potensi Masa Kini

by IGA Darma Putra
January 20, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (66) Cerpen (149) Dongeng (10) Esai (1352) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (3) Khas (309) Kiat (19) Kilas (192) Opini (471) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (96) Ulasan (328)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In