Ada yang memandang dengan heran. Cuek saja sambil berlalu juga banyak. Beberapa ada yang terusik dan mulai mendekat. Sembari mengabadikan beberapa foto, baik foto lokasi setempat yang sengaja ingin dikunjunginya, maupun aktivitas membaca yang tumben dilihatnya.
Ada juga yang bertanya ada kegiatan apa? Setitik harapan tampak tersaji ketika beberapa pengunjung membuka beberapa koleksi yang ada. Wadah kardus yang sudut-sudutnya mulai robek sebagai tempat menampung beberapa koleksi yang tersisa, memang tampak tidak elegan, namun setidaknya mampu menimbulkan kesan yang tidak biasa. (Dalih untuk membenarkan kondisi yang ada, aha…hah..)
Begitulah yang terjadi pada kegiatan literasi di tempat rekreasi, tepatnya di Lahangan Sweet, sebuah tempat perkemahan di atas bukit di Banjar Gulinten, Bunutan, Abang, Karangasem, Bali.
Tentang Lahangan Sweet, Bisa Baca:
- Dari “Lahangan Sweet”, Nikmati Sunrise di Pucuk Rinjani dan Sunset di Gunung Agung
- Bocah Sekolah 6 Jam Jalan Kaki dan Terciptanya Wisata Alam di Gulinten, Karangasem…
- Menerawang Literasi Mengambang di Pohon Jamblang
Kegiatan literasi boleh jadi menjadi kegelisahan bagi para pegiatnya. Hal ini terjadi di tengah kepungan pesatnya perkembangan media digital dengan sisi baik dan sisi kurang baiknya. Sisi baiknya, bagaimana memberdayakan kemajuan media digital tersebut menjadi pendukung kegiatan literasi. Dan sisi kurang baiknya, tentu saja kemajuan tersebut justru menjerumuskan banyak pihak, terutama generasi yang tidak siap menghadapinya, terjerembeb pada “lubang” negatifnya.
Sedangkan secara umum, kegiatan literasi ditanggapi beragam di berbagai kalangan. Membaca dan buku, sebagai salah satu simbol dari kegiatan literasi, bagi beberapa orang dianggap kegiatan yang mewah. Membeli dan mengoleksi buku sepertinya enggan dilakukan oleh masyarakat yang berada di daerah pedesaan dan pedalaman, kalaupun ada, persentasenya sangat kecil. Ada rasa sungkan bagi banyak kalangan di pedesaan untuk mengoleksi buku. Bukan hanya kendala ekonomi, terlihat mencolok dan takut dianggap terlalu wah, menjadi salah satu alasannya.
Di kalangan masyarakat perkotaan, kebiasaan membacakoran dan buku, sedikit telah disita oleh gadget dengan beragam info yang selalu berkembang sepersekian detik. Baik itu yang isinya fakta ataupun hanya bohongan belaka. Sementara itu, buku dan membaca masih menjadi momok yang tidak mengenakkan bagi sebagian besar pelajar.
Tidak kalah memprihatinkannya, di kalangan pendidik, masih banyak pula yang menjadikan buku sebagai barang mewah; sulit untuk mengoleksinya. Atau bahkan enggan? Kemampuan untuk memberikan materi yang disediakan pada buku ajar yang harus diselesaikan setiap semester, seolah sudah cukup menunjukkan profesionalisme dalam mengajar. Sedangkan kegiatan yang terkait dengan membaca buku dan embel-embelnya, seolah bukan hal yang penting. Tidak atau belum diwajibkan?
Kita bisa cek status media sosial semua kalangan tersebut di atas, lebih banyak unggahan sepiring nasi dengan ragam lauknya, dibandingkan dengan unggahan kegiatan membaca atau menulis sebagai sebuah kegiatan literasi.
Ditengah kesibukan kerja dan semua kondisi kegiatan literasi yang tampaknya masih memprihatinkan di semua kalangan, ada suatu kegiatan yang rutin atau tidak, pasti dilakukan: rekreasi.
Membawa kegiatan literasi ke tempat wisata, boleh jadi suatu hal yang memberi jalan bagi pengenalan kegiatan tersebut. Hal ini terutama bagi para pengunjung lokal. Pengunjung tersebut, terutama yang masih muda, tentu saja mulai harus diarahkan untuk tersadar bahwa kegiatan literasi yang berawal dari kegiatan membaca, sangat penting bagi masa depannya.
Tempat-tempat wisata yang menyajikan sarana untuk selfie, tampaknya menjadi sasaran yang amat bagus bagi mereka yang tergerak dan berani melakukannnya: Menyajikan kegiatan literasi di tempat wisata. Tentu saja tempat-tempat yang disasar adalah tempat rekreasi yang bersifat umum, sehingga tidak menjadi pengganggu bagi pengelola, bagi yang swasta. Tempat-tempat rekreasi yang dikelola masyarakat dan berada di daerah pedesaan dan pedalaman menjadi sasaran yang paling relevan. Selain bagi pengunjung, keberadaan lapak dan kegiatan literasi, diharapkan menarik perhatian masyarakat sekitarnya yang selama ini jarang dijamah hal tersebut.
Tentu pelaksanaannya tidak semudah yang dibayangkan. Mengundang anak-anak sekolah untuk datang dan melakukan kegiatan membaca di tempat yang ramai dikunjungi, (sebagai salah satu contoh) memberikan rasa canggung bagi peserta. Membuat pula beragam reaksi bagi pengunjung.
Akan tetapi, kegiatan serupa ini perlu diupayakan untuk semakin menggaungkan gema literasi yang sudah dimulai sejak empat tahun terakhir ini. Pendidik dan pegiat, adakah kreasi untuk melakukan hal tersebut? Mari mulai bersama! [T]